Langit sudah terlanjur menangis kencang sebelum
aku sempat mengeluarkan sepeda motorku dari garasi rumah. Sambil mendengus
kesal, aku melirik jam tangan. Lagi-lagi aku harus mencoret satu jadwalku hari
ini karena hujan yang mendadak datang. Padahal hari ini ada meet and greet bersama penulis favoritku di mall dekat rumah. Acara yang sudah
kutunggu sejak lama.
Ugh. Aku benci hujan.
Untuk mengurasi rasa kesal, aku memutuskan
membuat secangkir coklat hangat untuk menemani soreku. Tapi bukannya berkurang,
rasa kesalku masih bertambah, karena saat pertemuan terakhir kita, hujan
datang.
Sore
itu hujan turun. Langit menangis kencang, seolah menggantikanku yang menahan
air mata sejak tadi. Rumahku sepi seperti biasa. Ayah dan Bunda masih kerja, Pak
Amin seperti biasa berjaga di pos depan dan Mbak Ima sedang asyik dengan ponsel
baru di kamarnya. Aku saat itu masih libur akhir semester. Terduduk di
sebelahmu, di teras depan rumah, menikmati coklat panas, dan suara hujan di
antara kita. Menahan tangis, ketika mengetahui bahwa hari itu adalah pertemuan
terakhir kita, untuk beberapa tahun kedepan.
”Aku
pasti pulang,” katamu meyakinkanku saat itu.
“Jangan
berjanji terlalu banyak.”
“Percaya
sama aku, Sayang. Aku pasti pulang.” Dan kamu menatapku seolah aku adalah
makhluk paling indah di dunia. Selalu. Aku selalu tersipu ketika kamu menatapku
seperti itu. Dan selalu, aku jatuh dalam segala kata-kata manis dan tatapanmu. Juga
pelukanmu yang hangat, pelukan terakhir, sebelum aku mengantarmu ke mobilmu
yang kemudian melaju di tengah hujan menuju bandar udara.
Aku berusaha mengenyahkan kenangan akan
pertemuan terakhir kita, mengingat sudah dua tahun berlalu sejak kamu meninggalkanku
untuk studimu di benua lain. Disela tangisku waktu itu, aku berusaha tersenyum,
mengingatkan diri bahwa ini adalah cita-citamu, impianmu. Tidak mungkin aku
menghalangimu melangkah mendekati mimpimu.
Namun apa yang bisa kuharapkan dari sebuah
hubungan jarak jauh? Ketika aku terbangun di sini, kamu baru saja selesai dari
kegiatanmu sehari-hari, dan bersiap untuk istirahat. Aku selalu berusaha
menahan diri untuk tidak menuntut terlalu banyak komunikasi yang menyita waktu
isitrahatmu. Tidak apa tidak berbincang, tidak saling bertukar cerita setiap
hari, asal aku tahu bahwa kamu sehat-sehat di sana.
Aku masih mengharapkan kamu. Meski begitu
banyak godaan di sekitar, yang sempat meyakinkanku untuk mengakhiri hubungan
kita. Tapi kamu selalu meyakinkanku untuk tetap bertahan. Dan aku masih
bertahan sampai saat ini, untukmu.
Ternyata sudah satu jam aku duduk di
teras, menikmati hujan yang mulai mereda, dan melupakan coklatku yang sudah
tidak lagi hangat. Aku memutuskan masuk ke dalam rumah, dan membuat secangkir
coklat hangat lagi, ketika kudengar pintu pagar dibuka dan suara mobil masuk.
“Ah, akhirnya Bunda pulang.” Setidaknya kami
bisa menghabiskan waktu berdua di teras depan, bercerita tentang berbagai hal. Atau
mungkin kita bisa ke salon, memanjakan diri.
Tapi tidak juga kudengar suara hangat
Bunda yang selalu berisik ketika masuk rumah, malah kudengar suara bel yang
berbunyi.
Shock. Ketika kubuka pintu dan mendapati dirimu
dengan senyummu yang menawan. “Aku pulang, Sayang.” Katamu sambil meraihku
dalam pelukanmu. Aku masih tidak bisa berkata-kata, malah air mata yang keluar.
Seberapapun aku meyakinkan diri aku benci
hujan, tidak bisa dipungkiri bahwa hujan juga yang menyatukan kita.
No comments:
Post a Comment