Wednesday, July 24, 2013

Kita Tidak Pernah Terlalu Jauh Untuk Saling Menyayangi

“Nanti malam kita video call, yuk?” ajakmu suatu sore melalu telepon.
“Emangnya kamu bisa? Lagi gak ada tugas?”
“Ada, sih. Tapi ini lagi ngerjain sekarang. Nanti malam pasti bisa, kok. Janji.” Katamu berusaha meyakinkanku.
Bukannya aku tak percaya, tapi kamu juga mengatakan itu padaku, minggu lalu. Katamu tugasmu sudah selesai, dan punya waktu luang. Nyatanya? Aku menunggu hingga pukul satu dini hari, masih tak ada kabar darimu.
“Jangan janji kalau nggak bisa nepatin, Sayang.” Aku ingin mempercayai kata-katamu. Tapi aku juga terlalu lelah menelan semua janjimu yang pada akhirnya adalah palsu.
“Iya. Tapi, pasti bisa kok. Benar, deh.”
“Kita lihat nanti aja, ya. Bye.” Akhirnya aku memutus sambungan, sebelum kamu mengucap janji lain.
Aku merebahkan kepalaku di atas bantal. Sekarang sudah pukul lima. Aku bosan. Sedari tadi tak ada yang kulakukan. Padahal sekarang hari Sabtu. Tapi waktu kuliahmu masih padat juga.
“Ah, mulai kuliah kapan, sih?” Tanyaku dalam hati. Padahal aku sudah tahu jawabannya, masih bulan depan.
Setidaknya kalau aku sudah mulai kuliah, aku bisa merasakan kesibukan sepertimu. Seperti yang kau katakan dulu. Tapi itu tidak akan terjadi dalam waktu dekat. Selama kamu masih sibuk dengan jam kuliahmu yang padat itu, dan aku berdiam diri di rumah tanpa kesibukan apapun, sepertinya aku tidak akan bisa mengerti itu.
Aku tahu, diam-diam kamu berharap aku mengerti segala kesibukanmu. Sungguh, akupun berusaha. Tapi membiasakan diri itu butuh proses. Mungkin sebulan tidak cukup. Mungkin aku terlalu egois. Mungkin kamu terlalu sibuk. Terlalu banyak kemungkinan.
Aku benci berada puluhan, mungkin ratusan kilometer jauhnya darimu. Aku benci terhalang jarak hanya untuk bertemu. Aku benci segala kemungkinan yang bisa terjadi, namun tidak terjadi, hanya karena masalah jarak. Aku benci tidak bisa menghubungimu semauku. Aku benci tidak mendapat kabar darimu. Aku benci kita tidak seperti yang dulu lagi.
Tapi waktu tidak juga mau mengerti, bergulir tanpa kenal ampun. Satu jam, dua jam, kulewati dengan sia-sia, berharap namamu muncul di ponselku. Satu hari, satu minggu, jarak masih juga memisahkan kita.
“Lebay lo. Jarak kalian gak sejauh itu.” Kata seorang teman suatu hari. Memang.
Bukan jarak yang menjadi masalah. Tapi waktu. Aku bisa saja terbangun suatu hari, dan sudah dalam perjalanan menuju stasiun untuk menemuimu di sana.  Tapi tidak pernah kulakukan. Apa yang akan kulakukan setelah tiba di sana? Memangnya kamu mau menemuiku? Bagaimana kalau ternyata kamu sedang kuliah? Sibuk sampai sore, sampai waktunya aku kembali lagi. Lagipula, aku buta arah, tidak seberani itu untuk mencarimu di kota sana, yang notabene tidak pernah kujelajahi sendiri.
Lagi-lagi aku berpikir terlalu banyak. Lelah. Mungkin sebenarnya kita tidak sejauh itu, waktu tidak sejahat yang kupikirkan, dan kamu juga sama menderitanya sepertiku.
Tapi, dasar egoku yang tidak tahu diri, semaunya memikirkanmu dan mengingikanmu berada sedekat mungkin denganku. Padahal kamu sedang mengejar cita-citamu di sana. Padahal seharusnya aku tidak membebanimu. Padahal seharusnya aku berusaha mengertimu, karena aku pasti juga menginginkan hal yang sama darimu. Dimengerti.
Ah, ternyata sudah pukul delapan. Ponselku masih berdiam diri. Sambil berharap semoga kamu tidak melupakan janjimu, aku menekan sederet angka yang sudah kuhapal sejak pertama kali membacanya. Terdengar nada sambung, namun tanpa suara jawabanmu. Tiga belas kali sudah aku mencoba tanpa hasil. Ponselmu bergeming di sana.
Mungkin kamu lelah, tugasmu telah menelan terlalu banyak waktu dan energi. Dan aku, menelan janjimu lagi, sambil berusaha menenangkan hati yang menjerit perih. Akhirnya aku memutuskan untuk mengirimkan sebuah pesan singkat, yang kuharap dapat meluluhkan hatimu untuk meluangkan sedikit waktu membalas pesanku ataupun menjawab teleponku.
“Selamat malam, selamat tidur. Istirahat yang cukup, ya. Aku sayang kamu.”

No comments:

Post a Comment