Aku sedang berada di sebuah kedai pasta, dan aku sudah menunggu 15 menit, tapi Jess—kependekan Jessica—tidak juga menampakkan dirinya. Aku kembali menyesap milkshake vanila-ku yang sudah berkurang setengah sejak kupesan beberapa saat yang lalu. Aku mencoba menghubungi Jess, tapi dia selalu bilang hal yang sama, “Aku sebentar lagi sampai. Tenanglah,” atau “Bukan kemauanku kalau ternyata sekarang macet,” dan bla bla bla. Yah, memang tidak mengherankan kalau Jakarta macet di Sabtu siang seperti ini.
Tiba-tiba, pintu kafe terbuka dan aku mengangkat kepala, berharap yang datang adalah Jess. Dan, ternyata bukan. Dua laki-laki masuk dan memilih tempat duduk tepat di sebelahku. Mereka terlihat sebaya denganku. Mereka berbicara, tertawa, melihat menu di kafe, memilih sebentar, memanggil pelayan, dan kembali berbicara dan tertawa.
Aku berpikir, “Ayolah, Jess. Dimana kamu? Lama sekali. Kau tidak mungkin membiarkanku sendirian di kafe ini lebih lama lagi.”
Aku menatap sekeliling kafe. Selain aku, ada cukup banyak orang disini. Dua laki-laki sebaya yang baru masuk tadi, pasangan muda-mudi mahasiswa, dua pria rekan bisnis yang sibuk dengan Blackberry dan notebook mereka, dan tiga orang gadis sebaya denganku yang sedari tadi tidak pernah kehabisan bahan bicara.
Aku menyedot milkshake vanila-ku lagi sampai habis. Aku menatap gelas kosong yang hanya bersisa busa-busa putih itu dengan sebal. Segera saja aku mengangkat tangan, memanggil pelayan, memesan air mineral. Aku meraih ponsel dari dalam tasku, mengeluarkan, menekan tombol bergambar telepon hijau, menekan tombol bergambar telepon hijau lagi, mengangkat ponsel sampai ke sebelah telinga kananku, mendengarkan nada sambung, dan.... akhirnya tersambung.
“Jess, beritahu aku bahwa kau sudah sampai,” ucapku setengah sebal.
“Aku sedang di eskalator sekarang. Bisakah kau tenang sedikit?” Jess terdengar kesal.
Aku memutar bola mata sebal.
“Nah, aku sudah melihatmu sekarang. Benarkan aku sudah sampai?” Jess melambaikan tangannya kepadaku dari luar kedai. Aku tersenyum tipis, dan segera menutup ponsel flip kuning yang kupegang, memasukkannya ke dalam tas lagi.
“Kau. Lama. Sekali.” Ucapku ketika Jess duduk di depanku.
“Astaga, maafkan aku,” pinta Jess sambil mengatur napasnya.
“Ya ya, cepatlah pesan makanan, kita makan, lalu segera nonton. Aku sudah membeli tiket, film-nya dimulai—,” aku melirik jam tangan merah yang melingkar manis di pergelangan kiriku, “—empat puluh lima menit lagi.”
“Baiklah. Kau sudah makan?” tanya Jess sambil memilih menu.
“Belum.” Aku segera saja mengangkat tangan, memanggil pelayan, memesan lasagna ukuran medium untukku, satu lagi milkshake vanila untukku, spaghetti carbonara untuk Jess, dan fruit punch juga untuk Jess, dan setelah menyatat pesanan kami, pelayan itu pun pergi.
“Tahukah kau? Aku sudah mengantri sedari pagi untuk mendapatkan kursi yang paling pas di bioskop ini pada hari pertama penayangan film yang sudah kutunggu sedari tahun lalu ini. Dan, setelah berhasil mendapatkannya, kau membuatku menunggu lagi di sini selama—,” aku melirik jam tanganku lagi, “—tiga puluh menit.”
