I started to have this dream about some meaningful people in my life, and it's kinda freaking me out. Somehow, dream is one of God's way to tell me that they "need" to leave, and they did. I know that people will left eventually, but sometimes I really wish they could stay longer.
Cerita: cita, cinta, kita.
“Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah." ― Pramoedya Ananta Toer
Friday, October 31, 2014
Saturday, July 12, 2014
Tapi Aku Masih Ingin Mencintaimu
Ada sebuah novel berjudul Cinta. karya Bernard Batubara, terbitan Bukune yang beberapa bulan lalu kubeli. Aku sempat membacanya sekali, di J.CO Mall Bali Galeria, sembari menunggu dijemput, ditemani sebuah donat gratis yang kudapat setelah membeli satu cup ukuran besar tiramisu. Novel itu kemudian terjajar rapi di rak buku di dalam kosku, sampai aku mengambilnya lagi beberapa hari yang lalu, untuk kemudian kubawa pulang ke rumah.
Di dalam novel tersebut rupanya banyak puisi dan haiku yang isinya lumayan menggugah hati. Sederhana. Terkesan galau tapi tidak murahan. Juga tidak dipaksakan menggunakan bahasa Inggris agar terlihat lebih elegan namun struktur kalimat dan penggunaan katanya salah. Seperti yang biasa dilakukan ababil disosmed untuk menarik perhatian, ketika sedang berada dalam fase ‘galau’. Seperti yang biasa dilakukan olehku.
Bukan, aku di sini bukan untuk meresensi novel tersebut, namun karena aku ingin memasukkan salah satu puisi karya si tokoh novel ke sini. Puisi yang rupanya mengingatkanku akan dirimu, seorang lelaki yang kata temanku ‘jahat’ namun rupanya namamu serta ingatanku akan dirimu masih melekat dengan manis di hati dan pikiranku. Aku belum mau menghapusmu. Belum. Suatu saat pasti, tapi tidak sekarang. Rasanya semua masih terlalu manis untuk dilupakan.
Jadi, inilah puisi yang kuceritakan.
Aku Ingin Mencintai dan Melupakanmu dengan Sederhana
Oleh: Nessa Eswari Moe
aku ingin mencintaimu dengan sederhana.
seperti embun hinggap
di tepian daun dan tanah yang sabar menyambutnya jatuh
tapi aku ingin melupakanmu
aku ingin mencintaimu dengan sederhana.
seperti mata yang berkedip
menyambut pagi dan daun jendela
yang mengintip matahari
tapi aku ingin melupakanmu
aku ingin mencintaimu dengan sederhana. seperti gerimis pada jendela dan uap napasmu yang menulis nama ‘kita’
tapi aku ingin melupakanmu
aku ingin mencintaimu dengan sederhana.
seperti waktu yang tak pernah berhenti dan senyummu yang mengabadikannya
tapi aku ingin melupakanmu
aku ingin mencintaimu dengan sederhana.
seperti sebuah peluk yang sebentar
dan satu kecup yang perlahan saja
tapi aku ingin melupakanmu
aku ingin mencintaimu dengan sederhana.
seperti kata ‘rindu’ yang kuucap dan kau membalasnya dengan ‘aku juga’
tapi aku ingin melupakanmu
aku ingin melupakanmu dengan sederhana.
sesederhana air mata yang mengalir.
sesederhana genggam tangan yang terlepas
tapi aku ingin mencintaimu
Nah, jadi apa yang membuatku begitu tertarik dengan puisi ini? Rupanya ketika aku membacanya, aku seperti membaca sebuah pesan yang ingin kuberikan untukmu. Seperti membaca perasaanku untukmu. Perasaan yang mati-matian kutekan agar tidak membesar.
Nyatanya kamu terlarang untukku.
Bukannya aku tak tahu ketika kita bertemu saat itu. Bukannya aku menutup telinga ketika kita saling menyebutkan nama. Karena pada kenyataannya aku tahu, dan kaupun tahu. Tapi kita tetap membiarkan diri tenggelam dalam sebuah kolam bernamakan ‘kenyamanan’.
Atau setidaknya, begitu yang kurasa.
Kemudian diantara peperangan hati dan pikiran yang terjadi setiap berbicara denganmu, lagi-lagi aku membiarkan hatiku menang. Padahal akal sehatku sudah menarikku menjauh darimu. Padahal akal sehatku sudah memberi pembatas yang seharusnya tak kulewati. Padahal hatiku biasanya salah.
Tapi lagi-lagi, aku membiarkan hatiku menang.
Karena selagi akal sehat menyadarkanku, berusaha menempatkanku ditanah setelah sekian kali dibawa terbang tinggi olehmu, aku mendapati diriku justru berlari semakin dekat ke arahmu. Berlari melawan arus. Berlari melawan akal sehatku. Berlari melewati pembatas yang kubuat sendiri.
Sampai akhirnya aku terjatuh. Dan ketika aku mendongakkan kepala, untuk mencari sosokmu di seberang sana, rupanya kamu telah berbalik dan berjalan kearahnya. Entah siapa. Entah bagiamana dan entah mengapa aku tidak melihatnya di sana.
