Aku punya banyak pilihan. Terbentang dihadapanku. Aku
hanya tinggal menunjuk, memilih, dan menjalaninya. Memilih itulah yang sulit. Mana
yang lebih baik? Mana yang cocok untukku? Mana yang sebaiknya kujalankan? Mana yang
tidak? Mana yang membawa pengaruh buruk? Yang mana? Aku bahkan tidak tahu.
Aku tidak bisa berpikir dengan jernih sekarang. Dan semua
hal terasa mempunyai deadline sampai esok
hari. Semua harus kuselesaikan dan kupikirkan untuk besok.
Ah, entahlah. Aku terlalu lelah. Bahkan untuk bernapas
pun aku merasa letih. Aku tidak lagi bertenaga. Seluruh energiku tersedot untuk
kegiatan akhir-akhir ini. Ditambah perasaanku yang selalu kacau.
Ya Tuhan, tolong aku.
Otakku kacau. Pikiranku semrawut. Badanku lemah. Perasaanku
tak karuan. Perutku terasa lapar, tapi mulutku tak mau mengunyah. Lelah,
katanya. Badanku butuh energi, tapi bahkan aku tidak punya energi untuk sekadar
mengunyah makanan.
Badanku lemas, mataku mengantuk, tapi otakku tidak juga
mau berhenti bekerja. Selalu ada yang dipikirkan. Bagaimana besok? Apa yang
akan terjadi? Harus bagaimana besok? Yang ini belum selesai, ditambah yang itu.
Tugas yang ini baru jadi setengah, ditambah lagi tugas yang lain.
Ya Tuhan, tolong bimbing aku.
Aku lelah. Aku menyerah. Seperti tersesat, aku bahkan
tidak tahu apa yang harus kulakukan, jalan mana yang harus kuambil, kemana aku
harus melangkah selanjutnya, aku tidak tahu.
Aku butuh bantuan. Tidak ada seorangpun yang bahkan
mengerti apa yang kurasakan. Apa yang harus kuhadapi setiap harinya.
Aku butuh penyemangat. Tapi masing-masing temanku masih
sibuk dengan kegiatan mereka. Terlalu sibuk, bahkan untuk sekadar bertanya
kabar. Terlalu sibuk untuk peduli.
Siapa yang peduli padaku? Orang tua? Ah, tentu saja. Tapi
sekarang, mereka nun jauh di sana. Di pulau yang berbeda. Sibuk mengurus
pameran di luar kota.
Kemudian aku di sini, berdiri sendiri, ditemani bayanganku.
Dan doa dari orang-orang yang mengasihiku. Berusaha bertahan hidup, di
lingkungan yang terlalu berbeda dengan yang biasa kuhadapi. Berusaha menghidupi
diri, dengan sedikit wawasan yang kuketahui tentang daerah di sini.
Tidak jarang terbesit pikiran untuk menyerah. Berhenti,
dan kembali pada zona nyamanku yang dulu. Tapi, kalau terus begitu, apa aku
bisa maju? Atau itu yang disebut jalan di tempat? Malah, tidak jalan sama
sekali?
Sendiri, akupun berusaha menguatkan diri. Menarik lagi
air mata yang sudah terlanjur terjatuh, dan berdoa. Aku masih percaya pada
rencana Tuhan, yang selalu lebih baik dari segala ekspektasiku akan dunia ini.
Karena aku sudah pernah memilih, dan Tuhan membawaku ke
sini. Aku hanya perlu menjalaninya, dan percaya bahwa Tuhan tahu yang terbaik
untukku. Bahkan ketika itu merupakan keadaan terburuk dari sisi pandangku.
Tuhan-pun sudah memilih untuk memberiku kesempatan
mencoba lagi, sesederhana seperti memberiku kehidupan untuk dijalani lagi esok
hari. Memberi lagi udara yang bisa kuhirup, dan air yang bisa kunikmati.
Akupun mengangkat kepala, setelah berterima kasih
kepada Tuhan, dan tersenyum. Bahkan ketika aku tidak punya orang-orang di
sisiku, orang-orang untuk membantuku, untuk sekadar peduli kepadaku, aku masih
punya Tuhan. Aku tidak lagi peduli, pada siapapun dia yang meninggalkanku.