Sunday, March 3, 2013

Selintas Sejarah Secercah Asmara - Bagian 1


Museum Bank Indonesia. Berada di sini lagi mengingatkanku akan kenangan setahun lalu. Terjadi sesaat, namun tetap tinggal sampai sekarang. Sudah satu tahun berlalu, padahal. Sebutlah aku bodoh, karena masih mengenangnya sampai sekarang. Padahal belum tentu dia mengingatnya sekelebat pun. Aku tak pernah tahu namanya, hanya cirinya, dan wanginya yang khas. Yang entah kenapa, tak bisa hilang dari ingatanku.
Tiba-tiba kudengar suara memanggilku, menyadarkan lamunanku.
“Ngelamun terus. Aku panggil berkali-kali, tapi kamu diam aja,” keluh Diah, “Mikirin siapa sih? Cowok itu lagi?”
Aku hanya bisa tertawa kecil. Tak membenarkan, tapi Diah tahu. “Udahlah, buang-buang waktu aja. Tahu namanya juga gak…!”
Memang benar apa yang dikatakannya. Dasar, terlalu lama rupanya aku berteman dengannya. Tak heran Diah tahu perasaan dan pikiranku, walau yang tak terucap sekali pun. Kami telah berteman sejak masih mengenakan seragam putih-merah, sampai sekarang, ketika kami sebentar lagi terlepas dari kewajiban belajar dua-belas tahun. Kami terus berteman, meski beda jurusan. Diah di IPS, sedang aku di IPA.
“Udahlah, yuk, sepertinya Kak Bayu sudah menunggu. Kita janjian di taman, kan?” Kuraih lengannya dan segera berjalan menuju Taman Fatahillah, mencari Kak Bayu, seorang teman sesama pecinta museum.
Menghabiskan sore hari di Kota Tua benar-benar menyenangkan. Tempat yang tepat untuk melepas penat sekolah. Seminggu penuh berkutat dengan hukum-hukum fisika, reaksi-reaksi kimia, pola hereditas, dan integral, dalam menghadapi Ujian Akhir Semester. Begitu mendapat ajakan untuk menghabiskan hari Sabtu di Kota Tua, aku tak berpikir dua kali.
Aku suka Kota Tua. Suka sejarah yang ada di baliknya. Setiap gedung di sini punya cerita tersendiri, yang takkan pernah habis dimakan waktu. Aku menyukai sejarah. Selalu ada peristiwa untuk dikenang, untuk dipelajari agar tak mengulang kesalahan yang sama.
Kucoba mengenyahkan lamunan dari kepalaku. Menyeberang jalan di depan Museum Bank Indonesia perlu konsentrasi. Sepeda motor, bajaj, angkot, bis kota, dan aneka kendaraan yang tak kenal sabar, berebut jalan searah yang cukup lebar. Menyusur jalan di antara gedung-gedung tua, Taman Fatahillah mulai nampak.
Penuh suara dan lalu-lalang orang. Pelajar mengisi liburan, gerombolan punk mencari identitas, anak-anak singkong bersepeda, dan para pedagang yang berupaya mengais keuntungan. Beberapa turis bule melintas di ujung seberang, menuju Café Batavia. Kafe yang cukup menarik, dua lantai dengan dekorasi luar didominasi warna hijau. Ada live music pada jam-jam tertentu. Aku pernah ke sana sekali, bersama Ayah dan teman-temannya. Dekorasi interiornya cukup megah, dengan mebel berkelas. Namun ketika melihat menu yang ditawarkan berikut harga yang tertera, aku langsung berpikir, tak akan mungkin aku kembali ke sini hanya dengan teman-temanku. Tak cocok untuk kantong pelajar.
Memang bukan Café Batavia tempat kesukaanku di Kota Tua. Tapi Taman Fatahillah, lapangan besar di depan Museum Sejarah Jakarta. Riuh-ramai beraroma klasik. Banyak pedagang menjajakan aneka barang, mulai dari pedagang makanan, pakaian, sampai aksesoris. Harga yang ditawarkan pun tak mahal. Kau bisa dapatkan seuntai kalung hanya seharga sepuluh ribu rupiah. Pas untuk kantong pelajar. Banyak juga yang menyewakan sepeda ontel. Ada yang untuk sendiri, bisa juga berdua, bahkan bertiga. Naik sepeda ontel tetap terasa menyenangkan, bahkan bagi yang sudah pernah mencobanya sekali pun.