Tapi kamu memilih dia.
Dan selagi hatiku menangis, lagi-lagi karena salah pilihan, akal sehat mulai menertawakanku. Dan dia dengan menyebalkannya mulai berkata, “Apa kubilang. Seharusnya kamu mendengarkanku sejak awal. Bukannya malah mengikuti kata hatimu yang kelewat bodoh itu.”
Aku menyesal. Namun rupanya sudah terlalu terlambat untuk menyesal. Aku sudah tenggelam terlalu dalam di kolam ‘kenyamanan’ itu sementara kamu dengan mudahnya berenang naik, dan menerima uluran tangan seseorang di atas sana.
Dan aku makin tenggelam. Makin jatuh terlalu dalam karena rupanya hatiku masih menolak kepergianmu. Masih menolak ketidakberadaanmu lagi. Masih menolak kenyataan bahwa aku tidak mungkin bisa mendengar suaramu—yang menyebalkannya ternyata masih terekam dengan jelas di otakku—berceloteh tentang kegiatan harianmu dan menemaniku sampai aku terlelap. Suaramu yang biasa kudengar ketika aku membuka mata di pagi hari. Suaramu yang ternyata punya efek tersendiri dan mampu membuatku tenang seketika.
Suaramu yang sialnya sangat kurindukan.
Menyebalkan. Aku masih tidak habis pikir bisa membuka hatiku secepat ini untuk seseorang yang baru kukenal. Menyebalkan karena kupikir kamu berbeda dengan yang lain. Menyebalkan karena semua khayalku tentangmu berbanding terbalik dengan kenyataan yang tersaji dihadapanku. Menyebalkan karena dengan bodohnya lagi-lagi aku jatuh ke lubang yang sama.
Dan aku masih mengharapkanmu.
Sebut aku bodoh atau gila, well, semua temanku sudah berkata begitu ketika aku mulai berbicara tentangmu. Mereka selalu berkata tentang kamu jahat, tentang mereka menyesal telah mendukungku, dan sebagainya, dan sebagainya.
Tapi diatas semua itu, aku masih mencari secuil harapan untuk sekadar bisa melihatmu atau mendengar suaramu sekali lagi. Yang kutahu, justru akan membuatku semakin susah melupakanmu. Tapi hatiku lagi-lagi berontak meski pikiranku sudah membentaknya ratusan kali. Perang batin yang selalu kulakukan sejak bertemu denganmu.
Aku sama sekali tidak bisa menyebutmu jahat, seperti teman-temanku. Aku sama sekali tidak bisa melupakanmu, seperti yang teman-temanku usulkan. Entahlah, rasanya bukan tidak bisa. Lebih kepada, tidak mau. Aku masih menolak kenyataan bahwa kita sudah berada di jalan yang berbeda. Bahwa sebenarnya sejak awal kita berada di jalan yang berbeda. Di jalan yang tidak akan pernah menyatu.
Bersisian tapi tidak bersatu. Bersebelahan tapi tidak pernah bisa bersama. Kau dan aku sadar akan hal itu.
Rasanya sulit menerima takdir ketika itu semua berkebalikkan dengan yang kuinginkan. Karena keputusanku tetap sama. Yang kuiniginkan tetap dirimu.
Ah, kenapa rasanya takdir jahat sekali? Kenapa ia tak mau melihatku bahagia denganmu? Atau mungkin karena kamu memang tidak bisa membahagiakanku?
Tapi aku bahagia denganmu. Kamu orang pertama yang membuatku enggan menutup telepon meski jarum jam sudah menunjukkan pukul dua pagi. Kamu orang pertama yang membuatku enggan menutup telepon meski biasanya aku terlalu malas berbicara. Kamu orang pertama yang membuatku dengan senang hati merangkak dari kasur menuju meja tempat headsetku berada, hanya untuk mendengar suaramu.
Menyebalkan. Aku masih juga merindukan suaramu.
Padahal aku ingin melupakanmu sesederhana air mata yang jatuh setiap malam ketika merindukanmu. Padahal aku ingin melupakanmu sesederhana genggam tangan kita yang belum sempat bersatu. Padahal aku inign melupakanmu sesederhana kamu melupakanmu.
Tapi aku masih ingin mencintaimu.
Di dalam novel tersebut rupanya banyak puisi dan haiku yang isinya lumayan menggugah hati. Sederhana. Terkesan galau tapi tidak murahan. Juga tidak dipaksakan menggunakan bahasa Inggris agar terlihat lebih elegan namun struktur kalimat dan penggunaan katanya salah. Seperti yang biasa dilakukan ababil disosmed untuk menarik perhatian, ketika sedang berada dalam fase ‘galau’. Seperti yang biasa dilakukan olehku.
