Ada sebuah novel berjudul Cinta. karya Bernard Batubara, terbitan Bukune yang beberapa bulan lalu kubeli. Aku sempat membacanya sekali, di J.CO Mall Bali Galeria, sembari menunggu dijemput, ditemani sebuah donat gratis yang kudapat setelah membeli satu cup ukuran besar tiramisu. Novel itu kemudian terjajar rapi di rak buku di dalam kosku, sampai aku mengambilnya lagi beberapa hari yang lalu, untuk kemudian kubawa pulang ke rumah.
Di dalam novel tersebut rupanya banyak puisi dan haiku yang isinya lumayan menggugah hati. Sederhana. Terkesan galau tapi tidak murahan. Juga tidak dipaksakan menggunakan bahasa Inggris agar terlihat lebih elegan namun struktur kalimat dan penggunaan katanya salah. Seperti yang biasa dilakukan ababil disosmed untuk menarik perhatian, ketika sedang berada dalam fase ‘galau’. Seperti yang biasa dilakukan olehku.
Bukan, aku di sini bukan untuk meresensi novel tersebut, namun karena aku ingin memasukkan salah satu puisi karya si tokoh novel ke sini. Puisi yang rupanya mengingatkanku akan dirimu, seorang lelaki yang kata temanku ‘jahat’ namun rupanya namamu serta ingatanku akan dirimu masih melekat dengan manis di hati dan pikiranku. Aku belum mau menghapusmu. Belum. Suatu saat pasti, tapi tidak sekarang. Rasanya semua masih terlalu manis untuk dilupakan.
Jadi, inilah puisi yang kuceritakan.
Aku Ingin Mencintai dan Melupakanmu dengan Sederhana
Oleh: Nessa Eswari Moe
aku ingin mencintaimu dengan sederhana.
seperti embun hinggap
di tepian daun dan tanah yang sabar menyambutnya jatuh
tapi aku ingin melupakanmu
aku ingin mencintaimu dengan sederhana.
seperti mata yang berkedip
menyambut pagi dan daun jendela
yang mengintip matahari
tapi aku ingin melupakanmu
aku ingin mencintaimu dengan sederhana. seperti gerimis pada jendela dan uap napasmu yang menulis nama ‘kita’
tapi aku ingin melupakanmu
aku ingin mencintaimu dengan sederhana.
seperti waktu yang tak pernah berhenti dan senyummu yang mengabadikannya
tapi aku ingin melupakanmu
aku ingin mencintaimu dengan sederhana.
seperti sebuah peluk yang sebentar
dan satu kecup yang perlahan saja
tapi aku ingin melupakanmu
aku ingin mencintaimu dengan sederhana.
seperti kata ‘rindu’ yang kuucap dan kau membalasnya dengan ‘aku juga’
tapi aku ingin melupakanmu
aku ingin melupakanmu dengan sederhana.
sesederhana air mata yang mengalir.
sesederhana genggam tangan yang terlepas
tapi aku ingin mencintaimu
Nah, jadi apa yang membuatku begitu tertarik dengan puisi ini? Rupanya ketika aku membacanya, aku seperti membaca sebuah pesan yang ingin kuberikan untukmu. Seperti membaca perasaanku untukmu. Perasaan yang mati-matian kutekan agar tidak membesar.
Nyatanya kamu terlarang untukku.
Bukannya aku tak tahu ketika kita bertemu saat itu. Bukannya aku menutup telinga ketika kita saling menyebutkan nama. Karena pada kenyataannya aku tahu, dan kaupun tahu. Tapi kita tetap membiarkan diri tenggelam dalam sebuah kolam bernamakan ‘kenyamanan’.
Atau setidaknya, begitu yang kurasa.
Kemudian diantara peperangan hati dan pikiran yang terjadi setiap berbicara denganmu, lagi-lagi aku membiarkan hatiku menang. Padahal akal sehatku sudah menarikku menjauh darimu. Padahal akal sehatku sudah memberi pembatas yang seharusnya tak kulewati. Padahal hatiku biasanya salah.
Tapi lagi-lagi, aku membiarkan hatiku menang.
Karena selagi akal sehat menyadarkanku, berusaha menempatkanku ditanah setelah sekian kali dibawa terbang tinggi olehmu, aku mendapati diriku justru berlari semakin dekat ke arahmu. Berlari melawan arus. Berlari melawan akal sehatku. Berlari melewati pembatas yang kubuat sendiri.
