Monday, September 14, 2009

sahabat

kata sahabat adalah sebuah kata yang menandakan bahwa manusia adalah makhluk sosial namun demikian besar arti sebenarnya dari sebuah persahabatan sehingga membuatnya begitu berarti. kadang sahabat dapat membuat hari-hari yang kita lalui benar-benar indah dan memiliki banyak cerita, namun kadang juga sahabat membuat kenangan terburuk untuk kita sepanjang hidup.

tetapi kadang kala juga sahabat bisa berakhir indah atau bisa juga buruk, saya mungkin punya sebuah persepsi bahwa persahabatan tidak boleh diakhiri dengan sebuah kata cinta, dan persepsi itu sudah menjadi prinsip semenjak saya mengenal arti persahabatan.

namun, saya juga tidak bisa pungkiri bahwa hal yang bertentangan tersebut banyak terjadi disekitarku. dan harapku saya tidak menjadi bagian dari itu, sebab saya ingin menempatkan arti sahabat sebenar-benarnya sahabat, walaupun banyak cerita negatif yang mendekatkan saya akan hal cinta sesama sahabat…
untuk saya sahabat adalah sahabat, dan sahabat terbaik adalah sahabat yang tau kapan dia atau kita membutuhkannya.

::butuh waktu yang lama untuk membangun sebuah persahabatan, tetapi hanya butuh waktu singkat untuk menghancurkannya::

Wednesday, July 8, 2009

I want to be an author

-->
Entah sejak kapan aku mulai tertarik menulis cerita. Mungkin sejak aku berada di Sekolah Dasar. Entahlah, aku tak tahu. Awalnya, aku hanya senang menulis cerita dongeng saja. Seperti dongeng Puteri Salju, misalnya.
Mungkin awalnya aku sedang merasa bosan sampai akhirnya memilih menulis. Mengapa menulis? Aku juga tak tahu. Dengan bantuan sebatang pensil dan selembar kertas, tangan ini mulai merangkai huruf demi huruf hingga menjadi sebuah kalimat. Dan kalimat itu kusambungkan dengan kalimat lain yang akhirnya menjadi sebuah cerita.
Awalnya mungkin hanya sebuah cerita dongeng saja. Puteri Salju, Teletubies, Puteri Tidur, dan lainnya. Tapi, semakin lama aku semakin besar. Dan aku menginginkan yang lain dari cerita dongeng.
Aku mencoba menulis diary. Tapi tak berapa lama, aku bosan juga. Dan kegiatan ini tak pernah lagi kulakukan sampai sekarang. Aku beralih ke kegiatan melukis. Anak-anak yang tinggal di Gang-ku senang melukis dan suatu hari merencanakan mengadakan pameran kecil-kecilan yang menampilkan karya anak-anak di Gang Melati ini.
Aku mulai mencoba menggambar, entah itu gambar bunga, rumah, awan, matahari, apa saja. Tapi tetap saja hasilnya tak sebagus karya teman-temanku yang sudah jago menggambar. Hm, sepertinya aku memang tak berbakat di bidang gambar-menggambar. Walaupun begitu, pameran tetap dilaksanakan dan banyak anak-anak dari Gang lain yang turut datang melihat karya-karya kami.
Ketika kelas 6 Sekolah Dasar, keluargaku memutuskan untuk pindah ke Jakarta. Aku dan adikku didaftarkan ke sebuah sekolah yang letaknya tak jauh dari rumahku. Sekolah Dasar Swasta Widuri namanya.
Mungkin sejak saat itu aku mulai menulis cerita. Entah sudah berapa banyak cerita yang aku tulis sampai sekarang. Tapi hanya ada beberapa cerita saja yang berhasil kuselesaikan. Banyak yang berhenti di tengah konflik karena aku sudah tak berminat lagi.
Suatu hari, aku mendapat tawaran untuk membuat cerita pendek untuk sebuah majalah. Awalnya aku bingung ingin membuat cerita seperti apa. Kemudian aku dapat ide dari ayahku.
“Kamu buat cerita tentang perjalanan kamu aja. Entah yang naik mobil, naik kereta, atau naik pesawat. Kan ini majalah travel. Kamu tau arti travel kan?” aku mengangguk menyetujui.
Setelah berpikir cukup lama di depan computer, aku memutuskan untuk membuat cerita tentang perjalanan pertamaku naik pesawat. Begitu cerita itu selesai, aku langsung mengirimnya ke majalah tersebut via e-mail.
Dan beberapa minggu kemudian, aku mendapat sebuah majalah. Saat aku membuka bagian cerita pendek, disitu terdapat ceritaku.
Wah, senang rasanya karyaku dapat terbit di majalah. Bundaku yang ikut membaca cerita itu langsung menggoda,”Ciee, yang mau jadi penulis!” aku hanya tersenyum malu-malu. Dan didalam hati aku berkata,”I want to be an author!”
Aku kembali menatap karyaku itu sambil berkhayal,”Mungkin saja suatu hari nanti karya-karyaku akan terus dibaca orang dan namaku akan terus diingat sebagai penulis terbaik!” Saat itu aku merasa ada sebuah semangat baru. Aku segera berlari kearah computer, dan segera mengetik ide cerita yang baru saja terbesit di kepalaku. Aku memang ingin menjadi seorang penulis!