Bukan, aku di sini bukan untuk meresensi novel tersebut, namun karena aku ingin memasukkan salah satu puisi karya si tokoh novel ke sini. Puisi yang rupanya mengingatkanku akan dirimu, seorang lelaki yang kata temanku ‘jahat’ namun rupanya namamu serta ingatanku akan dirimu masih melekat dengan manis di hati dan pikiranku. Aku belum mau menghapusmu. Belum. Suatu saat pasti, tapi tidak sekarang. Rasanya semua masih terlalu manis untuk dilupakan.
Jadi, inilah puisi yang kuceritakan.
Aku Ingin Mencintai dan Melupakanmu dengan Sederhana
Oleh: Nessa Eswari Moe
aku ingin mencintaimu dengan sederhana.
seperti embun hinggap
di tepian daun dan tanah yang sabar menyambutnya jatuh
tapi aku ingin melupakanmu
aku ingin mencintaimu dengan sederhana.
seperti mata yang berkedip
menyambut pagi dan daun jendela
yang mengintip matahari
tapi aku ingin melupakanmu
aku ingin mencintaimu dengan sederhana. seperti gerimis pada jendela dan uap napasmu yang menulis nama ‘kita’
tapi aku ingin melupakanmu
aku ingin mencintaimu dengan sederhana.
seperti waktu yang tak pernah berhenti dan senyummu yang mengabadikannya
tapi aku ingin melupakanmu
aku ingin mencintaimu dengan sederhana.
seperti sebuah peluk yang sebentar
dan satu kecup yang perlahan saja
tapi aku ingin melupakanmu
aku ingin mencintaimu dengan sederhana.
seperti kata ‘rindu’ yang kuucap dan kau membalasnya dengan ‘aku juga’
tapi aku ingin melupakanmu
aku ingin melupakanmu dengan sederhana.
sesederhana air mata yang mengalir.
sesederhana genggam tangan yang terlepas
tapi aku ingin mencintaimu
Nah, jadi apa yang membuatku begitu tertarik dengan puisi ini? Rupanya ketika aku membacanya, aku seperti membaca sebuah pesan yang ingin kuberikan untukmu. Seperti membaca perasaanku untukmu. Perasaan yang mati-matian kutekan agar tidak membesar.
Nyatanya kamu terlarang untukku.
Bukannya aku tak tahu ketika kita bertemu saat itu. Bukannya aku menutup telinga ketika kita saling menyebutkan nama. Karena pada kenyataannya aku tahu, dan kaupun tahu. Tapi kita tetap membiarkan diri tenggelam dalam sebuah kolam bernamakan ‘kenyamanan’.
Atau setidaknya, begitu yang kurasa.
Kemudian diantara peperangan hati dan pikiran yang terjadi setiap berbicara denganmu, lagi-lagi aku membiarkan hatiku menang. Padahal akal sehatku sudah menarikku menjauh darimu. Padahal akal sehatku sudah memberi pembatas yang seharusnya tak kulewati. Padahal hatiku biasanya salah.
Tapi lagi-lagi, aku membiarkan hatiku menang.
Karena selagi akal sehat menyadarkanku, berusaha menempatkanku ditanah setelah sekian kali dibawa terbang tinggi olehmu, aku mendapati diriku justru berlari semakin dekat ke arahmu. Berlari melawan arus. Berlari melawan akal sehatku. Berlari melewati pembatas yang kubuat sendiri.
Sampai akhirnya aku terjatuh. Dan ketika aku mendongakkan kepala, untuk mencari sosokmu di seberang sana, rupanya kamu telah berbalik dan berjalan kearahnya. Entah siapa. Entah bagiamana dan entah mengapa aku tidak melihatnya di sana.
Tapi kamu memilih dia.
Dan selagi hatiku menangis, lagi-lagi karena salah pilihan, akal sehat mulai menertawakanku. Dan dia dengan menyebalkannya mulai berkata, “Apa kubilang. Seharusnya kamu mendengarkanku sejak awal. Bukannya malah mengikuti kata hatimu yang kelewat bodoh itu.”
Aku menyesal. Namun rupanya sudah terlalu terlambat untuk menyesal. Aku sudah tenggelam terlalu dalam di kolam ‘kenyamanan’ itu sementara kamu dengan mudahnya berenang naik, dan menerima uluran tangan seseorang di atas sana.
Dan aku makin tenggelam. Makin jatuh terlalu dalam karena rupanya hatiku masih menolak kepergianmu. Masih menolak ketidakberadaanmu lagi. Masih menolak kenyataan bahwa aku tidak mungkin bisa mendengar suaramu—yang menyebalkannya ternyata masih terekam dengan jelas di otakku—berceloteh tentang kegiatan harianmu dan menemaniku sampai aku terlelap. Suaramu yang biasa kudengar ketika aku membuka mata di pagi hari. Suaramu yang ternyata punya efek tersendiri dan mampu membuatku tenang seketika.
Suaramu yang sialnya sangat kurindukan.
