Sunday, December 8, 2013

Pertemuan Pertama Kita

Matahari bersinar begitu terik siang ini. Bahkan pendingin ruangan terasa tidak ada gunanya. Dosen Kewarganegaraan masih menjelaskan materi tentang Geopolitik Indonesia. Namun aku bosan. Aku melihat sekeliling dan banyak temanku yang sudah tertidur. Kuliah gabungan memang tidak efektif. Dua jurusan diharuskan berada di satu ruangan yang besarnya pas-pasan, menghadapi dosen yang mengoceh tiada henti, dan teriknya sinar matahari yang menembus jendela.
Para sahabatku, di sebelah kiri dan kanan sudah sibuk dengan ponsel masing-masing. Entah mendengarkan lagu, atau sekedar membuka timeline Twitter. Membosankan.
Aku mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan, dan tatapanku terhenti pada sesosok lelaki yang sedang serius mendengarkan dosen, tak jauh dari tempatku duduk. Aku belum pernah melihatnya sebelum ini. Atau mungkin sudah, tapi aku tidak peduli. Sekarang aku tidak bisa mengalihkan perhatianku. Entahlah, tampaknya aku kagum dengan keseriusannya. Matanya fokus menatap ke arah slide yang silih berganti, dan tangannya tidak berhenti mencatat. Beberapa kali kulihat teman disebelahnya berusaha mengajaknya mengobrol, tapi hanya ditanggapinya dengan senyuman kecil. “Nanti dulu, ya.” Aku membaca gerak bibirnya. Dan tanpa sadar aku tersenyum.
Tiba-tiba lelaki itu menoleh, menatapku. Mungkin dia merasa sedang diperhatikan. Aku kaget, dan mendadak terpaku. Dia tersenyum sambil mengangguk kecil. Aku membeku. Bahkan tidak terpikir untuk membalas senyumnya, sampai ia kembali menghadap ke depan.
Entah kenapa setelah itu aku merasa senang. Luar biasa senang. Aku tidak bisa mengenyahkan wajahnya yang tersenyum padaku. Senyum yang hangat, diikut tatapan matanya yang teduh. Aku terlena.
Terlalu senang bahkan untuk menyadari bahwa kuliah telah selesai. Dosennya telah keluar ruangan. Kedua sahabatku sudah bersiap untuk pulang.
“Akhirnya selesai juga. Yuk, pulang! Ngantuk, nih.”
Mereka sudah mengambil tas ketika aku baru sadar bahwa bukuku masih berserakan di meja, dan laptop-ku juga masih menyala. “Kalian duluan deh, aku kayaknya masih agak lama nih.”
“Yaudah, kita tunggu di kantin, ya.” Merekapun berlalu bersama teman-teman yang lain.
Aku merutuki kesenanganku tadi sehingga tidak bisa fokus. Aku sadar aku tidak pernah bisa beberes cepat. Biasanya, lima menit sebelum mata kuliah berakhir, aku sudah membereskan buku dan laptop. Tapi, karena memikirkan senyuman lelaki tadi, aku seolah melupakan segalanya.
Buru-buru aku memasukkan seluruh bukuku ke dalam tas, dan mematikan laptop. Kemudian memasang sepatu yang sengaja kulepas, dan segera bersiap keluar ruangan. Saat itu aku baru sadar bahwa lelaki yang senyumnya memabukkan itu, masih di dalam ruangan. Masih mencatat. Dengan ragu, aku menghampirinya.
“Nggak pulang?” tanyaku.
Dia menoleh, dan tersenyum. Duh! “Oh? Iya, sebentar lagi. Catetannya masih kurang sedikit.”
Aku mengangguk-angguk. “Oke, kalo gitu gue duluan ya.”
Lagi-lagi ia tersenyum dan mengangguk. Aku baru saja akan melangkah pergi ketika ia memanggilku, “Hey! Gue Ardi.”
Berusaha mengatasi kesenangan, aku tersenyum. “Gue…”
“Gue tau nama lo, kok,” katanya. “Nina, kan?”
Aku terkejut. Entah harus kaget, atau senang. Atau keduanya. Dia tertawa kecil melihatku terdiam terpaku. “Sampai ketemu besok, Nina.” Dia tersenyum sambil melambai, sebelum kembali konsentrasi kepada catatannya.
Aku tersenyum dan segera berjalan cepat keluar ruangan. Senang bukan main. Ternyata dia tahu namaku. Dia tahu namaku!
Aku berjalan cepat menuju kantin, tidak sabar untuk berbagi cerita. Senyum lebar masih terkembang dibibirku.

Sampai ketemu besok, Ardi…

Tuesday, November 19, 2013

Hate That I Love You So

Sebutlah aku jahat, karena memang begitu keadaannya sekarang. Aku tak lagi peduli. Aku bahkan percaya bahwa sekarang aku tak lagi merasakan apapun. Aku masih tetap membayangkan wujudmu di sisiku, menemani hari-hariku yang sepi sejak jarah memisahkan kita. Namun, Sayang, aku tidak lagi merasakan debaran seperti yang dulu kurasakan ketika berada di dekatmu. Jahatkah aku, Sayang? Mungkin. Tapi kamu yang membuatku begini.
Mungkin kamu sibuk, aku paham. Mungkin tugasmu menumpuk, tapi begitu juga denganku, Sayang. Mungkin aku bukan lagi prioritasmu nomor satu. Ah, tapi dari dulu memang bukan. Selalu aku yang menomorsatukan dirimu.
Seperti di film, tokoh cowok selalu merasa bersalah ketika ceweknya ngambek, dan mengajukan pertanyaan memojokkan seperti, “Pilih aku atau temanmu?” Sempat terpikir olehku untuk mengajukan pertanyaan seperti itu padamu, lalu aku sadar. Aku bahkan tak dapat dibandingkan oleh temanmu. Seratus persen aku yakin kamu akan tetap memilih temanmu. Ah, bahkan mungkin aku tidak pernah menjadi satu dari sekian pilihanmu itu. Sedih? Kenyataan memang menyedihkan, Sayang.
Bahkan sejak dulu, ketika kita masih satu sekolah, kelas kita hanya dipisahkan tangga, dan rumah kita hanya beda kecamatan, aku sudah sering merasa seperti itu. Kaget, Sayang? Tentu saja aku tidak pernah menceritakannya padamu.
Apalagi sekarang. Well, rumah kita memang masih berdekatan. Tapi kita kan tidak. Aku di sini, ratusan kilometer jauhnya dari kamu. Sama-sama mengejar cita-cita. Padahal kata orang, LDR itu asyik, banyak tantangannya, membuat kita jadi semakin menghargai setiap pertemuan. Ah, tapi itukan kata orang. Aku tidak lagi merasakannya. Susah? Ya. Aku sudah berjuang, Sayang, aku sudah mencoba dan kamu tahu itu.
Aku lelah, Sayang. Menangisimu setiap malam dan kamu tidak pernah tahu. Betapa sikapmu itu sangat menyebalkan dan membuatku kesal. Tapi rasa sayangku masih jauh diatas itu semua. Bahkan ketika kita tidak berjarak sekalipun, aku tidak pernah menjadi prioritas nomor satumu, apalagi sekarang? Wuih, sepertinya sih namaku ada di lembar kedua.
Mengerti apa yang kurasakan, Sayang? Tentu saja aku masih menyayangimu, kamu masih pacarku, kan? Tapi, entahlah, Sayangku, aku tidak lagi memikirkanmu sesering dulu. Mungkin karena kamu juga begitu. Aku rindu, memang, sangat malah. Tapi apa jaminannya kamu merindukanku juga? Ketika aku tahu kamu bahkan tidak mau meluangkan satu menit dari 24 jam hidupmu dalam sehari untuk sekadar memberi kabar, dan bersapa ringan.
Aku jahat, kan, Sayang? Aku minta maaf kalau kamu tersakiti dengan kata-kataku. Tapi kenyataan memang pahit, dan kehidupan ini jauh lebih jahat daripada aku.