Tuesday, May 19, 2009

Pesawat Pertamaku

Seperti gadis lain yang seumuran denganku, aku mempunyai sebuah impian. Impianku adalah naik pesawat. Aku sangat ingin naik pesawat setelah mendengar cerita teman-temanku. Mereka bilang, naik pesawat itu menyenangkan. Kita berada di atas langit dan yang terlihat hanyalah awan. Dan aku, ingin sekali mencobanya.
Akhir-akhir ini, aku dan keluargaku sering sekali mengunjungi rumah eyang, orang-tua ayahku. Dan kadang sesekali, kami menginap di sana. Eyang kakung terkena stroke ringan. Eyang kakung hanya bisa berbaring di kamarnya dan sesekali dia berjalan pelan dengan bantuan tongkat atau kursi roda ke meja kerjanya. Untuk memanggil perawatnya saja, eyang kakung harus berjalan ke meja kerjanya dan membunyikan bel tanda memanggil perawatnya. Kalau keluargaku mengunjungi eyang, aku dan adikku menemani eyang kakung di kamarnya sambil bercerita. Kadang, eyang kakung yang bercerita kepada kami walau suaranya serak dan pelan. Dan sering kali saat eyang kakung sedang istirahat atau tidur, aku dan adikku memakai tongkat dan kursi rodanya untuk bermain-main.
Sampai suatu hari, ada kabar duka. Eyang kakung meninggal dunia. Kata eyang putriku, ini bukan hal yang mengejutkan karena sudah lama eyang kakung sakit. Katanya, eyang kakung ingin dimakamkan di Yogyakarta. Tepatnya di Gunung Kanigoro, karena di sana makam keluarga eyang kakung.
Dan untuk ke sana, kami harus menggunakan pesawat. Mendengar kabar ini, berbagai perasaan mendatangiku. Entah itu senang, sedih, bahagia, aku tak tahu. Mungkin aku senang karena akhirnya, impianku terkabulkan walau harus dengan suasana duka seperti ini.
Dua hari kemudian, pagi-pagi sekali, aku dan keluargaku sudah sampai rumah eyang. Hari ini, kami sekeluarga besar akan pergi ke Yogyakarta untuk memakamkan eyang kakung. Ambulans yang sudah ada di sana berangkat duluan ke bandara sambil membawa jenazah eyang kakung. Disusul mobil-mobil keluarga kami.
Aku tersenyum senang saat aku sampai di bandara. Memang, ini bukan kunjungan pertamaku ke bandara. Tapi, kalau biasanya aku hanya mengantar atau menjemput saudaraku yang akan berpergian naik pesawat, sekarang aku-lah yang akan berpergian naik pesawat. Aku tersenyum senang saat memasuki bandara. Dan salah seorang tanteku berkata, ”Ciee yang mau naik pesawat untuk pertama kali!”. Merasa seruan itu untukku dan adikku, kami langsung menoleh dan tersenyum bangga sambil terus berjalan.
Selama menunggu pesawat yang akan dinaiki, aku dan adikku bercanda sambil tertawa senang. Kami hampir lupa bahwa kami pergi untuk memakamkan eyang kakung. Lama-lama, aku dan adikku mulai bosan karena tidak juga berangkat. Aku sudah bermain, bercanda, makan cemilan, sampai sholat subuh, tapi tidak juga berangkat.
Setelah menunggu sekian lama, sekitar pukul 06.30, kami bersiap untuk memasuki pesawat. Aku memilih duduk di dekat jendela, kemudian adikku di tengah, dan di sebelah adikku, duduk bundaku. Ayahku duduk bersama kakak-kakaknya di seberang tempat duduk kami. Tak lama kemudian, pesawat yang aku naiki lepas landas. Aku melihat dari jendela dan lama-lama bandara terlihat semakin kecil. Aku memanggil adikku, dan kami melihat keluar bersama.
Ketika sedang asyik bercanda, seorang pramugari menghampiri kami dan menawarkan minuman. Bunda memilih secangkir teh hangat, kalau adikku segelas teh apel, dan aku segelas susu murni. Selesai meminum habis minuman kami, pramugari lain datang dan memberikan aku dan adikku plastik transparan berukuran sedang yang berisikan mainan lego. Aku dan adikku hampir membukanya, tapi kata bunda, sebaiknya mainnya di rumah saja, kalau sudah kembali ke Jakarta.
Setengah jam kemudian, kami sudah sampai di bandara Adi Sucipto, Yogyakarta. Senyum senang, masih saja menghiasi wajahku. Aku menoleh dan melihat sebuah pesawat yang baru saja lepas landas. Mungkin itu bukan pesawat yang tadi aku naiki, tapi aku tak peduli. Aku tersenyum sambil terus menatap pesawat itu yang lama kelamaan menghilang dari jangkauan mataku. Pesawat pertamaku. Entah yang baru saja aku lihat sampai menghilang atau bukan. Aku sangat senang dengan pesawat pertamaku. Mungkin, suatu saat nanti, aku akan menaiki pesawat pertamaku itu.
Kalau saja bunda tidak memanggilku, mungkin aku sudah ditinggal ke tempat pemakaman. Aku berlari kecil ke mobil yang akan membawaku ke tempat pemakaman. Di dalam mobil bunda bertanya,”Kamu tadi lagi lihat apa sih, Kak?” aku menoleh dan tersenyum, kemudian menjawab, ”Pesawat pertamaku.”