Menyebalkan. Aku masih tidak habis pikir bisa membuka hatiku secepat ini untuk seseorang yang baru kukenal. Menyebalkan karena kupikir kamu berbeda dengan yang lain. Menyebalkan karena semua khayalku tentangmu berbanding terbalik dengan kenyataan yang tersaji dihadapanku. Menyebalkan karena dengan bodohnya lagi-lagi aku jatuh ke lubang yang sama.
Dan aku masih mengharapkanmu.
Sebut aku bodoh atau gila, well, semua temanku sudah berkata begitu ketika aku mulai berbicara tentangmu. Mereka selalu berkata tentang kamu jahat, tentang mereka menyesal telah mendukungku, dan sebagainya, dan sebagainya.
Tapi diatas semua itu, aku masih mencari secuil harapan untuk sekadar bisa melihatmu atau mendengar suaramu sekali lagi. Yang kutahu, justru akan membuatku semakin susah melupakanmu. Tapi hatiku lagi-lagi berontak meski pikiranku sudah membentaknya ratusan kali. Perang batin yang selalu kulakukan sejak bertemu denganmu.
Aku sama sekali tidak bisa menyebutmu jahat, seperti teman-temanku. Aku sama sekali tidak bisa melupakanmu, seperti yang teman-temanku usulkan. Entahlah, rasanya bukan tidak bisa. Lebih kepada, tidak mau. Aku masih menolak kenyataan bahwa kita sudah berada di jalan yang berbeda. Bahwa sebenarnya sejak awal kita berada di jalan yang berbeda. Di jalan yang tidak akan pernah menyatu.
Bersisian tapi tidak bersatu. Bersebelahan tapi tidak pernah bisa bersama. Kau dan aku sadar akan hal itu.
Rasanya sulit menerima takdir ketika itu semua berkebalikkan dengan yang kuinginkan. Karena keputusanku tetap sama. Yang kuiniginkan tetap dirimu.
Ah, kenapa rasanya takdir jahat sekali? Kenapa ia tak mau melihatku bahagia denganmu? Atau mungkin karena kamu memang tidak bisa membahagiakanku?
Tapi aku bahagia denganmu. Kamu orang pertama yang membuatku enggan menutup telepon meski jarum jam sudah menunjukkan pukul dua pagi. Kamu orang pertama yang membuatku enggan menutup telepon meski biasanya aku terlalu malas berbicara. Kamu orang pertama yang membuatku dengan senang hati merangkak dari kasur menuju meja tempat headsetku berada, hanya untuk mendengar suaramu.
Menyebalkan. Aku masih juga merindukan suaramu.
Padahal aku ingin melupakanmu sesederhana air mata yang jatuh setiap malam ketika merindukanmu. Padahal aku ingin melupakanmu sesederhana genggam tangan kita yang belum sempat bersatu. Padahal aku inign melupakanmu sesederhana kamu melupakanmu.
Tapi aku masih ingin mencintaimu.
Sunday, December 8, 2013
Pertemuan Pertama Kita
Matahari bersinar begitu terik siang ini. Bahkan pendingin ruangan terasa
tidak ada gunanya. Dosen Kewarganegaraan masih menjelaskan materi tentang
Geopolitik Indonesia. Namun aku bosan. Aku melihat sekeliling dan banyak
temanku yang sudah tertidur. Kuliah gabungan memang tidak efektif. Dua jurusan
diharuskan berada di satu ruangan yang besarnya pas-pasan, menghadapi dosen
yang mengoceh tiada henti, dan teriknya sinar matahari yang menembus jendela.
Para sahabatku, di sebelah kiri dan kanan sudah sibuk dengan ponsel
masing-masing. Entah mendengarkan lagu, atau sekedar membuka timeline Twitter. Membosankan.
Aku mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan, dan tatapanku terhenti
pada sesosok lelaki yang sedang serius mendengarkan dosen, tak jauh dari
tempatku duduk. Aku belum pernah melihatnya sebelum ini. Atau mungkin sudah,
tapi aku tidak peduli. Sekarang aku tidak bisa mengalihkan perhatianku. Entahlah,
tampaknya aku kagum dengan keseriusannya. Matanya fokus menatap ke arah slide yang silih berganti, dan tangannya
tidak berhenti mencatat. Beberapa kali kulihat teman disebelahnya berusaha
mengajaknya mengobrol, tapi hanya ditanggapinya dengan senyuman kecil. “Nanti
dulu, ya.” Aku membaca gerak bibirnya. Dan tanpa sadar aku tersenyum.
Tiba-tiba lelaki itu menoleh, menatapku. Mungkin dia merasa sedang
diperhatikan. Aku kaget, dan mendadak terpaku. Dia tersenyum sambil mengangguk
kecil. Aku membeku. Bahkan tidak terpikir untuk membalas senyumnya, sampai ia
kembali menghadap ke depan.
Entah kenapa setelah itu aku merasa senang. Luar biasa senang. Aku tidak
bisa mengenyahkan wajahnya yang tersenyum padaku. Senyum yang hangat, diikut
tatapan matanya yang teduh. Aku terlena.