Friday, November 1, 2013

Pemersatu

Langit sudah terlanjur menangis kencang sebelum aku sempat mengeluarkan sepeda motorku dari garasi rumah. Sambil mendengus kesal, aku melirik jam tangan. Lagi-lagi aku harus mencoret satu jadwalku hari ini karena hujan yang mendadak datang. Padahal hari ini ada meet and greet  bersama penulis favoritku di mall dekat rumah. Acara yang sudah kutunggu sejak lama.
Ugh. Aku benci hujan.
Untuk mengurasi rasa kesal, aku memutuskan membuat secangkir coklat hangat untuk menemani soreku. Tapi bukannya berkurang, rasa kesalku masih bertambah, karena saat pertemuan terakhir kita, hujan datang.
Sore itu hujan turun. Langit menangis kencang, seolah menggantikanku yang menahan air mata sejak tadi. Rumahku sepi seperti biasa. Ayah dan Bunda masih kerja, Pak Amin seperti biasa berjaga di pos depan dan Mbak Ima sedang asyik dengan ponsel baru di kamarnya. Aku saat itu masih libur akhir semester. Terduduk di sebelahmu, di teras depan rumah, menikmati coklat panas, dan suara hujan di antara kita. Menahan tangis, ketika mengetahui bahwa hari itu adalah pertemuan terakhir kita, untuk beberapa tahun kedepan.
”Aku pasti pulang,” katamu meyakinkanku saat itu.
“Jangan berjanji terlalu banyak.”
“Percaya sama aku, Sayang. Aku pasti pulang.” Dan kamu menatapku seolah aku adalah makhluk paling indah di dunia. Selalu. Aku selalu tersipu ketika kamu menatapku seperti itu. Dan selalu, aku jatuh dalam segala kata-kata manis dan tatapanmu. Juga pelukanmu yang hangat, pelukan terakhir, sebelum aku mengantarmu ke mobilmu yang kemudian melaju di tengah hujan menuju bandar udara.
Aku berusaha mengenyahkan kenangan akan pertemuan terakhir kita, mengingat sudah dua tahun berlalu sejak kamu meninggalkanku untuk studimu di benua lain. Disela tangisku waktu itu, aku berusaha tersenyum, mengingatkan diri bahwa ini adalah cita-citamu, impianmu. Tidak mungkin aku menghalangimu melangkah mendekati mimpimu.
Namun apa yang bisa kuharapkan dari sebuah hubungan jarak jauh? Ketika aku terbangun di sini, kamu baru saja selesai dari kegiatanmu sehari-hari, dan bersiap untuk istirahat. Aku selalu berusaha menahan diri untuk tidak menuntut terlalu banyak komunikasi yang menyita waktu isitrahatmu. Tidak apa tidak berbincang, tidak saling bertukar cerita setiap hari, asal aku tahu bahwa kamu sehat-sehat di sana.
Aku masih mengharapkan kamu. Meski begitu banyak godaan di sekitar, yang sempat meyakinkanku untuk mengakhiri hubungan kita. Tapi kamu selalu meyakinkanku untuk tetap bertahan. Dan aku masih bertahan sampai saat ini, untukmu.
Ternyata sudah satu jam aku duduk di teras, menikmati hujan yang mulai mereda, dan melupakan coklatku yang sudah tidak lagi hangat. Aku memutuskan masuk ke dalam rumah, dan membuat secangkir coklat hangat lagi, ketika kudengar pintu pagar dibuka dan suara mobil masuk.
“Ah, akhirnya Bunda pulang.” Setidaknya kami bisa menghabiskan waktu berdua di teras depan, bercerita tentang berbagai hal. Atau mungkin kita bisa ke salon, memanjakan diri.
Tapi tidak juga kudengar suara hangat Bunda yang selalu berisik ketika masuk rumah, malah kudengar suara bel yang berbunyi.
Shock. Ketika kubuka pintu dan mendapati dirimu dengan senyummu yang menawan. “Aku pulang, Sayang.” Katamu sambil meraihku dalam pelukanmu. Aku masih tidak bisa berkata-kata, malah air mata yang keluar.

Seberapapun aku meyakinkan diri aku benci hujan, tidak bisa dipungkiri bahwa hujan juga yang menyatukan kita.

Saturday, October 12, 2013

Aku Tidak Lagi Peduli, Bahkan Jika Kamu Pergi

Aku punya banyak pilihan. Terbentang dihadapanku. Aku hanya tinggal menunjuk, memilih, dan menjalaninya. Memilih itulah yang sulit. Mana yang lebih baik? Mana yang cocok untukku? Mana yang sebaiknya kujalankan? Mana yang tidak? Mana yang membawa pengaruh buruk? Yang mana? Aku bahkan tidak tahu.
Aku tidak bisa berpikir dengan jernih sekarang. Dan semua hal terasa mempunyai deadline sampai esok hari. Semua harus kuselesaikan dan kupikirkan untuk besok.
Ah, entahlah. Aku terlalu lelah. Bahkan untuk bernapas pun aku merasa letih. Aku tidak lagi bertenaga. Seluruh energiku tersedot untuk kegiatan akhir-akhir ini. Ditambah perasaanku yang selalu kacau.
Ya Tuhan, tolong aku.
Otakku kacau. Pikiranku semrawut. Badanku lemah. Perasaanku tak karuan. Perutku terasa lapar, tapi mulutku tak mau mengunyah. Lelah, katanya. Badanku butuh energi, tapi bahkan aku tidak punya energi untuk sekadar mengunyah makanan.
Badanku lemas, mataku mengantuk, tapi otakku tidak juga mau berhenti bekerja. Selalu ada yang dipikirkan. Bagaimana besok? Apa yang akan terjadi? Harus bagaimana besok? Yang ini belum selesai, ditambah yang itu. Tugas yang ini baru jadi setengah, ditambah lagi tugas yang lain.
Ya Tuhan, tolong bimbing aku.
Aku lelah. Aku menyerah. Seperti tersesat, aku bahkan tidak tahu apa yang harus kulakukan, jalan mana yang harus kuambil, kemana aku harus melangkah selanjutnya, aku tidak tahu.
Aku butuh bantuan. Tidak ada seorangpun yang bahkan mengerti apa yang kurasakan. Apa yang harus kuhadapi setiap harinya.
Aku butuh penyemangat. Tapi masing-masing temanku masih sibuk dengan kegiatan mereka. Terlalu sibuk, bahkan untuk sekadar bertanya kabar. Terlalu sibuk untuk peduli.
Siapa yang peduli padaku? Orang tua? Ah, tentu saja. Tapi sekarang, mereka nun jauh di sana. Di pulau yang berbeda. Sibuk mengurus pameran di luar kota.
Kemudian aku di sini, berdiri sendiri, ditemani bayanganku. Dan doa dari orang-orang yang mengasihiku. Berusaha bertahan hidup, di lingkungan yang terlalu berbeda dengan yang biasa kuhadapi. Berusaha menghidupi diri, dengan sedikit wawasan yang kuketahui tentang daerah di sini.
Tidak jarang terbesit pikiran untuk menyerah. Berhenti, dan kembali pada zona nyamanku yang dulu. Tapi, kalau terus begitu, apa aku bisa maju? Atau itu yang disebut jalan di tempat? Malah, tidak jalan sama sekali?
Sendiri, akupun berusaha menguatkan diri. Menarik lagi air mata yang sudah terlanjur terjatuh, dan berdoa. Aku masih percaya pada rencana Tuhan, yang selalu lebih baik dari segala ekspektasiku akan dunia ini.
Karena aku sudah pernah memilih, dan Tuhan membawaku ke sini. Aku hanya perlu menjalaninya, dan percaya bahwa Tuhan tahu yang terbaik untukku. Bahkan ketika itu merupakan keadaan terburuk dari sisi pandangku.
Tuhan-pun sudah memilih untuk memberiku kesempatan mencoba lagi, sesederhana seperti memberiku kehidupan untuk dijalani lagi esok hari. Memberi lagi udara yang bisa kuhirup, dan air yang bisa kunikmati.
Akupun mengangkat kepala, setelah berterima kasih kepada Tuhan, dan tersenyum. Bahkan ketika aku tidak punya orang-orang di sisiku, orang-orang untuk membantuku, untuk sekadar peduli kepadaku, aku masih punya Tuhan. Aku tidak lagi peduli, pada siapapun dia yang meninggalkanku.