KUPER SUPER


Seorang anak perempuan gemuk, putih, dan berkacamata bulat besar memasuki kelas yang sudah ramai. Namun, tak seorang peduli akan kedatangannya. Gadis itu, Tessa namanya, hampir tidak “kelihatan” di kelasnya. Karena dia selalu diam, diam, dan diam. Tessa hanya terlihat saat dipanggil maju ke depan. Setelah itu dia tidak “tampak” lagi.
Tessa terus berjalan sambil memperhatikan sekitarnya yang masih ramai. Sampai seorang teman kelas menabraknya.
“Aduh…! Maaf ya!” seru anak itu sambil berlalu. Tessa hanya tersenyum tipis sebelum meletakkan tas di lokernya.
Teeett… teeett…
Bel masuk berbunyi nyaring. Semua anak segera mengambil topi mereka dan berlari turun untuk melaksanakan apel pagi. Tak terkecuali Tessa. Dia berjalan sendiri menuruni tangga yang penuh sesak dengan murid-murid yang hendak turun apel.
“Welbi!! Ayo bangun!” seru Pak Jojo saat memasuki kelas dan melihat Welbi tertidur pulas di mejanya.
“Eh! Ah! Oh! Iya…, Pak!” tergagap Welbi segera berusaha membuka matanya yang terasa berat.
Ada apa, Welbi? Apa yang kamu lakukan semalam sampai membuatmu tertidur di kelas sekarang?” tanya Pak Jojo berusaha mengatur amarahnya.
“Tadi malam saya habis nonton bola, Pak! Ya ampun, Pak, seru banget! Chelsea lawan Manchester United! Skor-nya sih sama 2-2, tapi Chelsea kalah penalti, Pak!” cerita Welbi dengan semangat.
“Saya percaya! Sudah sana cuci mata kamu!” perintah Pak Jojo. Welbi dengan malas berjalan ke luar kelas. “Kita tunggu sampai Welbi datang dan Bapak…” Welbi yang baru saja dibicarakan, memasuki kelas dengan muka semangat dan masih basah.
Ada apa, Pak? Saya sudah di sini kok, Pak!” kata Welbi penasaran.
“Ya! Ya! Bapak punya kabar bagus untuk kalian semua? Mau dengar, tidak?” seru Pak Jojo.
Murid kelas 8-1 langsung mengangkat kepala bersemangat dan menatap Pak Jojo penuh rasa ingin tahu.
“Hari ini kita kedatangan murid baru dari Depok. Semoga kalian suka sama orangnya!” seru Pak Jojo yang langsung membuat para murid bisik-bisik. Pak Jojo berjalan keluar kelas.
Welbi dan Geri langsung berjalan ke depan kelas dan berseru, ”Menurut kalian, murid baru itu perempuan atau laki-laki?”
“Laki-laki doonng!!” seru para murid perempuan.
“Iya lah! Pasti laki-laki, sudah gitu orangnya keren, baik, dan supel! Kan lumayan buat cuci mata kita-kita! Ya nggaaak?!” tambah Dara, ketua geng perempuan di kelas ini, dengan nada centilnya. Seperti dikoordinir murid perempuan menjawab, “Pasti dooonngg!!”
“Eh! Eh! Nggak bisa gitu dong! Di mana-mana nih ya, yang namanya murid baru itu perempuan, cantik, bodi-nya, beeehh!” kata Welbi semangat. Welbi dan Geri langsung tos dengan gaya mereka yang super aneh.
“Kalau yang itu, iya banget deeeh!!” seru murid laki-laki.
“Yeee! Enak aja! Murid baru tuh ya, laki-laki! Jaraaaang banget ada murid baru perempuan!” ejek Dara nggak mau kalah.
“Huuuuuu!!” murid laki-laki langsung protes.
Tessa yang mendengarkan percakapan ramai itu hanya tersenyum tipis, seraya memandang malu-malu dari bangkunya yang berada di sudut, di barisan ke empat, dan paling belakang.
