Sebutlah aku jahat, karena memang begitu keadaannya sekarang. Aku tak lagi
peduli. Aku bahkan percaya bahwa sekarang aku tak lagi merasakan apapun. Aku
masih tetap membayangkan wujudmu di sisiku, menemani hari-hariku yang sepi
sejak jarah memisahkan kita. Namun, Sayang, aku tidak lagi merasakan debaran
seperti yang dulu kurasakan ketika berada di dekatmu. Jahatkah aku, Sayang?
Mungkin. Tapi kamu yang membuatku begini.
Mungkin kamu sibuk, aku paham. Mungkin tugasmu menumpuk, tapi begitu juga
denganku, Sayang. Mungkin aku bukan lagi prioritasmu nomor satu. Ah, tapi dari
dulu memang bukan. Selalu aku yang menomorsatukan dirimu.
Seperti di film, tokoh cowok
selalu merasa bersalah ketika ceweknya ngambek, dan mengajukan pertanyaan
memojokkan seperti, “Pilih aku atau temanmu?” Sempat terpikir olehku untuk
mengajukan pertanyaan seperti itu padamu, lalu aku sadar. Aku bahkan tak dapat
dibandingkan oleh temanmu. Seratus persen aku yakin kamu akan tetap memilih
temanmu. Ah, bahkan mungkin aku tidak pernah menjadi satu dari sekian pilihanmu
itu. Sedih? Kenyataan memang menyedihkan, Sayang.
Bahkan sejak dulu, ketika kita masih satu sekolah, kelas kita hanya
dipisahkan tangga, dan rumah kita hanya beda kecamatan, aku sudah sering merasa
seperti itu. Kaget, Sayang? Tentu saja aku tidak pernah menceritakannya padamu.
Apalagi sekarang. Well, rumah
kita memang masih berdekatan. Tapi kita kan tidak. Aku di sini, ratusan
kilometer jauhnya dari kamu. Sama-sama mengejar cita-cita. Padahal kata orang,
LDR itu asyik, banyak tantangannya, membuat kita jadi semakin menghargai setiap
pertemuan. Ah, tapi itukan kata orang. Aku tidak lagi merasakannya. Susah? Ya.
Aku sudah berjuang, Sayang, aku sudah mencoba dan kamu tahu itu.
Aku lelah, Sayang. Menangisimu setiap malam dan kamu tidak pernah tahu.
Betapa sikapmu itu sangat menyebalkan dan membuatku kesal. Tapi rasa sayangku
masih jauh diatas itu semua. Bahkan ketika kita tidak berjarak sekalipun, aku
tidak pernah menjadi prioritas nomor satumu, apalagi sekarang? Wuih, sepertinya
sih namaku ada di lembar kedua.
Mengerti apa yang kurasakan, Sayang? Tentu saja aku masih menyayangimu,
kamu masih pacarku, kan? Tapi, entahlah, Sayangku, aku tidak lagi memikirkanmu
sesering dulu. Mungkin karena kamu juga begitu. Aku rindu, memang, sangat
malah. Tapi apa jaminannya kamu merindukanku juga? Ketika aku tahu kamu bahkan
tidak mau meluangkan satu menit dari 24 jam hidupmu dalam sehari untuk sekadar
memberi kabar, dan bersapa ringan.
Aku jahat, kan, Sayang? Aku minta maaf kalau kamu tersakiti dengan
kata-kataku. Tapi kenyataan memang pahit, dan kehidupan ini jauh lebih jahat
daripada aku.