“Yaa, aku tahu, aku sangat tahu. Dan, aku kan sudah minta maaf sedari tadi, mana aku tahu kalau ternyata Jakarta macet? Seharusnya orang-orang belum keluar rumah siang-siang seperti ini. Berhentilah bersikap menyebalkan!” kata Jess. Dia menghempaskan tubuhnya pada sandaran sofa.
Aku menghela napas. Meletakkan siku kiriku di meja, dan menatap ke arah dua pemuda sebaya itu. Dan, aku kaget.
Aku memperhatikan dua pemuda itu. Yang satu, kepalanya botak—hanya menyisakan sedikit rambut yang tajam kalau dipegang itu—badannya agak gendut, namun tidak terlihat karena di sangat tinggi, sepertinya. Yang satu lagi, berkacamata, rambut panjang lurus panjang hampir seleher, dan berponi, dan tinggi juga. Dua-duanya sipit. Sama-sama putih. Yah, menurut pendapatku, mereka berdua tampan (bukan keren, bukan ganteng, tapi tampan. Jangan tanya kenapa aku menggunakan kata tampan).
Oh ya, sudahkah aku memberi tahumu mengapa aku kaget? Belum? Baiklah, maukah kau tahu? Mau? Simaklah lebih lanjut...
Ada satu pemuda yang menarik perhatianku diantara mereka berdua. Tahukah yang mana? Yang botak? Bukan, bukan. Yang satunya, yang berkacamata itu. Iya, dia. Mau tahu alasanku? Baiklah...
Entah mengapa, rasanya wajah itu sangat menarik. Aku tidak bisa mengalihkan pandanganku darinya, tidak bisa menarik tanganku dari atas meja, tidak bisa bergerak, tidak berkedip, tidak bernapas untuk beberapa saat. Hanya beberapa saat, sampai pemuda berkacamata itu menoleh ke arahku, dan sedikit kaget, mendapati ada gadis yang menatapnya sampai seperti itu. Dia tersenyum dan menganggukkan kepalanya. Aku mengerjapkan mata, menarik tanganku dari atas meja, bernapas, dan membalas senyumnya, lalu beralih menatap Jess, yang ternyata sedari tadi sedang memperhatikanku yang sedang memperhatikan pemuda di seberang.
“Siapa-dia?” tanya Jess penasaran. Matanya langsung berbinar-binar. Dasar tukang gosip.
“Honestly?” tanyaku, Jess mengangguk cepat. “I don’t know, Jess.” Aku mengangkat bahu.
Jess memutar bola matanya. “Then, kenapa kamu bisa lama memperhatikannya? Kamu sudah kenalan yaa sama dia sewaktu aku belum sampai disini?” tanya Jess semangat.
“Tidak, Jess. Aku tidak tahu siapa dia. Aku tidak tahu namanya,” jawabku, meyakinkan Jess.
“Nomer teleponnya?” tanya Jess lagi.
“Namanya saja tidak tahu.”
Jess terdiam sebentar. Menatapku. Aku agak risih juga sebenarnya ditatap seperti itu. Pasti sebentar lagi dia akan minta diceritakan ini-itu. Aku memang tidak bisa menyimpan rahasia lama-lama dari Jess.
“Ceritakan padaku,” ucap Jess. Nah kan, benar saja.
Pelayan datang, membawakan pesananku dan Jess, kemudian pergi.
“Baiklah. Jangan tertawakan aku.”
“Cross my heart.” Jess membuat tanda silang dengan telunjuknya di dadanya.
“Entahlah, Jess, sejujurnya aku juga tidak mengerti. Aku bahkan tidak tahu dia, tidak tahu namanya, kenal saja tidak, dan baru pertama kali bertemu. Tapi, aku merasa.... seperti aku pernah bertemu dengannya. Rasanya senang, nyaman. Pernahkah kamu merasa seperti itu?” Jess menggelengkan kepalanya. Aku menghela napas panjang, “Berarti ini memang aneh. Belum pernah aku seperti ini sebelumnya.”
“Sudahlah, masalah itu nanti saja. Masalah perut yang harus ditangani lebih dulu.” Jess tersenyum, dan mulai mengambil garpunya, dan menyantap spaghetti carbonara-nya.