Sampai akhirnya aku terjatuh. Dan ketika aku mendongakkan kepala, untuk mencari sosokmu di seberang sana, rupanya kamu telah berbalik dan berjalan kearahnya. Entah siapa. Entah bagiamana dan entah mengapa aku tidak melihatnya di sana.
Tapi kamu memilih dia.
Dan selagi hatiku menangis, lagi-lagi karena salah pilihan, akal sehat mulai menertawakanku. Dan dia dengan menyebalkannya mulai berkata, “Apa kubilang. Seharusnya kamu mendengarkanku sejak awal. Bukannya malah mengikuti kata hatimu yang kelewat bodoh itu.”
Aku menyesal. Namun rupanya sudah terlalu terlambat untuk menyesal. Aku sudah tenggelam terlalu dalam di kolam ‘kenyamanan’ itu sementara kamu dengan mudahnya berenang naik, dan menerima uluran tangan seseorang di atas sana.
Dan aku makin tenggelam. Makin jatuh terlalu dalam karena rupanya hatiku masih menolak kepergianmu. Masih menolak ketidakberadaanmu lagi. Masih menolak kenyataan bahwa aku tidak mungkin bisa mendengar suaramu—yang menyebalkannya ternyata masih terekam dengan jelas di otakku—berceloteh tentang kegiatan harianmu dan menemaniku sampai aku terlelap. Suaramu yang biasa kudengar ketika aku membuka mata di pagi hari. Suaramu yang ternyata punya efek tersendiri dan mampu membuatku tenang seketika.
Suaramu yang sialnya sangat kurindukan.
Menyebalkan. Aku masih tidak habis pikir bisa membuka hatiku secepat ini untuk seseorang yang baru kukenal. Menyebalkan karena kupikir kamu berbeda dengan yang lain. Menyebalkan karena semua khayalku tentangmu berbanding terbalik dengan kenyataan yang tersaji dihadapanku. Menyebalkan karena dengan bodohnya lagi-lagi aku jatuh ke lubang yang sama.
Dan aku masih mengharapkanmu.
Sebut aku bodoh atau gila, well, semua temanku sudah berkata begitu ketika aku mulai berbicara tentangmu. Mereka selalu berkata tentang kamu jahat, tentang mereka menyesal telah mendukungku, dan sebagainya, dan sebagainya.
Tapi diatas semua itu, aku masih mencari secuil harapan untuk sekadar bisa melihatmu atau mendengar suaramu sekali lagi. Yang kutahu, justru akan membuatku semakin susah melupakanmu. Tapi hatiku lagi-lagi berontak meski pikiranku sudah membentaknya ratusan kali. Perang batin yang selalu kulakukan sejak bertemu denganmu.
Aku sama sekali tidak bisa menyebutmu jahat, seperti teman-temanku. Aku sama sekali tidak bisa melupakanmu, seperti yang teman-temanku usulkan. Entahlah, rasanya bukan tidak bisa. Lebih kepada, tidak mau. Aku masih menolak kenyataan bahwa kita sudah berada di jalan yang berbeda. Bahwa sebenarnya sejak awal kita berada di jalan yang berbeda. Di jalan yang tidak akan pernah menyatu.
Bersisian tapi tidak bersatu. Bersebelahan tapi tidak pernah bisa bersama. Kau dan aku sadar akan hal itu.
Rasanya sulit menerima takdir ketika itu semua berkebalikkan dengan yang kuinginkan. Karena keputusanku tetap sama. Yang kuiniginkan tetap dirimu.
Ah, kenapa rasanya takdir jahat sekali? Kenapa ia tak mau melihatku bahagia denganmu? Atau mungkin karena kamu memang tidak bisa membahagiakanku?
Tapi aku bahagia denganmu. Kamu orang pertama yang membuatku enggan menutup telepon meski jarum jam sudah menunjukkan pukul dua pagi. Kamu orang pertama yang membuatku enggan menutup telepon meski biasanya aku terlalu malas berbicara. Kamu orang pertama yang membuatku dengan senang hati merangkak dari kasur menuju meja tempat headsetku berada, hanya untuk mendengar suaramu.
Menyebalkan. Aku masih juga merindukan suaramu.
Padahal aku ingin melupakanmu sesederhana air mata yang jatuh setiap malam ketika merindukanmu. Padahal aku ingin melupakanmu sesederhana genggam tangan kita yang belum sempat bersatu. Padahal aku inign melupakanmu sesederhana kamu melupakanmu.
Tapi aku masih ingin mencintaimu.
Aku ingin melupakanmu, sesederhana aku mencintaimu:")
ReplyDeleteOh, I love this