Terlalu senang bahkan untuk menyadari bahwa kuliah telah selesai. Dosennya
telah keluar ruangan. Kedua sahabatku sudah bersiap untuk pulang.
“Akhirnya selesai juga. Yuk, pulang! Ngantuk, nih.”
Mereka sudah mengambil tas ketika aku baru sadar bahwa bukuku masih
berserakan di meja, dan laptop-ku
juga masih menyala. “Kalian duluan deh, aku kayaknya masih agak lama nih.”
“Yaudah, kita tunggu di kantin, ya.” Merekapun berlalu bersama teman-teman
yang lain.
Aku merutuki kesenanganku tadi sehingga tidak bisa fokus. Aku sadar aku
tidak pernah bisa beberes cepat. Biasanya, lima menit sebelum mata kuliah
berakhir, aku sudah membereskan buku dan laptop.
Tapi, karena memikirkan senyuman lelaki tadi, aku seolah melupakan segalanya.
Buru-buru aku memasukkan seluruh bukuku ke dalam tas, dan mematikan laptop. Kemudian memasang sepatu yang
sengaja kulepas, dan segera bersiap keluar ruangan. Saat itu aku baru sadar
bahwa lelaki yang senyumnya memabukkan itu, masih di dalam ruangan. Masih
mencatat. Dengan ragu, aku menghampirinya.
“Nggak pulang?” tanyaku.
Dia menoleh, dan tersenyum. Duh! “Oh? Iya, sebentar lagi. Catetannya masih
kurang sedikit.”
Aku mengangguk-angguk. “Oke, kalo gitu gue duluan ya.”
Lagi-lagi ia tersenyum dan mengangguk. Aku baru saja akan melangkah pergi
ketika ia memanggilku, “Hey! Gue Ardi.”
Berusaha mengatasi kesenangan, aku tersenyum. “Gue…”
“Gue tau nama lo, kok,” katanya. “Nina, kan?”
Aku terkejut. Entah harus kaget, atau senang. Atau keduanya. Dia tertawa
kecil melihatku terdiam terpaku. “Sampai ketemu besok, Nina.” Dia tersenyum
sambil melambai, sebelum kembali konsentrasi kepada catatannya.
Aku tersenyum dan segera berjalan cepat keluar ruangan. Senang bukan main. Ternyata
dia tahu namaku. Dia tahu namaku!
Aku berjalan cepat menuju kantin, tidak sabar untuk berbagi cerita. Senyum lebar
masih terkembang dibibirku.
Sampai ketemu besok, Ardi…
Tuesday, November 19, 2013
Hate That I Love You So
Sebutlah aku jahat, karena memang begitu keadaannya sekarang. Aku tak lagi
peduli. Aku bahkan percaya bahwa sekarang aku tak lagi merasakan apapun. Aku
masih tetap membayangkan wujudmu di sisiku, menemani hari-hariku yang sepi
sejak jarah memisahkan kita. Namun, Sayang, aku tidak lagi merasakan debaran
seperti yang dulu kurasakan ketika berada di dekatmu. Jahatkah aku, Sayang?
Mungkin. Tapi kamu yang membuatku begini.
Mungkin kamu sibuk, aku paham. Mungkin tugasmu menumpuk, tapi begitu juga
denganku, Sayang. Mungkin aku bukan lagi prioritasmu nomor satu. Ah, tapi dari
dulu memang bukan. Selalu aku yang menomorsatukan dirimu.
Seperti di film, tokoh cowok
selalu merasa bersalah ketika ceweknya ngambek, dan mengajukan pertanyaan
memojokkan seperti, “Pilih aku atau temanmu?” Sempat terpikir olehku untuk
mengajukan pertanyaan seperti itu padamu, lalu aku sadar. Aku bahkan tak dapat
dibandingkan oleh temanmu. Seratus persen aku yakin kamu akan tetap memilih
temanmu. Ah, bahkan mungkin aku tidak pernah menjadi satu dari sekian pilihanmu
itu. Sedih? Kenyataan memang menyedihkan, Sayang.
Bahkan sejak dulu, ketika kita masih satu sekolah, kelas kita hanya
dipisahkan tangga, dan rumah kita hanya beda kecamatan, aku sudah sering merasa
seperti itu. Kaget, Sayang? Tentu saja aku tidak pernah menceritakannya padamu.
Apalagi sekarang. Well, rumah
kita memang masih berdekatan. Tapi kita kan tidak. Aku di sini, ratusan
kilometer jauhnya dari kamu. Sama-sama mengejar cita-cita. Padahal kata orang,
LDR itu asyik, banyak tantangannya, membuat kita jadi semakin menghargai setiap
pertemuan. Ah, tapi itukan kata orang. Aku tidak lagi merasakannya. Susah? Ya.
Aku sudah berjuang, Sayang, aku sudah mencoba dan kamu tahu itu.
Aku lelah, Sayang. Menangisimu setiap malam dan kamu tidak pernah tahu.
