“Nanti
malam kita video call, yuk?” ajakmu
suatu sore melalu telepon.
“Emangnya
kamu bisa? Lagi gak ada tugas?”
“Ada,
sih. Tapi ini lagi ngerjain sekarang. Nanti malam pasti bisa, kok. Janji.” Katamu
berusaha meyakinkanku.
Bukannya
aku tak percaya, tapi kamu juga mengatakan itu padaku, minggu lalu. Katamu
tugasmu sudah selesai, dan punya waktu luang. Nyatanya? Aku menunggu hingga
pukul satu dini hari, masih tak ada kabar darimu.
“Jangan
janji kalau nggak bisa nepatin, Sayang.” Aku ingin mempercayai kata-katamu.
Tapi aku juga terlalu lelah menelan semua janjimu yang pada akhirnya adalah
palsu.
“Iya.
Tapi, pasti bisa kok. Benar, deh.”
“Kita
lihat nanti aja, ya. Bye.” Akhirnya aku memutus sambungan, sebelum kamu
mengucap janji lain.
Aku
merebahkan kepalaku di atas bantal. Sekarang sudah pukul lima. Aku bosan. Sedari
tadi tak ada yang kulakukan. Padahal sekarang hari Sabtu. Tapi waktu kuliahmu
masih padat juga.
“Ah,
mulai kuliah kapan, sih?” Tanyaku dalam hati. Padahal aku sudah tahu
jawabannya, masih bulan depan.
Setidaknya
kalau aku sudah mulai kuliah, aku bisa merasakan kesibukan sepertimu. Seperti
yang kau katakan dulu. Tapi itu tidak akan terjadi dalam waktu dekat. Selama
kamu masih sibuk dengan jam kuliahmu yang padat itu, dan aku berdiam diri di
rumah tanpa kesibukan apapun, sepertinya aku tidak akan bisa mengerti itu.
Aku tahu,
diam-diam kamu berharap aku mengerti segala kesibukanmu. Sungguh, akupun
berusaha. Tapi membiasakan diri itu butuh proses. Mungkin sebulan tidak cukup. Mungkin
aku terlalu egois. Mungkin kamu terlalu sibuk. Terlalu banyak kemungkinan.
Aku benci
berada puluhan, mungkin ratusan kilometer jauhnya darimu. Aku benci terhalang
jarak hanya untuk bertemu. Aku benci segala kemungkinan yang bisa terjadi,
namun tidak terjadi, hanya karena masalah jarak. Aku benci tidak bisa
menghubungimu semauku. Aku benci tidak mendapat kabar darimu. Aku benci kita
tidak seperti yang dulu lagi.
Tapi
waktu tidak juga mau mengerti, bergulir tanpa kenal ampun. Satu jam, dua jam,
kulewati dengan sia-sia, berharap namamu muncul di ponselku. Satu hari, satu
minggu, jarak masih juga memisahkan kita.
“Lebay
lo. Jarak kalian gak sejauh itu.” Kata seorang teman suatu hari. Memang.
Bukan jarak
yang menjadi masalah. Tapi waktu. Aku bisa saja terbangun suatu hari, dan sudah
dalam perjalanan menuju stasiun untuk menemuimu di sana. Tapi tidak pernah kulakukan. Apa yang akan
kulakukan setelah tiba di sana? Memangnya kamu mau menemuiku? Bagaimana kalau
ternyata kamu sedang kuliah? Sibuk sampai sore, sampai waktunya aku kembali
lagi. Lagipula, aku buta arah, tidak seberani itu untuk mencarimu di kota sana,
yang notabene tidak pernah kujelajahi sendiri.
Lagi-lagi
aku berpikir terlalu banyak. Lelah. Mungkin sebenarnya kita tidak sejauh itu, waktu
tidak sejahat yang kupikirkan, dan kamu juga sama menderitanya sepertiku.
Tapi,
dasar egoku yang tidak tahu diri, semaunya memikirkanmu dan mengingikanmu
berada sedekat mungkin denganku. Padahal kamu sedang mengejar cita-citamu di
sana. Padahal seharusnya aku tidak membebanimu. Padahal seharusnya aku berusaha
mengertimu, karena aku pasti juga menginginkan hal yang sama darimu. Dimengerti.
Ah,
ternyata sudah pukul delapan. Ponselku masih berdiam diri. Sambil berharap
semoga kamu tidak melupakan janjimu, aku menekan sederet angka yang sudah
kuhapal sejak pertama kali membacanya. Terdengar nada sambung, namun tanpa
suara jawabanmu. Tiga belas kali sudah aku mencoba tanpa hasil. Ponselmu bergeming
di sana.
Mungkin kamu
lelah, tugasmu telah menelan terlalu banyak waktu dan energi. Dan aku, menelan
janjimu lagi, sambil berusaha menenangkan hati yang menjerit perih. Akhirnya aku
memutuskan untuk mengirimkan sebuah pesan singkat, yang kuharap dapat
meluluhkan hatimu untuk meluangkan sedikit waktu membalas pesanku ataupun
menjawab teleponku.
“Selamat malam, selamat tidur. Istirahat yang
cukup, ya. Aku sayang kamu.”