Wednesday, July 24, 2013

Kita Tidak Pernah Terlalu Jauh Untuk Saling Menyayangi

“Nanti malam kita video call, yuk?” ajakmu suatu sore melalu telepon.
“Emangnya kamu bisa? Lagi gak ada tugas?”
“Ada, sih. Tapi ini lagi ngerjain sekarang. Nanti malam pasti bisa, kok. Janji.” Katamu berusaha meyakinkanku.
Bukannya aku tak percaya, tapi kamu juga mengatakan itu padaku, minggu lalu. Katamu tugasmu sudah selesai, dan punya waktu luang. Nyatanya? Aku menunggu hingga pukul satu dini hari, masih tak ada kabar darimu.
“Jangan janji kalau nggak bisa nepatin, Sayang.” Aku ingin mempercayai kata-katamu. Tapi aku juga terlalu lelah menelan semua janjimu yang pada akhirnya adalah palsu.
“Iya. Tapi, pasti bisa kok. Benar, deh.”
“Kita lihat nanti aja, ya. Bye.” Akhirnya aku memutus sambungan, sebelum kamu mengucap janji lain.
Aku merebahkan kepalaku di atas bantal. Sekarang sudah pukul lima. Aku bosan. Sedari tadi tak ada yang kulakukan. Padahal sekarang hari Sabtu. Tapi waktu kuliahmu masih padat juga.
“Ah, mulai kuliah kapan, sih?” Tanyaku dalam hati. Padahal aku sudah tahu jawabannya, masih bulan depan.
Setidaknya kalau aku sudah mulai kuliah, aku bisa merasakan kesibukan sepertimu. Seperti yang kau katakan dulu. Tapi itu tidak akan terjadi dalam waktu dekat. Selama kamu masih sibuk dengan jam kuliahmu yang padat itu, dan aku berdiam diri di rumah tanpa kesibukan apapun, sepertinya aku tidak akan bisa mengerti itu.
Aku tahu, diam-diam kamu berharap aku mengerti segala kesibukanmu. Sungguh, akupun berusaha. Tapi membiasakan diri itu butuh proses. Mungkin sebulan tidak cukup. Mungkin aku terlalu egois. Mungkin kamu terlalu sibuk. Terlalu banyak kemungkinan.
Aku benci berada puluhan, mungkin ratusan kilometer jauhnya darimu. Aku benci terhalang jarak hanya untuk bertemu. Aku benci segala kemungkinan yang bisa terjadi, namun tidak terjadi, hanya karena masalah jarak. Aku benci tidak bisa menghubungimu semauku. Aku benci tidak mendapat kabar darimu. Aku benci kita tidak seperti yang dulu lagi.
Tapi waktu tidak juga mau mengerti, bergulir tanpa kenal ampun. Satu jam, dua jam, kulewati dengan sia-sia, berharap namamu muncul di ponselku. Satu hari, satu minggu, jarak masih juga memisahkan kita.
“Lebay lo. Jarak kalian gak sejauh itu.” Kata seorang teman suatu hari. Memang.
Bukan jarak yang menjadi masalah. Tapi waktu. Aku bisa saja terbangun suatu hari, dan sudah dalam perjalanan menuju stasiun untuk menemuimu di sana.  Tapi tidak pernah kulakukan. Apa yang akan kulakukan setelah tiba di sana? Memangnya kamu mau menemuiku? Bagaimana kalau ternyata kamu sedang kuliah? Sibuk sampai sore, sampai waktunya aku kembali lagi. Lagipula, aku buta arah, tidak seberani itu untuk mencarimu di kota sana, yang notabene tidak pernah kujelajahi sendiri.
Lagi-lagi aku berpikir terlalu banyak. Lelah. Mungkin sebenarnya kita tidak sejauh itu, waktu tidak sejahat yang kupikirkan, dan kamu juga sama menderitanya sepertiku.
Tapi, dasar egoku yang tidak tahu diri, semaunya memikirkanmu dan mengingikanmu berada sedekat mungkin denganku. Padahal kamu sedang mengejar cita-citamu di sana. Padahal seharusnya aku tidak membebanimu. Padahal seharusnya aku berusaha mengertimu, karena aku pasti juga menginginkan hal yang sama darimu. Dimengerti.
Ah, ternyata sudah pukul delapan. Ponselku masih berdiam diri. Sambil berharap semoga kamu tidak melupakan janjimu, aku menekan sederet angka yang sudah kuhapal sejak pertama kali membacanya. Terdengar nada sambung, namun tanpa suara jawabanmu. Tiga belas kali sudah aku mencoba tanpa hasil. Ponselmu bergeming di sana.
Mungkin kamu lelah, tugasmu telah menelan terlalu banyak waktu dan energi. Dan aku, menelan janjimu lagi, sambil berusaha menenangkan hati yang menjerit perih. Akhirnya aku memutuskan untuk mengirimkan sebuah pesan singkat, yang kuharap dapat meluluhkan hatimu untuk meluangkan sedikit waktu membalas pesanku ataupun menjawab teleponku.
“Selamat malam, selamat tidur. Istirahat yang cukup, ya. Aku sayang kamu.”

Wednesday, July 3, 2013

Apa Kabar?


13.53
“Sebentar, sebentar. Aduh, hm… Sayang, nanti aku telepon lagi, ya. Lagi ribet banget di sini. Daah! I love you.“ Belum sempat aku merespon, sudah kau matikan sambungan telepon kita.
Aku menghela napas. Mencoba mengerti. Tapi, sudah berapa kali kau begini? Semenjak kuliahmu dimulai, aku bukan lagi prioritasmu nomor satu. Tapi dari dulu kamu memang begini, dan aku menerimanya. Dulu.
Dulu kita satu sekolah. Kesibukanmu, sudah pasti kudapat juga. Sekarang? Entahlah. Kuliahku saja belum mulai.
“Mengertilah. Nanti kamu juga akan merasakannya.“ Katamu, suatu hari.
Percayalah, aku berusaha mengerti kesibukanmu. Aku berusaha, tapi apa daya? Sudah lama aku tidak mendengar suaramu. Kalaupun kamu berhasil kutelepon, jawabanmu selalu seperti tadi. Belum sempat aku bicara, sudah kau putus sambungannya. Percayalah, aku benar-benar berusaha mengertimu.

16.24
Akhirnya kukirimkan sebuah pesan singkat untukmu. Sekadar menyapa, dan mengingatkan untuk makan. Kamu selalu lupa makan. Kadang tidak mau sama sekali. Bersamaku setiap hari saja, kau sudah begitu? Bagaimana di sana? Aku mengkhawatirkanmu, Sayang.
Sudah tiga puluh menit berlalu, namun tak kunjung jua kudapat balasan pesan darimu. Bosan, kutinggalkan ponselku di kamar, dan beranjak untuk menonton film seri di luar. Movie marathon.