Betapa sikapmu itu sangat menyebalkan dan membuatku kesal. Tapi rasa sayangku
masih jauh diatas itu semua. Bahkan ketika kita tidak berjarak sekalipun, aku
tidak pernah menjadi prioritas nomor satumu, apalagi sekarang? Wuih, sepertinya
sih namaku ada di lembar kedua.
Mengerti apa yang kurasakan, Sayang? Tentu saja aku masih menyayangimu,
kamu masih pacarku, kan? Tapi, entahlah, Sayangku, aku tidak lagi memikirkanmu
sesering dulu. Mungkin karena kamu juga begitu. Aku rindu, memang, sangat
malah. Tapi apa jaminannya kamu merindukanku juga? Ketika aku tahu kamu bahkan
tidak mau meluangkan satu menit dari 24 jam hidupmu dalam sehari untuk sekadar
memberi kabar, dan bersapa ringan.
Aku jahat, kan, Sayang? Aku minta maaf kalau kamu tersakiti dengan
kata-kataku. Tapi kenyataan memang pahit, dan kehidupan ini jauh lebih jahat
daripada aku.
Friday, November 1, 2013
Pemersatu
Langit sudah terlanjur menangis kencang sebelum
aku sempat mengeluarkan sepeda motorku dari garasi rumah. Sambil mendengus
kesal, aku melirik jam tangan. Lagi-lagi aku harus mencoret satu jadwalku hari
ini karena hujan yang mendadak datang. Padahal hari ini ada meet and greet bersama penulis favoritku di mall dekat rumah. Acara yang sudah
kutunggu sejak lama.
Ugh. Aku benci hujan.
Untuk mengurasi rasa kesal, aku memutuskan
membuat secangkir coklat hangat untuk menemani soreku. Tapi bukannya berkurang,
rasa kesalku masih bertambah, karena saat pertemuan terakhir kita, hujan
datang.
Sore
itu hujan turun. Langit menangis kencang, seolah menggantikanku yang menahan
air mata sejak tadi. Rumahku sepi seperti biasa. Ayah dan Bunda masih kerja, Pak
Amin seperti biasa berjaga di pos depan dan Mbak Ima sedang asyik dengan ponsel
baru di kamarnya. Aku saat itu masih libur akhir semester. Terduduk di
sebelahmu, di teras depan rumah, menikmati coklat panas, dan suara hujan di
antara kita. Menahan tangis, ketika mengetahui bahwa hari itu adalah pertemuan
terakhir kita, untuk beberapa tahun kedepan.
”Aku
pasti pulang,” katamu meyakinkanku saat itu.
“Jangan
berjanji terlalu banyak.”
“Percaya
sama aku, Sayang. Aku pasti pulang.” Dan kamu menatapku seolah aku adalah
makhluk paling indah di dunia. Selalu. Aku selalu tersipu ketika kamu menatapku
seperti itu. Dan selalu, aku jatuh dalam segala kata-kata manis dan tatapanmu. Juga
pelukanmu yang hangat, pelukan terakhir, sebelum aku mengantarmu ke mobilmu
yang kemudian melaju di tengah hujan menuju bandar udara.
Aku berusaha mengenyahkan kenangan akan
pertemuan terakhir kita, mengingat sudah dua tahun berlalu sejak kamu meninggalkanku
untuk studimu di benua lain. Disela tangisku waktu itu, aku berusaha tersenyum,
mengingatkan diri bahwa ini adalah cita-citamu, impianmu. Tidak mungkin aku
menghalangimu melangkah mendekati mimpimu.
Namun apa yang bisa kuharapkan dari sebuah
hubungan jarak jauh? Ketika aku terbangun di sini, kamu baru saja selesai dari
kegiatanmu sehari-hari, dan bersiap untuk istirahat. Aku selalu berusaha
menahan diri untuk tidak menuntut terlalu banyak komunikasi yang menyita waktu
isitrahatmu. Tidak apa tidak berbincang, tidak saling bertukar cerita setiap
hari, asal aku tahu bahwa kamu sehat-sehat di sana.
Aku masih mengharapkan kamu. Meski begitu
banyak godaan di sekitar, yang sempat meyakinkanku untuk mengakhiri hubungan
kita. Tapi kamu selalu meyakinkanku untuk tetap bertahan. Dan aku masih
bertahan sampai saat ini, untukmu.
Ternyata sudah satu jam aku duduk di
teras, menikmati hujan yang mulai mereda, dan melupakan coklatku yang sudah
tidak lagi hangat. Aku memutuskan masuk ke dalam rumah, dan membuat secangkir
coklat hangat lagi, ketika kudengar pintu pagar dibuka dan suara mobil masuk.
“Ah, akhirnya Bunda pulang.” Setidaknya kami
bisa menghabiskan waktu berdua di teras depan, bercerita tentang berbagai hal. Atau
mungkin kita bisa ke salon, memanjakan diri.
Tapi tidak juga kudengar suara hangat
Bunda yang selalu berisik ketika masuk rumah, malah kudengar suara bel yang
berbunyi.