Tiba-tiba terdengar suara pintu kelas dibuka. Welbi dan Geri berlari ke tempat duduk mereka, sementara semua murid duduk manis, dengan mata tertuju pada pintu kelas.
Saat itu juga, Pak Jojo masuk dengan seorang gadis berkacamata kotak besar, berambut lurus potongan laki-laki. Namun, wajahnya putih bersih tanpa ada jerawat atau luka sekecil apapun. Dan, anak baru itu cantik kok, kalau diteliti lebih jelas.
“Ini murid baru di kelas kita! Silakan kamu memperkenalkan diri!” kata Pak Jojo lantang, yang membuat anak 8-1 kembali menatap papan tulis, bukan anak baru itu.
“Perkenalkan, nama saya Julia Rahmaningtyas. Kalian bisa panggil saya Julia,” kata Julia pelan seakan tidak ingin diketahui namanya.
“APAAA??!! Bisa diulang?! Nggak kedengeran nih!!” seru Dewa yang duduk di bangku belakang paling pojok.
Salah sendiri nggak dengerin! rutuk Julia dalam hati.
“DEWA! Jaga sikap kamu!” bentak Pak Jojo. Suaranya kembali pelan dan lembut saat bicara dengan Julia,”Sekarang kamu duduk di sana. Di sebelah anak yang duduk paling pojok itu. Tapi sebelumnya, letakkan tas kamu di loker di belakang. Ini kuncinya, loker kamu nomor 15.” Pak Jojo beranjak untuk mengambil kunci dari tempat gantungan kunci, dan memberikan kunci loker pada Julia.
Setelah meletakkan tas di lokernya, Julia berjalan cuek ke tempat yang ditunjuk Pak Jojo, sambil membawa buku Matematika untuk pelajaran pertama.
Julia menjatuhkan diri di bangkunya dan mulai menatap papan tulis tanpa ingin berkenalan dengan teman sebangkunya yang baru. Sampai akhirnya, Pak Jojo memberikan tugas. Julia tampak sibuk mencari-cari sesuatu, mungkin tempat pensil. Di meja, di loker, di laci meja, tidak ada tempat pensil itu. Akhirnya dengan terpaksa dia menoleh ke arah teman sebangkunya yang sudah asyik mengerjakan tugas-tugas, dan berkata,
“Nama kamu?” tanya Julia.
“Tessa,” jawabnya singkat dan pelan tanpa menoleh.
“Hmm, Tessa, pinjam pensil dong!” Tessa menoleh dan menatap Julia sebentar, kemudian memberikkan sebatang pensil kepada Julia sambil tersenyum. Julia menerima pensil itu dalam wajahnya yang masih tetap datar, kemudian kembali terfokus pada tugas-tugasnya
***
Sudah sebulan Tessa duduk sebangku dengan Julia. Namun, baru dua kali Tessa melihat Julia tersenyum kepadanya. Malah, Tessa belum pernah melihat Julia tersenyum kepada anak lain di kelas. Dan selama Tessa duduk dengan Julia, percakapan yang terjadi hanyalah sekitar, “Tessa, pinjam pensil dong!” atau “Tessa, pinjam tipp-ex dong!” itu pun diucapkan secara cepat, jadi perlu beberapa detik bagi Tessa untuk mencerna ucapan Julia yang sangat cepat itu.
Julia memang pelupa. Hampir semua peralatan sekolah Tessa pernah dipinjam Julia. Dari rautan sampai buku cetak. Bahkan dia pernah lupa letak kunci lokernya. Julia harus mencarinya sampai mengelilingi sekolah, namun ternyata kunci itu terselip di saku roknya yang dalam. Sejak saat itu, Tessa selalu membawa dua pensil, dua penghapus, dua penggaris, dua pulpen, dua tipp-ex, dua jangka, untuk berjaga-jaga kalau tiba-tiba Julia meminjam sesuatu darinya.