20.55
Aku baru saja selesai menonton. Teringat akan dirimu, kulihat ponselku di kamar. Ada beberapa pesan masuk, dan semuanya dari temanku. Mengajak pergi menonton film baru di bioskop, besok. Ah, bukankah besok hari Sabtu? Aku teringat janjimu mengajakku video call setiap malam Minggu.
“Walaupun jauh, kita masih bisa malam Mingguan bareng, kan? Seperti yang biasa kita lakukan di atas atap rumahmu. Hanya saja, sekarang lewat sini. Yang penting aku masih bersamamu, kan?“ Kata-katamu manis sekali saat itu.
Besok, adalah malam Minggu pertama, semenjak kuliahmu dimulai. Apakah kamu masih ingat janjimu waktu itu?
Aku menghela napas. Ajakan menonton itu cukup menggiurkan, tapi aku merindukanmu. Berharap ini adalah keputusan yang tepat, aku menolak ajakan mereka. Kamu prioritasku nomor satu, tentu saja.

23.17
Aku mengantuk. Tapi pesanmu tak juga datang ke ponselku. Ah, kemana dirimu? Apakah kamu sudah makan? Apa yang sedang kamu lakukan, sampai menyita waktu selama ini? Sudah malam, Sayang. Apa kamu mendapat cukup istirahat? Ah, aku sangat mengkhawatirkanmu.
Tiba-tiba, ponselku berbunyi. Satu pesan, darimu. “Iya, aku udah makan, kok.“ Bunyinya.
Ah, syukurlah. Sedikit lega, akupun memejamkan mata. Dan, tersenyum.

Senja Terakhir


Langit sore dengan campuran warna jingga, merah, dan kuning terbentang di hadapanku. Di tengahnya, masih terduduk Sang Matahari di singgasananya. Di sebelah kananku, secangkir kopi manis nan hangat yang menenangkan hati. Di sebelah kiriku, kamu. Dengan gayamu yang agak sombong itu, duduk di sebelahku. Di tangan kirimu ada secangkir kopi, dan tangan kananmu menggenggam erat jemariku.
“Besok,“ katamu. Mengingatkan, seolah aku melupakannya. Aku sudah menghitung hari. Sejak masih dalam bulan yang berbeda, bahkan.
Aku terdiam. Malas menjawab.
“Sayang,“ panggilmu. “Kamu nggak apa-apa?“
“Menurutmu?“ Kamu pun terdiam.
Matahari sudah menghilang, tergantikan oleh Bulan dan Bintang, beserta kegelapan malamnya. Rumah-rumah di sekitar sudah menyalakan lampunya. Di kejauhan, gedung-gedung pencakar langit bersinar dengan indahnya. Tapi di tempatku sekarang, di atas atap rumahku ini, masih diselimuti gelapnya malam. Tidak ada lampu untuk menerangi. Hanya cahaya bulan yang menyinari. Tidak masalah untukku, selama kamu menemani.
“Kamu ikut aku, yuk?!“ ajakmu. Sudah kuduga.
“Kamu tau, kan, kalau aku nggak mau? Sudahlah, memang sudah saatnya kamu pergi. Tempatku di sini, di Jakarta. Dan kamu, di sana.“
Kamu menghela napas panjang. Aku menggeser dudukku, mendekat ke arahmu. Perlahan, kuletakkan kepalaku dibahumu.
“Memang sudah begitu seharusnya, Sayang. Percayalah, sudah ditakdirkan seperti ini. Tidak ada yang bisa kita lakukan selain menjalaninya dengan ikhlas.“ Ucapku. “Kamu percaya padaku, kan?“
“Apakah itu harus dipertanyakan?”
“Berjanjilah kau akan kembali.“
Sebagai jawaban, kamu mengelus kepalaku dan mengecup puncak kepalaku. “Aku akan merindukanmu,” katamu. Aku tersenyum, meraih cangkir kopiku, dan meminumnya sampai habis, kemudian berdiri.
“Yuk! Sudah malam. Kamu harus istirahat untuk besok.“ Aku meraih tanganmu dan mengajakmu berdiri. Lalu, kamu menarikku dalam pelukanmu. Erat. Seolah ini adalah yang terakhir, seolah tidak akan bertemu lagi. Oh, tapi memang begitu. Setidaknya sampai bulan depan. Sampai tiga puluh hari dari sekarang.
“Tunggu aku,“ pintamu. “Jaga hatimu sampai aku kembali.“
Aku tersenyum, yakin kamu sudah tahu jawabanku.

Sunday, May 12, 2013

Home Made Flower Crochet by Mother


So, this is my mother's flower crochet. It's a brooch. And now she's trying to sell it for Rp 25.000. I'm happy that I could help her, because this is her hobby right now, and it means a lot to her. Are you interest in buying one or two? :D Comment below for my contact. Thanks :)