Shock. Ketika kubuka pintu dan mendapati dirimu
dengan senyummu yang menawan. “Aku pulang, Sayang.” Katamu sambil meraihku
dalam pelukanmu. Aku masih tidak bisa berkata-kata, malah air mata yang keluar.
Seberapapun aku meyakinkan diri aku benci
hujan, tidak bisa dipungkiri bahwa hujan juga yang menyatukan kita.
Saturday, October 12, 2013
Aku Tidak Lagi Peduli, Bahkan Jika Kamu Pergi
Aku punya banyak pilihan. Terbentang dihadapanku. Aku
hanya tinggal menunjuk, memilih, dan menjalaninya. Memilih itulah yang sulit. Mana
yang lebih baik? Mana yang cocok untukku? Mana yang sebaiknya kujalankan? Mana yang
tidak? Mana yang membawa pengaruh buruk? Yang mana? Aku bahkan tidak tahu.
Aku tidak bisa berpikir dengan jernih sekarang. Dan semua
hal terasa mempunyai deadline sampai esok
hari. Semua harus kuselesaikan dan kupikirkan untuk besok.
Ah, entahlah. Aku terlalu lelah. Bahkan untuk bernapas
pun aku merasa letih. Aku tidak lagi bertenaga. Seluruh energiku tersedot untuk
kegiatan akhir-akhir ini. Ditambah perasaanku yang selalu kacau.
Ya Tuhan, tolong aku.
Otakku kacau. Pikiranku semrawut. Badanku lemah. Perasaanku
tak karuan. Perutku terasa lapar, tapi mulutku tak mau mengunyah. Lelah,
katanya. Badanku butuh energi, tapi bahkan aku tidak punya energi untuk sekadar
mengunyah makanan.
Badanku lemas, mataku mengantuk, tapi otakku tidak juga
mau berhenti bekerja. Selalu ada yang dipikirkan. Bagaimana besok? Apa yang
akan terjadi? Harus bagaimana besok? Yang ini belum selesai, ditambah yang itu.
Tugas yang ini baru jadi setengah, ditambah lagi tugas yang lain.
Ya Tuhan, tolong bimbing aku.
Aku lelah. Aku menyerah. Seperti tersesat, aku bahkan
tidak tahu apa yang harus kulakukan, jalan mana yang harus kuambil, kemana aku
harus melangkah selanjutnya, aku tidak tahu.
Aku butuh bantuan. Tidak ada seorangpun yang bahkan
mengerti apa yang kurasakan. Apa yang harus kuhadapi setiap harinya.
Aku butuh penyemangat. Tapi masing-masing temanku masih
sibuk dengan kegiatan mereka. Terlalu sibuk, bahkan untuk sekadar bertanya
kabar. Terlalu sibuk untuk peduli.
Siapa yang peduli padaku? Orang tua? Ah, tentu saja. Tapi
sekarang, mereka nun jauh di sana. Di pulau yang berbeda. Sibuk mengurus
pameran di luar kota.
Kemudian aku di sini, berdiri sendiri, ditemani bayanganku.
Dan doa dari orang-orang yang mengasihiku. Berusaha bertahan hidup, di
lingkungan yang terlalu berbeda dengan yang biasa kuhadapi. Berusaha menghidupi
diri, dengan sedikit wawasan yang kuketahui tentang daerah di sini.
Tidak jarang terbesit pikiran untuk menyerah. Berhenti,
dan kembali pada zona nyamanku yang dulu. Tapi, kalau terus begitu, apa aku
bisa maju? Atau itu yang disebut jalan di tempat? Malah, tidak jalan sama
sekali?
Sendiri, akupun berusaha menguatkan diri. Menarik lagi
air mata yang sudah terlanjur terjatuh, dan berdoa. Aku masih percaya pada
rencana Tuhan, yang selalu lebih baik dari segala ekspektasiku akan dunia ini.
Karena aku sudah pernah memilih, dan Tuhan membawaku ke
sini. Aku hanya perlu menjalaninya, dan percaya bahwa Tuhan tahu yang terbaik
untukku. Bahkan ketika itu merupakan keadaan terburuk dari sisi pandangku.
Tuhan-pun sudah memilih untuk memberiku kesempatan
mencoba lagi, sesederhana seperti memberiku kehidupan untuk dijalani lagi esok
hari. Memberi lagi udara yang bisa kuhirup, dan air yang bisa kunikmati.
Akupun mengangkat kepala, setelah berterima kasih
kepada Tuhan, dan tersenyum. Bahkan ketika aku tidak punya orang-orang di
sisiku, orang-orang untuk membantuku, untuk sekadar peduli kepadaku, aku masih
punya Tuhan. Aku tidak lagi peduli, pada siapapun dia yang meninggalkanku.
Wednesday, July 24, 2013
Kita Tidak Pernah Terlalu Jauh Untuk Saling Menyayangi
“Nanti
malam kita video call, yuk?” ajakmu
suatu sore melalu telepon.
“Emangnya
kamu bisa? Lagi gak ada tugas?”