Banyak juga yang melakukan atraksi di lapangan ini. Selalu ada setiap malam, apalagi ketika hari-hari libur. Banyak orang datang untuk menonton, tapi tak sedikit juga yang datang hanya untuk mencari makanan, melihat-lihat jualan, atau sekadar menghibur diri. Lapangan itu benar-benar seperti magnet, yang bisa menarik orang-orang di sekitarnya. Tanpa ada atraksi sekali pun, kurasa mereka akan tetap datang juga ke Taman Fatahillah.
Lagi-lagi, Diah menyadarkanku. “Bengong lagi? Mikirin apa sekarang?”
Aku tersenyum. “Sore ini, Kota Tua kelihatan indah banget ya, Di…”
Diah mengerutkan kening, lalu menatap Museum Fatahillah di depannya. “Bukankah memang selalu indah? Coba kamu lihat langitnya. Begitu biru, apalagi dipadukan dengan awan putih yang terlihat begitu halus.” Diah tiba-tiba menghela napas panjang. “Coba aku bawa kanvas... Setidaknya, buku sketsa deh…” lanjutnya.
Aku tertawa. Temanku yang satu itu memang seorang pelukis. Dengan mudah dia bisa terinspirasi benda-benda di sekitar. Biasanya, Diah selalu membawa buku sketsanya ke mana pun pergi. Aku juga tak tahu, kenapa dia bisa melupakan benda yang satu itu, yang katanya merupakan separuh jiwanya.
“Simpan dulu aja imajinasimu barusan. Nanti, baru dituangkan di rumah.”
Diah tersenyum seraya mengerling ke jam tangannya, “Sudah jam empat lewat nih, Kak Bayu di mana, ya?”
Belum sempat aku menjawab, sebuah tangan sudah menepuk pundakku. “Hai! Sudah lama nunggu, ya?” Kak Bayu tiba-tiba sudah berada di belakang kami. Mahasiswa arsitektur semester lima, yang suka ke Kota Tua, katanya untuk belajar dari keindahan bangunan-bangunan lama.
“Kak! Ke mana aja? Kami sudah nunggu lama di sini…” Diah, seperti biasa tetap bersemangat.
“Maaf, maaf… Tiba-tiba segerombolan remaja cewek menghampiriku, minta tanda tangan serta foto bareng. Padahal aku sudah pakai kacamata hitam ini, apa masih kurang?” Kak Bayu terlihat lelah, bisa kubayangkan. Kami malah tertawa.
Kak Bayu adalah seorang penyanyi dan pemusik. Dia mulai terkenal beberapa bulan lalu, ketika video dia bernyanyi sambil bermain gitar diunggahnya ke Youtube. Lagu yang dinyanyikan memang lagu yang dikenal anak muda sekarang, Sempurna oleh Andra and the Backbone. Cewek-cewek dibuatnya meleleh dengan suara dan gitarnya itu. Tambahan lagi wajahnya pun masuk kategori “ganteng”. Kak Bayu memang keturunan Belanda-Jawa.
Kami bertemu di Facebook. Aku, Diah, dan Kak Bayu tergabung dalam komunitas pecinta museum. Ketika diadakan pertemuan anggota, Diah baru menyadari, bahwa Kak Bayu yang sering chat dengannya, adalah Bayu yang “itu”. Kak Bayu tak pernah memasang fotonya sebagai profile picture. Selalu foto alam Indonesia. Diah  langsung melaksanakan sesi tanya-jawab dengan idolanya itu. Pembawaan Diah yang selalu segar dan bersemangat, membuat Kak Bayu yang pendiam jadi ikut bergabung denganku dan Diah. Sejak itu kami jadi dekat. Meski berstatus pacaran dengan Farid, teman sekelasnya, namun Diah beberapa kali mengungkapkan, dia tertarik juga dengan kak Bayu. Dasar Diah, selalu kelewat aktif.
“Dari sini, kalian ada rencana ke mana?” tanya Kak Bayu.
“Aku sih langsung pergi lagi, Kak. Nanti Ibu jemput. Kamu gimana, Kar?” Diah bertanya padaku.
“Gampang Di, aku bisa pulang naik bus kok.” Diah kadang terlalu khawatir kalau aku pulang malam, dan sendirian.
“Kamu, Kak? Nanti ada rencana pergi?” Diah kembali bertanya.
“Enggak ada, Di. Nanti aku yang anter kamu aja, gimana, Kar?” Kak Bayu bertanya padaku. Diah langsung senang.