Saturday, March 30, 2013

Lima Huruf


Jam dinding berbentuk kepala Hello Kitty dikamar Neyza sudah menunjukkan pukul 8 malam. Hari ini dia berhasil menghindari Aji ketika jam istirahat maupun pulang sekolah. Mengingat kemarin dia nggak datang ke tempat janjian mereka (lagi), membuat dada Neyza sesak. Sudah beberapa kali Aji batal datang ketika mereka janjian.
“Masa dia tidak tahu sudah menyakitiku sampai begini? Harusnya dia mengerti. Kitakan sudah berpacaran hampir empat bulan, tidakkah itu cukup? Dan dia nggak baru mengenalku. Kami teman sejak SMP, lumayan dekat, malah. Masa dia nggak cukup mengenalku. Apa mau... putus?” Neyza menggelengkan kepalanya.
Kenapa lima huruf itu bisa melintas di pikirannya? Karena Neyza capek. Dia capek menjadi pihak yang terus mengalah dan yang harus mengerti. Kapan giliran Aji yang mengalah dan Neyza yang dimengerti?
Apa aku harus memberinya kesempatan lain?” Tapi, ini bukan pertama kalinya dia lupa datang pada hari janjian kami. Sebelumnya lebih parah. Aji malah main PS di rumah Diaz ketika seharusnya mereka merayakan hari jadi tiga bulan. Neyza kesal bukan main dan mendiamkan Aji selama seminggu saat itu. Dan, itu baru terjadi dua minggu yang lalu. Bagaimana dia bisa mengulangi kesalahan yang sama dalam waktu dekat?
Neyza terlalu capek untuk memikirkan segala kemungkinan. Dia punya terlalu banyak pertanyaan untuk Aji. Tidak akan muat 1000 karakter yang disediakan ponselnya untuk SMS. Pulsanya yang tersedia saat ini juga tidak cukup untuk menelpon Aji. Ngomong-ngomong, kemana cowok itu? Kenapa dia tidak SMS atau menelponnya? Neyza kangen, tapi terlalu gengsi untuk menghubungi duluan. Apalagi dia sedang kesal. Neyza menggelengkan kepalanya. Capek berdebat dengan pikirannya sendiri. Dia ngantuk. Satu hal pasti, Neyza tidak mau putus sama Aji.
***
Mereka sekarang berada di teras rumah Neyza. Aji berhasil memaksa Neyza untuk diantarkan pulang olehnya. Dan sekarang, Aji masih memohon maaf darinya, padahal Neyza sudah capek mendengar semua kata-kata Aji.
Neyza menghela napas panjang. “Kenapa, Ney? Kamu capek?” tanyanya menatap khawatir ke arah Neyza. Neyza menggeleng.
Aji menyesal. Dia tahu itu. Dia telah membuat Neyza sakit hati (lagi). Sebelumnya juga pernah begini, bahkan lebih parah. Aji capek, Neyza apa lagi. Tapi Aji tahu, ini semua salahnya. Dia selalu menjadi pihak yang bersalah. Aji sayang sama Neyza, tidak perlu dipertanyakan. Kenapa begitu susah rasanya untuk mengingatkan dirinya setiap mereka ingin jalan.
“Jangan diulang lagi yaa, Ji. Aku capek.” Neyza menghela napas. Terasa sesak didada Aji melihat Neyza begitu tersakiti.
Dia tersenyum lemah, menatap gadis di depannya itu. “Aku nggak akan ngulang lagi, Ney. Janji. Nggak akan…”
“Jangan! Jangan bikin janji kalau kamu gak bisa nepatinnya, Ji. Aku capek dikasih janji terus sama kamu. Kalau udah begitu, aku lagi kan, yang mengalah? Aku lagi kan, yang harus mengerti kamu? Kapan giliran kamu yang mengalah dan aku yang dimengerti, Ji?” Neyza segera menghapus air matanya yang mengalir.
Aji terperangah. Harusnya dia menyadari itu.
“Apa begitu susah untuk kamu, ngertiin aku? Kenapa kamu nggak sadar? Aku sayang, Ji, sama kamu. Aku nggak mau kayak gini ke kamu. Tapi, aku juga harus mikirin perasaan aku, kan? Aku nggak pernah minta banyak, Ji, dari kamu. Aku nggak pernah minta beliin barang mahal. Aku gak pernah minta kamu selalu SMS atau telepon aku. Aku gak pernah maksa kamu untuk dateng ke rumah aku setiap malam minggu. Tapi, semua itu kamu lakuin kan? Kamu beliin aku boneka yang harganya ratusan, padahal aku gak minta itu, Ji. Oke, aku memang seneng kamu baik sama aku. Tapi, giliran aku minta satu hal aja sama kamu, kenapa susah dilakuin, Ji?”
“Kamu minta apa, Ney?” tanya Aji, suaranya serak. Susah payah dia menahan nangis di depan Neyza. Ingin rasanya dia berteriak, atau memukul sesuatu untuk menenangkan hatinya.
“Aku minta kamu nepatin janji kamu.” Aji melengos. Dia tak menatap mata Neyza sekarang. Neyza benar-benar memukul kelemahannya.
Aji tahu benar dia sudah sering mengecewakan Neyza, bahkan sudah pernah sebelum cewek itu menjadi pacarnya. Tapi Aji nggak pernah menyangka ternyata Neyza begitu tersakiti. Kalau Aji melupakan janji dengan teman-temannya… Aji tersentak. Neyza bukan temannya. Dia pacarnya. Harusnya dia lebih memahami Neyza. Neyza nggak bisa disamakan dengan teman-temannya. Aji menatap Neyza. Mungkin dia memang nggak akan bisa memahami Neyza. Kalau memaksakan, Neyza akan lebih tersakiti.
“Mungkin… sebaiknya kita putus aja, Ney. Aku nggak mau bikin kamu tambah sakit hati. Mungkin, aku memang nggak bisa mengerti kamu. Kayaknya, lebih baik kita putus.”
Neyza tersentak. Harusnya nggak kayak gini, Ji… Tapi suaranya tidak bisa keluar. Lelah, Neyza memutuskan mengangguk.
Dengan berat hati Aji bangun. Berjalan ke arah Neyza, yang sedari tadi berdiri di dekat pilar. Dia memeluk Neyza, untuk terakhir kali. Dan mencium kening cewek yang disayanginya itu. Aji berjalan menjauh, nggak mungkin dia nangis di depan Neyza. Mungkin ini memang yang terbaik. Neyza pasti bisa lebih bahagia, pikirnya.
Aji tidak tahu, Neyza menangis dibelakangnya. Hatinya teriak meminta Aji kembali. Tapi, suaranya tidak bisa keluar. Neyza menangis, Aji juga. Sakit hati mendera keduanya. Lima huruf itu akhirnya terucap.