“Ada,
sih. Tapi ini lagi ngerjain sekarang. Nanti malam pasti bisa, kok. Janji.” Katamu
berusaha meyakinkanku.
Bukannya
aku tak percaya, tapi kamu juga mengatakan itu padaku, minggu lalu. Katamu
tugasmu sudah selesai, dan punya waktu luang. Nyatanya? Aku menunggu hingga
pukul satu dini hari, masih tak ada kabar darimu.
“Jangan
janji kalau nggak bisa nepatin, Sayang.” Aku ingin mempercayai kata-katamu.
Tapi aku juga terlalu lelah menelan semua janjimu yang pada akhirnya adalah
palsu.
“Iya.
Tapi, pasti bisa kok. Benar, deh.”
“Kita
lihat nanti aja, ya. Bye.” Akhirnya aku memutus sambungan, sebelum kamu
mengucap janji lain.
Aku
merebahkan kepalaku di atas bantal. Sekarang sudah pukul lima. Aku bosan. Sedari
tadi tak ada yang kulakukan. Padahal sekarang hari Sabtu. Tapi waktu kuliahmu
masih padat juga.
“Ah,
mulai kuliah kapan, sih?” Tanyaku dalam hati. Padahal aku sudah tahu
jawabannya, masih bulan depan.
Setidaknya
kalau aku sudah mulai kuliah, aku bisa merasakan kesibukan sepertimu. Seperti
yang kau katakan dulu. Tapi itu tidak akan terjadi dalam waktu dekat. Selama
kamu masih sibuk dengan jam kuliahmu yang padat itu, dan aku berdiam diri di
rumah tanpa kesibukan apapun, sepertinya aku tidak akan bisa mengerti itu.
Aku tahu,
diam-diam kamu berharap aku mengerti segala kesibukanmu. Sungguh, akupun
berusaha. Tapi membiasakan diri itu butuh proses. Mungkin sebulan tidak cukup. Mungkin
aku terlalu egois. Mungkin kamu terlalu sibuk. Terlalu banyak kemungkinan.
Aku benci
berada puluhan, mungkin ratusan kilometer jauhnya darimu. Aku benci terhalang
jarak hanya untuk bertemu. Aku benci segala kemungkinan yang bisa terjadi,
namun tidak terjadi, hanya karena masalah jarak. Aku benci tidak bisa
menghubungimu semauku. Aku benci tidak mendapat kabar darimu. Aku benci kita
tidak seperti yang dulu lagi.
Tapi
waktu tidak juga mau mengerti, bergulir tanpa kenal ampun. Satu jam, dua jam,
kulewati dengan sia-sia, berharap namamu muncul di ponselku. Satu hari, satu
minggu, jarak masih juga memisahkan kita.
“Lebay
lo. Jarak kalian gak sejauh itu.” Kata seorang teman suatu hari. Memang.
Bukan jarak
yang menjadi masalah. Tapi waktu. Aku bisa saja terbangun suatu hari, dan sudah
dalam perjalanan menuju stasiun untuk menemuimu di sana. Tapi tidak pernah kulakukan. Apa yang akan
kulakukan setelah tiba di sana? Memangnya kamu mau menemuiku? Bagaimana kalau
ternyata kamu sedang kuliah? Sibuk sampai sore, sampai waktunya aku kembali
lagi. Lagipula, aku buta arah, tidak seberani itu untuk mencarimu di kota sana,
yang notabene tidak pernah kujelajahi sendiri.
Lagi-lagi
aku berpikir terlalu banyak. Lelah. Mungkin sebenarnya kita tidak sejauh itu, waktu
tidak sejahat yang kupikirkan, dan kamu juga sama menderitanya sepertiku.
Tapi,
dasar egoku yang tidak tahu diri, semaunya memikirkanmu dan mengingikanmu
berada sedekat mungkin denganku. Padahal kamu sedang mengejar cita-citamu di
sana. Padahal seharusnya aku tidak membebanimu. Padahal seharusnya aku berusaha
mengertimu, karena aku pasti juga menginginkan hal yang sama darimu. Dimengerti.
Ah,
ternyata sudah pukul delapan. Ponselku masih berdiam diri. Sambil berharap
semoga kamu tidak melupakan janjimu, aku menekan sederet angka yang sudah
kuhapal sejak pertama kali membacanya. Terdengar nada sambung, namun tanpa
suara jawabanmu. Tiga belas kali sudah aku mencoba tanpa hasil. Ponselmu bergeming
di sana.
Mungkin kamu
lelah, tugasmu telah menelan terlalu banyak waktu dan energi. Dan aku, menelan
janjimu lagi, sambil berusaha menenangkan hati yang menjerit perih. Akhirnya aku
memutuskan untuk mengirimkan sebuah pesan singkat, yang kuharap dapat
meluluhkan hatimu untuk meluangkan sedikit waktu membalas pesanku ataupun
menjawab teleponku.
“Selamat malam, selamat tidur. Istirahat yang
cukup, ya. Aku sayang kamu.”
Subscribe to:
Posts (Atom)