Tessa memang jarang berbicara dengan Julia. Julia juga tidak pernah bertanya macam-macam. Hanya bertanya nama dan kemudian meminjam semua peralatan Tessa. Tessa juga enggan bicara dengan Julia setelah tahu, bahwa Julia merupakan tipe orang yang tidak mau diganggu, dan tidak mau terlalu banyak ditanya. Jarang bicara, dan jarang keluar kelas saat istirahat. Mungkin dia nggak pernah merasa lapar, pikir Tessa, pantes, badannya langsing, malah agak kurus.
Tessa ingin sekali berbicara kepada Julia. Namun, melihat tanggapan Julia kalau sedang sibuk dan tidak mau diganggu, sangat parah, Tessa membatalkan niat itu. Pernah suatu hari, ada seorang cowok yang mengajaknya berkenalan di kelas. Julia yang saat itu sedang sibuk mencoret-coret bukunya terus mendiamkan anak itu. Sampai akhirnya, dengan ketus Julia berkata,”Bisa nggak, kamu nggak ganggu aku?! Lagi sibuk nih!”. Anak laki-laki yang sedari tadi sudah membacakan puisi untuk Julia langsung berlari ke luar kelas sambil terisak. Semua anak memandangi laki-laki itu, kemudian kembali menatap Julia yang tidak mau tahu.
***
Langit berlapis mendung, jadi udara tak terlalu panas. Tessa memutuskan untuk berjalan kaki melintas pagar belakang sekolah, memotong jalan menuju perempatan Jalan Sejahtera di seberang sana. Hari ini mobilnya masuk bengkel, jadi dia harus pulang naik angkot. Tessa segan menunggu angkot dekat sekolah, selain karena malas berdesak-desakan, biasanya ia pun selalu kalah berebut naik angkot dengan teman-teman sekolahnya. Di perempatan Jalan Sejahtera angkot masih kosong, jadi ia bisa naik lebih dahulu daripada teman-teman sekolah lain yang searah pulangnya. Lagipula, ia memang tak punya teman seperjalanan pulang.
Saat melewati gang kecil di belakang sekolah, dia dihadang oleh dua anak perempuan dan tiga anak laki-laki. Tessa menatap bingung kelima anak di depannya. Anak-anak jalanan. Tubuh mereka kecil-kecil, tapi tampangnya sungguh sangar. Perasaannya mulai tidak enak.
“Heh! Keluarin semua duit lo!!” bentak salah satu dari mereka. Tessa yang sama sekali nggak punya nyali langsung saja mengeluarkan semua uang yang ada di kantongnya.
“Alah! Masa hanya segini sih? Nggak mungkin! Gue tau kok, kalau lo anak orang kaya!” seru yang lain.
“Ampun, Bang! Tapi, sumpah! Uang saya hanya segitu! Ampun, Bang! Saya jangan diapa-apain! Ampun, Bang!” Tessa yang sudah terduduk lemas terus memohon-mohon.
“Ampun! Ampun! Dan lagi, gue bukan abang lo! Enak aja lo manggil gue abang! Tampang cakep gini disamain sama abang-abang! Kenalin nih! Jarot! Preman wilayah sini!” seru Jarot bangga.
“I-iya, Jarot! Ampun! Ampun!” kata Tessa lagi.
“Enak aja!” tinju Jarot hampir mengenai Tessa kalau saja Tessa tidak segera menoleh dan melihat bayangan Julia yang sedang lewat.
Dengan sedikit kekuatan dan keberanian yang dia punya, Tessa berseru kencang. “JULIAAA!!! TOLOONNGG!!!”
