Wednesday, July 3, 2013

Senja Terakhir


Langit sore dengan campuran warna jingga, merah, dan kuning terbentang di hadapanku. Di tengahnya, masih terduduk Sang Matahari di singgasananya. Di sebelah kananku, secangkir kopi manis nan hangat yang menenangkan hati. Di sebelah kiriku, kamu. Dengan gayamu yang agak sombong itu, duduk di sebelahku. Di tangan kirimu ada secangkir kopi, dan tangan kananmu menggenggam erat jemariku.
“Besok,“ katamu. Mengingatkan, seolah aku melupakannya. Aku sudah menghitung hari. Sejak masih dalam bulan yang berbeda, bahkan.
Aku terdiam. Malas menjawab.
“Sayang,“ panggilmu. “Kamu nggak apa-apa?“
“Menurutmu?“ Kamu pun terdiam.
Matahari sudah menghilang, tergantikan oleh Bulan dan Bintang, beserta kegelapan malamnya. Rumah-rumah di sekitar sudah menyalakan lampunya. Di kejauhan, gedung-gedung pencakar langit bersinar dengan indahnya. Tapi di tempatku sekarang, di atas atap rumahku ini, masih diselimuti gelapnya malam. Tidak ada lampu untuk menerangi. Hanya cahaya bulan yang menyinari. Tidak masalah untukku, selama kamu menemani.
“Kamu ikut aku, yuk?!“ ajakmu. Sudah kuduga.
“Kamu tau, kan, kalau aku nggak mau? Sudahlah, memang sudah saatnya kamu pergi. Tempatku di sini, di Jakarta. Dan kamu, di sana.“
Kamu menghela napas panjang. Aku menggeser dudukku, mendekat ke arahmu. Perlahan, kuletakkan kepalaku dibahumu.
“Memang sudah begitu seharusnya, Sayang. Percayalah, sudah ditakdirkan seperti ini. Tidak ada yang bisa kita lakukan selain menjalaninya dengan ikhlas.“ Ucapku. “Kamu percaya padaku, kan?“
“Apakah itu harus dipertanyakan?”
“Berjanjilah kau akan kembali.“
Sebagai jawaban, kamu mengelus kepalaku dan mengecup puncak kepalaku. “Aku akan merindukanmu,” katamu. Aku tersenyum, meraih cangkir kopiku, dan meminumnya sampai habis, kemudian berdiri.
“Yuk! Sudah malam. Kamu harus istirahat untuk besok.“ Aku meraih tanganmu dan mengajakmu berdiri. Lalu, kamu menarikku dalam pelukanmu. Erat. Seolah ini adalah yang terakhir, seolah tidak akan bertemu lagi. Oh, tapi memang begitu. Setidaknya sampai bulan depan. Sampai tiga puluh hari dari sekarang.
“Tunggu aku,“ pintamu. “Jaga hatimu sampai aku kembali.“
Aku tersenyum, yakin kamu sudah tahu jawabanku.

No comments:

Post a Comment