Sunday, March 3, 2013

Selintas Sejarah Secercah Asmara - Bagian 1


Museum Bank Indonesia. Berada di sini lagi mengingatkanku akan kenangan setahun lalu. Terjadi sesaat, namun tetap tinggal sampai sekarang. Sudah satu tahun berlalu, padahal. Sebutlah aku bodoh, karena masih mengenangnya sampai sekarang. Padahal belum tentu dia mengingatnya sekelebat pun. Aku tak pernah tahu namanya, hanya cirinya, dan wanginya yang khas. Yang entah kenapa, tak bisa hilang dari ingatanku.
Tiba-tiba kudengar suara memanggilku, menyadarkan lamunanku.
“Ngelamun terus. Aku panggil berkali-kali, tapi kamu diam aja,” keluh Diah, “Mikirin siapa sih? Cowok itu lagi?”
Aku hanya bisa tertawa kecil. Tak membenarkan, tapi Diah tahu. “Udahlah, buang-buang waktu aja. Tahu namanya juga gak…!”
Memang benar apa yang dikatakannya. Dasar, terlalu lama rupanya aku berteman dengannya. Tak heran Diah tahu perasaan dan pikiranku, walau yang tak terucap sekali pun. Kami telah berteman sejak masih mengenakan seragam putih-merah, sampai sekarang, ketika kami sebentar lagi terlepas dari kewajiban belajar dua-belas tahun. Kami terus berteman, meski beda jurusan. Diah di IPS, sedang aku di IPA.
“Udahlah, yuk, sepertinya Kak Bayu sudah menunggu. Kita janjian di taman, kan?” Kuraih lengannya dan segera berjalan menuju Taman Fatahillah, mencari Kak Bayu, seorang teman sesama pecinta museum.
Menghabiskan sore hari di Kota Tua benar-benar menyenangkan. Tempat yang tepat untuk melepas penat sekolah. Seminggu penuh berkutat dengan hukum-hukum fisika, reaksi-reaksi kimia, pola hereditas, dan integral, dalam menghadapi Ujian Akhir Semester. Begitu mendapat ajakan untuk menghabiskan hari Sabtu di Kota Tua, aku tak berpikir dua kali.
Aku suka Kota Tua. Suka sejarah yang ada di baliknya. Setiap gedung di sini punya cerita tersendiri, yang takkan pernah habis dimakan waktu. Aku menyukai sejarah. Selalu ada peristiwa untuk dikenang, untuk dipelajari agar tak mengulang kesalahan yang sama.
Kucoba mengenyahkan lamunan dari kepalaku. Menyeberang jalan di depan Museum Bank Indonesia perlu konsentrasi. Sepeda motor, bajaj, angkot, bis kota, dan aneka kendaraan yang tak kenal sabar, berebut jalan searah yang cukup lebar. Menyusur jalan di antara gedung-gedung tua, Taman Fatahillah mulai nampak.
Penuh suara dan lalu-lalang orang. Pelajar mengisi liburan, gerombolan punk mencari identitas, anak-anak singkong bersepeda, dan para pedagang yang berupaya mengais keuntungan. Beberapa turis bule melintas di ujung seberang, menuju Café Batavia. Kafe yang cukup menarik, dua lantai dengan dekorasi luar didominasi warna hijau. Ada live music pada jam-jam tertentu. Aku pernah ke sana sekali, bersama Ayah dan teman-temannya. Dekorasi interiornya cukup megah, dengan mebel berkelas. Namun ketika melihat menu yang ditawarkan berikut harga yang tertera, aku langsung berpikir, tak akan mungkin aku kembali ke sini hanya dengan teman-temanku. Tak cocok untuk kantong pelajar.
Memang bukan Café Batavia tempat kesukaanku di Kota Tua. Tapi Taman Fatahillah, lapangan besar di depan Museum Sejarah Jakarta. Riuh-ramai beraroma klasik. Banyak pedagang menjajakan aneka barang, mulai dari pedagang makanan, pakaian, sampai aksesoris. Harga yang ditawarkan pun tak mahal. Kau bisa dapatkan seuntai kalung hanya seharga sepuluh ribu rupiah. Pas untuk kantong pelajar. Banyak juga yang menyewakan sepeda ontel. Ada yang untuk sendiri, bisa juga berdua, bahkan bertiga. Naik sepeda ontel tetap terasa menyenangkan, bahkan bagi yang sudah pernah mencobanya sekali pun.
Banyak juga yang melakukan atraksi di lapangan ini. Selalu ada setiap malam, apalagi ketika hari-hari libur. Banyak orang datang untuk menonton, tapi tak sedikit juga yang datang hanya untuk mencari makanan, melihat-lihat jualan, atau sekadar menghibur diri. Lapangan itu benar-benar seperti magnet, yang bisa menarik orang-orang di sekitarnya. Tanpa ada atraksi sekali pun, kurasa mereka akan tetap datang juga ke Taman Fatahillah.
Lagi-lagi, Diah menyadarkanku. “Bengong lagi? Mikirin apa sekarang?”
Aku tersenyum. “Sore ini, Kota Tua kelihatan indah banget ya, Di…”
Diah mengerutkan kening, lalu menatap Museum Fatahillah di depannya. “Bukankah memang selalu indah? Coba kamu lihat langitnya. Begitu biru, apalagi dipadukan dengan awan putih yang terlihat begitu halus.” Diah tiba-tiba menghela napas panjang. “Coba aku bawa kanvas... Setidaknya, buku sketsa deh…” lanjutnya.
Aku tertawa. Temanku yang satu itu memang seorang pelukis. Dengan mudah dia bisa terinspirasi benda-benda di sekitar. Biasanya, Diah selalu membawa buku sketsanya ke mana pun pergi. Aku juga tak tahu, kenapa dia bisa melupakan benda yang satu itu, yang katanya merupakan separuh jiwanya.
“Simpan dulu aja imajinasimu barusan. Nanti, baru dituangkan di rumah.”
Diah tersenyum seraya mengerling ke jam tangannya, “Sudah jam empat lewat nih, Kak Bayu di mana, ya?”
Belum sempat aku menjawab, sebuah tangan sudah menepuk pundakku. “Hai! Sudah lama nunggu, ya?” Kak Bayu tiba-tiba sudah berada di belakang kami. Mahasiswa arsitektur semester lima, yang suka ke Kota Tua, katanya untuk belajar dari keindahan bangunan-bangunan lama.
“Kak! Ke mana aja? Kami sudah nunggu lama di sini…” Diah, seperti biasa tetap bersemangat.
“Maaf, maaf… Tiba-tiba segerombolan remaja cewek menghampiriku, minta tanda tangan serta foto bareng. Padahal aku sudah pakai kacamata hitam ini, apa masih kurang?” Kak Bayu terlihat lelah, bisa kubayangkan. Kami malah tertawa.
Kak Bayu adalah seorang penyanyi dan pemusik. Dia mulai terkenal beberapa bulan lalu, ketika video dia bernyanyi sambil bermain gitar diunggahnya ke Youtube. Lagu yang dinyanyikan memang lagu yang dikenal anak muda sekarang, Sempurna oleh Andra and the Backbone. Cewek-cewek dibuatnya meleleh dengan suara dan gitarnya itu. Tambahan lagi wajahnya pun masuk kategori “ganteng”. Kak Bayu memang keturunan Belanda-Jawa.
Kami bertemu di Facebook. Aku, Diah, dan Kak Bayu tergabung dalam komunitas pecinta museum. Ketika diadakan pertemuan anggota, Diah baru menyadari, bahwa Kak Bayu yang sering chat dengannya, adalah Bayu yang “itu”. Kak Bayu tak pernah memasang fotonya sebagai profile picture. Selalu foto alam Indonesia. Diah  langsung melaksanakan sesi tanya-jawab dengan idolanya itu. Pembawaan Diah yang selalu segar dan bersemangat, membuat Kak Bayu yang pendiam jadi ikut bergabung denganku dan Diah. Sejak itu kami jadi dekat. Meski berstatus pacaran dengan Farid, teman sekelasnya, namun Diah beberapa kali mengungkapkan, dia tertarik juga dengan kak Bayu. Dasar Diah, selalu kelewat aktif.
“Dari sini, kalian ada rencana ke mana?” tanya Kak Bayu.
“Aku sih langsung pergi lagi, Kak. Nanti Ibu jemput. Kamu gimana, Kar?” Diah bertanya padaku.
“Gampang Di, aku bisa pulang naik bus kok.” Diah kadang terlalu khawatir kalau aku pulang malam, dan sendirian.
“Kamu, Kak? Nanti ada rencana pergi?” Diah kembali bertanya.
“Enggak ada, Di. Nanti aku yang anter kamu aja, gimana, Kar?” Kak Bayu bertanya padaku. Diah langsung senang.
“Iya, benar! Kamu pulang sama Kak Bayu aja, oke? Biar aman, biar aku tenang juga, ya?” aku jelas tak bisa berkata tidak, daripada Diah marah-marah.
“Memangnya kalian memberiku pilihan lain?” Diah dan Kak Bayu malah tertawa.
Satu jam selanjutnya kami habiskan untuk berkeliling Kota Tua dengan sepeda ontel. Berangkat dari Museum Wayang, menyeberang ke Museum Seni Rupa dan Keramik, melewati Stasiun Jakarta Kota, Museum Bank Mandiri, Museum BI, melintas Kali Besar, Jembatan Kota Intan, Toko Merah, ke utara ke arah Museum Bahari dan Pelabuhan Sunda Kelapa, balik ke Taman Fatahillah lewat Galangan Kapal VOC. Aku sampai hapal jalannya. Tapi, aku tetap suka. Andaikan Kali Besar dibersihkan, sungguh, tempat ini pasti akan semakin ramai. Yah, dengan bau kali yang kurang sedap ini saja, sudah ramai.
Tak lama setelah mengembalikan sepeda sewaan, Tante Ira, ibunya Diah, datang. Kami bercakap sebentar, lantas mereka pergi. Menjenguk kerabat yang sakit, cerita Tante Ira.
“Kita mau langsung pulang juga, Kar? Atau kamu mau jalan lagi?”
Kulirik jam, setengah enam. Lelah, tapi masih ingin di sini. Sebentar lagi lampu-lampu penghias pohon-pohon akan menyala. Sudah sering ku melihatnya, tapi tetap suka.
“Mau lihat lampu lagi?” ucap Kak Bayu tiba-tiba. Aku terkejut. “Aku sudah kenal denganmu cukup lama untuk mengetahui itu, Kar.” Dia tertawa.
“Pikiranku mudah dibaca, ya Kak?” Sungguh, ternyata bukan Diah saja.
Kak Bayu hanya tertawa. “Cari tempat duduk yuk. Kamu lapar?” tanyanya.
Aku menggeleng. “Belum, sepertinya.” Bunda selalu menyiapkan roti lapis dan snack untuk bekal jalan-jalan, sudah kuhabiskan bersama Diah tadi siang.
“Tapi dari tadi siang kamu belum makan, kan? Daripada sakit, Kar. Kalau sakit, liburan di rumah doang, loh…” paksanya.
Liburan di rumah sama sekali bukan ide bagus, apalagi untukku yang tak betah diam.
“Ya sudah, yuk!” ajakku. Kak Bayu segera tersenyum.
“Kamu itu, kalau gak dipaksa pasti gak bakal makan sampai besok deh…” Dia tertawa, mengusap kepalaku sebentar sambil berjalan mendahului.
Aku tertegun sebentar. Refleks, tangan kiriku bergerak memegang kepala. Kemudian tersenyum, dan segera mengejarnya.
“Mau makan apa? Ketoprak? Atau kwetiau?” tawarnya.
“Lagi mau kwetiau, nih, kayaknya…”
Kami masuk ke salah satu tenda makanan yang menjual nasi goreng, mie goreng, dan semacamnya. Kwetiau untukku, nasi goreng untuknya, dan es jeruk untuk kami berdua.
Kak Bayu menceritakan pengalamannya bermusik. Dari ayahnya dia belajar tentang kunci-kunci gitar, memainkan melodi yang indah. Dari ibunya dia belajar bernyanyi, cara mengatur napas agar dapat mencapai nada tinggi dengan baik. Dia bercerita, senangnya ketika berhasil memainkan satu lagu dengan gitar, berhasil mencapai nada tinggi pertamanya.
“Lalu, siapa yang punya ide untuk mengunggah video Kakak ke YouTube?” tanyaku.
“Teman-teman di kampus. Mereka yang semangat. Malah ada beberapa teman cewek yang bilang, kan biar punya temen artis gitu, kali aja suatu saat kamu terkenal,” ceritanya sambil menirukan suara perempuan.
Aku tertawa. “Yah, setidaknya kalau nanti kamu sudah benar-benar terkenal, aku punya banyak foto kamu, Kak, jadi gak usah repot-repot kayak cewek-cewek tadi, kan?”
“Wah iya, benar juga. Asal jangan publikasikan foto-fotoku yang jelek ya, bisa hancur citraku nanti…”
“Tadinya sih gak kepikiran… Tapi karena kamu ingatkan, yah, itu bisa jadi pertimbangan kalau kamu tiba-tiba jadi sombong, Kak… Hahaha…”
Setelah beberapa saat berbincang tentang aneka hal, aku teringat. “Kak, aku belum pernah lihat kamu nyanyi langsung, loh. Kapan-kapan, nyanyi untukku dan Diah, dong…”
Kak Bayu hanya tersenyum dan tiba-tiba berkata, “Sudah nyala lampunya tuh, Kar…”
Aku memandang ke luar tenda, tertegun beberapa saat. “Indah ya, Kak. Aku selalu suka melihatnya…” Tak ada jawaban. Aku menoleh, dan mendapati bangku kosong. Ke mana dia pergi? Masa iya, dia tega meninggalkanku di sini sendirian? Masih kebingungan, tiba-tiba ku dengar dia memanggil namaku.
Kak Bayu menghampiri sambil membawa gitar. “Katanya, kamu minta aku nyanyi, kan? Kebetulan ada gitar, nih…”
Aku tertegun, masih tak percaya dia mengabulkan permintaanku tadi. Kak Bayu mulai memainkan gitarnya, mendendangkan lagu yang membuatnya dikenal banyak orang.