Julia yang mendengar namanya dipanggil langsung menoleh. Saat itu juga, dia melihat Tessa yang sudah tidak berdaya sedang dikelilingi oleh sekawanan anak jalanan. Julia langsung meletakkan tasnya di stang dan menjatuhkan sepedanya sembarangan, langsung berlari ke arah Tessa dengan maksud ingin menolong.
Di depan para preman cilik itu, Julia langsung memasang kuda-kuda karate. tanpa ba-bi-bu lagi, Julia langsung saja menyerang ketua preman itu yang mengaku bernama Jarot tadi. Satu pukulan di perut dan tendangan di dada, dalam sekejap, preman itu roboh dan tidak dapat bangun lagi. Anak buahnya yang tidak suka bos mereka dikalahkan begitu saja, langsung menyerang. Untungnya, rok sekolahan tidak panjang, melainkan pendek selutut dan tidak ketat. Jadi, Julia bisa bergerak dengan leluasa.
Satu per satu para calon preman itu dikalahkan Julia. Dari yang hanya dipukul sekali langsung roboh, sampai yang harus memerlukan tenaga lebih banyak. Setelah semua preman itu dikalahkan dan berlari serabutan, Julia mengulurkan tangan pada Tessa yang masih meringkuk ketakutan.
Melihat tidak ada jawaban dari uluran tangan itu, Julia ikut berjongkok.”Sudah nggak perlu takut lagi sekarang. Preman itu semuanya sudah pergi kok, dan nggak akan ganggu kamu lagi. Kamu bisa jalan kan?” Julia meneliti badan Tessa, tampaknya tak ada luka setitik pun.
Tessa hanya menggeleng lemah. Julia dengan sigap memapah Tessa ke sepedanya. Julia mendudukkan Tessa di bangku boncengan di sepedanya. Kemudian, setelah merapatkan tubuh Tessa ke tubuhnya seraya berbisik, “Pegangan yang kuat, ya…” ia pun mulai mengayuh sepedanya. Lumayan berat, akibat beban tambahan si gemuk itu. Sedang berusaha mengayuh, tiba-tiba Julia teringat sesuatu.
“Aduuhh!! Aku kan nggak tau rumah dia dimana?! Duuhh! Gimana ya?” seru Julia menyadari kebodohannya. Sedikit memaksa, Julia menyadarkan Tessa.
“Sa! Tessa! Tessa! Rumah kamu dimana?!” tanya Julia setengah berteriak.
“Ehm, di Jalan Angkasa…ehm, nomor…ehm, nomor berapa ya?” jawab Tessa asal, masih belum sadar sepenuhnya.
Beneran ada nggak nih Jalan Angkasa?! Kalau dia bohong, gimana ya?
Julia menghampiri seorang penjual majalah.”Maaf Mbak, mengganggu sebentar. Saya mau tanya, Jalan Angkasa itu di sebelah mana ya, Mbak?:”
“Ooohh Jalan Angkasa. Dari sini, Neng jalan luruus aja. Nanti belok kiri di belokan keempat. Setelah itu lurus lagi dan belok ke kanan di belokan keenam. Nah, disitu lah Jalan Angkasa, Neng!” jawab Mbak penjual majalah. “Baru dari kampung ya, Neng?” tanya Mbak itu.
Julia memandangnya bingung kemudian nyengir. Sebelum banyak ditanya, Julia mengayuh sepedanya ke arah yang dimaksud Mbak tadi. Untung saja, selain urusan peralatan sekolah, daya ingat Julia cukup lumayan.
“Berarti ini Jalan Angkasa! Ah iya, memang ada namanya!” Julia mengayuh sepedanya pelan-pelan sampai di rumah yang ada Satpamnya sedang jaga di luar, Julia berhenti.
“Maaf, Pak, saya ganggu! Bapak tahu rumah Tessa?” tanya Julia bingung. Ia bahkan tak tahu nama marga Tessa.
“Oohh! Non Tessa yang gemuk, putih, dan pakai kacamata kuning muda itu ya?” Satpam itu balik bertanya.