Kau begitu sempurna
Di mataku kau begitu indah
Kau membuat diriku
Akan selalu memujamu

Di setiap langkahku
Ku kan selalu memikirkan dirimu
Tak bisa ku bayangkan 
Hidupku tanpa cintamu
(Sempurna – Andra and The Backbone)

Suaranya indah mengalun. Aku terdiam. Setelah dentingan terakhir dipetiknya, terdengar banyak tepuk tangan. Ternyata Kak Bayu sudah menarik banyak penonton. Dia tersenyum ke arahku, lantas menghampiri beberapa pengamen dan mengembalikan gitar itu.
“Bagaimana kamu bisa meminjam gitar itu?” aku benar-benar heran, sungguh. Ini orang apa tidak punya malu?
“Aku sewa dari pengamen-pengamen itu. Kan, kamu bilang mau dengar aku nyanyi langsung. Aku sudah kabulkan, senang kan?”
Aku terkejut. Senang, malu, bahagia. Aku tersenyum. “Kak, terima kasih. Sungguh. Baru kali ini, ada yang menyanyikan lagu khusus buatku. Kamu yang pertama, loh…”
“Iya? Wah, aku tersanjung, kalau begitu…” dia tertawa.
“Kak, kamu…tadi itu, apa gak malu? Dilihat banyak orang gitu…”
“Hey, aku ini pemusik, penyanyi, kalau pemalu, bagaimana bisa dikenal? Lagipula, kan kamu yang memintanya, Kar…”
Lagi-lagi aku dibuatnya terkejut. Aku terdiam, penuh rasa berkecamuk.
“Kar?” Kak Bayu melambaikan tangannya di depan wajahku. Aku tersadar. “Jangan melamun, sudah malam. Kamu udah capek?”
Aku rasanya sudah tak sanggup mengucap apapun. Jadi, aku mengangguk.
“Pulang yuk!” Kak Bayu beranjak dari kursinya. Ketika aku mengeluarkan dompet, dia malah menggeleng, dan segera membayar pesanan kami.
Kak Bayu membiarkanku berjalan duluan. Aku masih terkejut. Bahkan tak sanggup mengucap terima kasih. Kenapa tiba-tiba ada rasa yang berbeda? Seharusnya tidak. Kak Bayu memang ganteng, bersuara indah, trampil bermain gitar. Tapi, selama ini biasa saja.
“Kar, awas!” Kak Bayu menarik lenganku. Hampir aku tertabrak sepeda. Rombongan sepeda ontel itu tak terlalu peduli, lewat di sisiku. Tiba-tiba, aroma wangi yang tertanam di memoriku, semerbak memenuhi udara sore. Walau hanya tampak punggungnya di atas sepeda ontel, tapi serasa ku kenal betul pemilik aroma wangi ini. Museum BI, setahun lalu.
“Mikirin apa sih? Sampai gak sadar jalan gitu. Bahaya tau.” Kak Bayu sedikit marah.
Aku berusaha menyadarkan diri. “Maaf, benar-benar gak tau kenapa … Maaf, Kak…”
Dia menghela napas. “Yang penting kamu baik-baik aja sekarang.”
Kak Bayu berjalan mendahului, membukakan pintu mobil untukku. Aku hanya bisa tersenyum. Selama perjalanan pulang, kami tak banyak bicara. Suara gitar dan nyanyian Kak Bayu, serta aroma wangi pemuda di Museum BI setahun lalu, seakan memenuhi ruang mobil.
Sampai di rumahku, setelah berpamitan dengan kedua orang-tuaku, ia segera kembali ke mobilnya. Kami di teras depan, ketika dia bertanya, “Besok, kamu ada rencana gak, Kar?”
Aku berpikir sebentar, dan segera menggeleng. “Belum, Kak. Ada apa?”
“Main ke Dufan, yuk!”
“Bukannya udah pernah ke sana ya, Kak? Lagian pasti rame deh besok…”
“Iya sih, tapi kan tetap seru. Makanya, kita pergi dari pagi, gimana?”
“Boleh aja sih…” Entah kenapa aku mengiakan, padahal untukku Dufan cukup menakutkan. “Diah boleh ikut?” tiba-tiba teringat temanku yang satu itu, dan aku juga merasa, pasti akan canggung kalau hanya berdua.
Kak Bayu terdiam sebentar, lalu, “Boleh, ajak aja. Kamu telpon aja sekarang.”
Aku segera menekan tombol ponsel. Tak lama, suara Diah terdengar di ujung sana.
“Di? Besok kamu ada rencana pergi gak? …. Ooh, gitu ya? Sampai malam? Oh, ya sudah …. Iya, diajakin Kak Bayu ke Dufan …. Hahaha, ya sudah, …. jangan sedih gitu, lain kali ikut yaa. Oke, daaah.” Aku pun memutus sambungan.
“Diah mau ke mana?” tanya Kak Bayu.
“Ada acara keluarga, di Bogor. Dia kesel banget kayaknya, gak bisa ikut besok. Hahaha,” aku teringat Diah yang tiba-tiba histeris ketika kuberitahu rencana besok.
“Aku bisa membayangkan itu.” Kak Bayu tertawa. “Ya sudah, besok tetap jadi, kan?” Aku mengangguk. “Aku jemput sekitar jam tujuh ya.” Lagi-lagi aku mengangguk.
“Langsung tidur ya, biar besok gak capek. Selamat malam, Kar.” Kak Bayu pamit.
“Iya, Kak. Selamat malam juga.” Aku tersenyum dan membukakan pagar untuknya.
Setelah mandi, tubuhku terasa segar, tapi hatiku masih pepat. Makan malam berlauk cumi goreng tepung kesukaanku, tapi lidah tak bisa menikmatinya. Untung perhatian Ayah-Bunda tersita oleh cerita adikku tentang pertandingan pencak-silatnya tadi siang. Beralasan lelah, aku minta ijin tidur lebih dulu. Ternyata sendiri di kamar tidur pun tak membantu. Dinding-dinding kamar memantulkan suara Kak Bayu bernyanyi sambil bermain gitar, dari kisi-kisi jendela, angin mengalirkan semerbak arowa wangi si pemuda Museum BI, entah siapa namanya? Sementara di langit-langit, wajah Diah yang tersenyum riang membuatku semakin sulit tidur. Namun akhirnya, tubuh lelahku tak kuasa menahan berat mata.