“Ah! Iya, Pak! Iya!” seru Julia senang.
“Lha, ini rumahnya Non Tessa! Non Tessa kan majikan saya. Situ temannya Non Tessa?” jawab pak Satpam, dan seakan beru tersadar, ia menunjuk ke boncengan sepeda Julia, “Lho, itu kan Non Tessa?” serunya, setengah bingung setengah kacau.
“Iya, Pak! Saya mau kembaliin Tessa. Bisa tolong dibukakan pintu pagarnya, Pak?” pinta Julia.
Pintu pagar itu terbuka otomatis dan Julia langsung mengayuh sepeda ke dalam pekarangan rumah itu. Pak Satpam berlari-lari kecil mengikuti di belakang mereka, dan kemudian memegangi sepeda Julia ketika ia berusaha menurunkan Tessa. Pak Satpam masih bengong, sedangkan Tessa tampaknya belum juga sadar sepenuhnya. Julia lantas memapah Tessa masuk ke dalam rumah. Sementara pak Satpam sibuk berseru-seru memanggil-manggil setiap orang yang ada di rumah. Sampai di dalam rumah, Julia bingung harus ke mana. Seorang perempuan separuh baya berlari-lari menghampiri, mendengar teriakan pak Satpam yang ribut tak keruan.
Ini pasti pembantu tumah tangga di sini.
“Lho…Non Tessa kenapa? Non ini siapa? Non Tessa pingsan ya…? Atau mabok?” si ibu PRT sibuk dan panik.
“Saya temannya Tessa. Dia nggak apa-apa, cuma shock, nanti juga baik lagi. Kasih minum air putih aja, bu. Bisa tunjukkan kamarnya?” pinta Julia.
“Ya…ya…, saya ambilin air minum. Eh, mau ke kamarnya Non Tessa ya, mari ke sini.” Ibu PRT masih panik, bingung antara mengambilkan air minum, atau menunjukkan kamar Tessa.
“Ke kamarnya dulu, Bu,” potong Julia memutuskan, sambil masih memapah Tessa yang setengah sadar., berjalan pelan-pelan mengikuti pembantu tadi yang jalannya sangat cepat. “Ini kamar Non Tessa! Silahkan masuk!” Ibu PRT membukakan pintu lebar-lebar, membiarkan Julia dan Tessa masuk, lantas berlari sigap, mengambil minum untuk Non Tessa-nya.
Julia segera merebahkan Tessa di tempat tidurnya. Setelah beberapa saat, Julia baru sadar bahwa seluruh dinding kamar Tessa ditutupi oleh berbagai macam, jenis, dan bentuk foto Tessa.
“Waaoow!” ucapnya terkagum-kagum.
“Hoaamm!!” tiba-tiba Tessa merangkak bangun. Kemudian setelah melihat Julia, dia tersenyum yang langsung dibalas.
“Kamu yang sudah mengantar aku sampai ke sini?” kata Tessa malu-malu.
“Hah? Iya, memang kenapa?” tanya Julia balik.
“Ti-tidak apa-apa kok! Makasih ya!” Tessa membungkuk sedalam-dalamnya.”Bu-bukannya mau mengusir, ta-tapi sebentar lagi orang tuaku pulang. Dan…dan mereka tidak suka ada orang baru di rumah ini sebelum diceritakan. Ma-maaf ya!”
“Ya! Tidak apa-apa kok!” Julia membuka pintu kamar dan berjalan menuju pintu ke luar, berpapasan dengan Ibu PRT panik, yang berlari-lari membawa segelas air putih.
“Sa-sampai bertemu di sekolah!” seru Tessa lagi. Julia yang belum terlalu jauh mengacungkan dua jempolnya, sebelum berlari ke luar rumah.
“Permisi, Pak! Saya pulang dulu! Makasih ya, Pak!” seru Julia sambil mengayuh sepeda, setelah pamitan dengan Satpam rumah Tessa.
Julia mengayuh sepeda lebih cepat dan ceria sore ini. Entah kenapa, rasanya ada satu beban berat yang baru saja dilepaskan.