Selanjutnya: Bagian 2

Selintas Sejarah Secercah Asmara - Bagian Akhir



Aku terbangun karena dering nyaring ponselku. Susah payah aku bergerak meraihnya, dan melihat nama ‘Diah’ tertera di layar.
“Lari pagi yuk, Kar!!” ujar Diah semangat di seberang.
“Di… ini baru jam lima lewat sedikit loh. Aku masih ngantuk…” aku menguap, dan memejamkan mata lagi.
“Ayolah, Kar! Masa liburan malah malas-malasan gitu. Nanti Kak Bayu keburu diambil orang, loh…”
“Diiii, kenapa Kak Bayu terus sih???” aku langsung terjaga.
“Hahaha, aku kenal kamu, Kartika. Aku tahu kok kalian makin dekat sekarang. Lagipula, kalau kalian pacaran juga gak ada ruginya, kan?”
Aku merutuk. Anak itu … Dia cenayang, sepertinya.
“Sudah, ayo cepat bangun! Sebentar lagi aku dan Kak Bayu menjemputmu. Dandan yang cantik yaa, hahaha. Daah!” sambungan diputus.
Diah benar-benar deh…
Tapi, aku mengakuinya juga. Sepertinya memang cukup terlihat dari gerak-gerik kami. Aku segera saja membasuh muka dan gosok gigi. Kemudian sedikit menyiram badan agar segar. Tidak perlu mandi, toh sebentar lagi juga lari, keringatan.
Aku membuka lemari dan mendapati kaos yang kubeli samaan dengan Kak Bayu di Dufan kemarin. Setelah menimbang cukup lama, aku segera memakainya.
“Cieee, kalian kompakan gitu deh! Jodoh banget!” reaksi histeris dari Diah adalah yang pertama kali kudengar ketika dia dan Kak Bayu memasuki ruang makan.
Aku dan Kak Bayu hanya tertawa. Kami mengenakan kaos yang sama. Masing-masing pasti tidak menduga akan seperti ini. Bagaimana pun aku tetap merasa senang. Ketika melihat ke arah Kak Bayu, dia hanya tersenyum. Dan ketika mata kami bertemu, aku segera mengalihkan pandangan. Namun dari sudut mata aku bisa melihatnya tersenyum kepadaku.
Setelah sarapan dan berpamitan, kami segera berangkat menuju Gelora Bung Karno di Senayan. Jam masih menunjukkan pukul enam pagi ketika kami mulai berlari. Banyak juga orang yang ikut berlari pagi itu. Tidak heran, memang masa liburan anak sekolah.
Kami mulai berlari mengelilingi stadion bola. Baru dua putaran, Diah sudah menyerah. Kekenyangan, katanya. Dia memutuskan istirahat duluan, sambil duduk di pinggir. Aku dan Kak Bayu melanjutkan berlari, menambah dua putaran. Ketika sudah sama-sama lelah, kami beristirahat menemani Diah.
Ketika sedang membeli minuman, kulihat Kak Bayu berjalan ke arah parkiran mobil.
“Dia gak mungkin ninggalin kita, kan?” tanyaku ke Diah.
Diah tertawa. “Ya enggaklah, Kartika. Aneh-aneh aja pikiranmu. Paling dia ngambil barang ketinggalan di mobil.” Aku mengangguk-angguk setuju.
Tak lama kemudian Kak Bayu kembali membawa gitarnya. Diah memekik kesenangan, sedangkan aku hanya syok.
“Kak Bayu mau ngapain, Di…” Diah malah menyuruhku untuk diam, kemudian dia menghampiri Kak Bayu, mereka ngobrol sebentar, dan mereka menghampiriku.
“Kak, kamu mau ngapain bawa gitar gitu?”
“Dengerin dulu aja ya, Kar. Ini lagu buat kamu.”
Kak Bayu kemudian mulai memetik gitarnya. Terdengar nada indah yang mengalun. Sebuah lagu yang sepertinya kukenal.

Berjuta rasa rasa yang tak mampu diungkapkan kata-kata
Dengan beribu cara cara kau slalu membuat ku bahagia
Kau adalah alasan dan jawaban atas semua pertanyaan
Yang benar-benar ku inginkan hanyalah
Kau untuk slalu di sini ada untukku

Maukah kau ‘tuk menjadi pilihanku
Menjadi yang terakhir dalam hidupku
Maukah kau tuk menjadi yang pertama
Yang slalu ada di saat pagi ku membuka mata
Oh, izinkan aku memilikimu, mengasihimu
Menjagamu, menyayangimu
Memberi cinta, memberi semua yang engkau inginkan
Selama aku mampu aku akan berusaha
Mewujudkan semua impian dan harapan
‘tuk menjadi kenyataan
(Pilihanku - Maliq & D’essentials)

Seperti sebelumnya, dia menarik banyak penonton di sekitar. Aku masih terkejut, dan juga bahagia. Untukku, katanya? Ya Tuhan…
“Kartika Aurora, maukah kamu jadi kekasihku?”
Aku bingung. Sungguh. Rasanya selama setahun kemarin aku masih memikirkan Radit, namun tiba-tiba Kak Bayu menyatakan perasaannya. Aku memang mulai bisa merasakannya. Sikapnya kepadaku, selalu berbeda dari yang ditunjukkannya untuk Diah. Selalu lebih manis.
Aku menengok ke arah Diah, dia tersenyum seraya menganggukan kepala. Aku bisa melihat wajah Kak Bayu yang terlihat cemas, menunggu jawabanku. Aku menarik napas dalam-dalam, dan mengangguk yakin. Kak Bayu terlihat lega dan senang. Dia tersenyum, dan meraihku dalam pelukannya. Banyak orang bersorak senang, Diah juga.
“Kamu membuatku cemas, Kar…” bisiknya.
“Salahmu. Kamu yang membuatku malu, Kak,” balasku.
“Tapi senangkan?” Kak Bayu melepas pelukannya. Aku mengangguk. “Oh iya, jangan panggil ‘Kak’ lagi…” aku tertawa.
Diah menghampiriku, memelukku erat. “Maaf ya Di…” bisikku.
“Gak apa, aku kan punya Farid,” bisik Diah di telingaku, suaranya agak bergetar.
Selama ini kami memang selalu bisa saling memahami. Tapi, sering kudengar cerita, kehadiran seorang lelaki yang menghancurkan persahabatan dua orang perempuan. Ah… pikiranku kembali terlalu jauh pergi.
Diah beranjak dan gantian memeluk Kak… mm... Bayu maksudku.
Tiba-tiba hatiku terasa lapang. Ini sungguh membahagiakan.
Tiba-tiba juga, ada aroma wangi tertentu yang menyentuh hidungku, mengalir bersama angin pagi. Entah kenapa, sosok Radit tiba-tiba muncul begitu saja di kepalaku.
 “Sejarah tak pernah berjalan lurus, selalu ada liku-liku. Itu yang membuatnya menarik,” ucapan Radit terngiang di telingaku.
Ah… kenapa bahagia masih juga disertai galau.