“Iya, benar! Kamu pulang sama Kak Bayu aja, oke? Biar aman, biar aku tenang juga, ya?” aku jelas tak bisa berkata tidak, daripada Diah marah-marah.
“Memangnya kalian memberiku pilihan lain?” Diah dan Kak Bayu malah tertawa.
Satu jam selanjutnya kami habiskan untuk berkeliling Kota Tua dengan sepeda ontel. Berangkat dari Museum Wayang, menyeberang ke Museum Seni Rupa dan Keramik, melewati Stasiun Jakarta Kota, Museum Bank Mandiri, Museum BI, melintas Kali Besar, Jembatan Kota Intan, Toko Merah, ke utara ke arah Museum Bahari dan Pelabuhan Sunda Kelapa, balik ke Taman Fatahillah lewat Galangan Kapal VOC. Aku sampai hapal jalannya. Tapi, aku tetap suka. Andaikan Kali Besar dibersihkan, sungguh, tempat ini pasti akan semakin ramai. Yah, dengan bau kali yang kurang sedap ini saja, sudah ramai.
Tak lama setelah mengembalikan sepeda sewaan, Tante Ira, ibunya Diah, datang. Kami bercakap sebentar, lantas mereka pergi. Menjenguk kerabat yang sakit, cerita Tante Ira.
“Kita mau langsung pulang juga, Kar? Atau kamu mau jalan lagi?”
Kulirik jam, setengah enam. Lelah, tapi masih ingin di sini. Sebentar lagi lampu-lampu penghias pohon-pohon akan menyala. Sudah sering ku melihatnya, tapi tetap suka.
“Mau lihat lampu lagi?” ucap Kak Bayu tiba-tiba. Aku terkejut. “Aku sudah kenal denganmu cukup lama untuk mengetahui itu, Kar.” Dia tertawa.
“Pikiranku mudah dibaca, ya Kak?” Sungguh, ternyata bukan Diah saja.
Kak Bayu hanya tertawa. “Cari tempat duduk yuk. Kamu lapar?” tanyanya.
Aku menggeleng. “Belum, sepertinya.” Bunda selalu menyiapkan roti lapis dan snack untuk bekal jalan-jalan, sudah kuhabiskan bersama Diah tadi siang.
“Tapi dari tadi siang kamu belum makan, kan? Daripada sakit, Kar. Kalau sakit, liburan di rumah doang, loh…” paksanya.
Liburan di rumah sama sekali bukan ide bagus, apalagi untukku yang tak betah diam.
“Ya sudah, yuk!” ajakku. Kak Bayu segera tersenyum.
“Kamu itu, kalau gak dipaksa pasti gak bakal makan sampai besok deh…” Dia tertawa, mengusap kepalaku sebentar sambil berjalan mendahului.
Aku tertegun sebentar. Refleks, tangan kiriku bergerak memegang kepala. Kemudian tersenyum, dan segera mengejarnya.
“Mau makan apa? Ketoprak? Atau kwetiau?” tawarnya.
“Lagi mau kwetiau, nih, kayaknya…”
Kami masuk ke salah satu tenda makanan yang menjual nasi goreng, mie goreng, dan semacamnya. Kwetiau untukku, nasi goreng untuknya, dan es jeruk untuk kami berdua.
Kak Bayu menceritakan pengalamannya bermusik. Dari ayahnya dia belajar tentang kunci-kunci gitar, memainkan melodi yang indah. Dari ibunya dia belajar bernyanyi, cara mengatur napas agar dapat mencapai nada tinggi dengan baik. Dia bercerita, senangnya ketika berhasil memainkan satu lagu dengan gitar, berhasil mencapai nada tinggi pertamanya.
“Lalu, siapa yang punya ide untuk mengunggah video Kakak ke YouTube?” tanyaku.
“Teman-teman di kampus. Mereka yang semangat. Malah ada beberapa teman cewek yang bilang, kan biar punya temen artis gitu, kali aja suatu saat kamu terkenal,” ceritanya sambil menirukan suara perempuan.
Aku tertawa. “Yah, setidaknya kalau nanti kamu sudah benar-benar terkenal, aku punya banyak foto kamu, Kak, jadi gak usah repot-repot kayak cewek-cewek tadi, kan?”
“Wah iya, benar juga. Asal jangan publikasikan foto-fotoku yang jelek ya, bisa hancur citraku nanti…”
“Tadinya sih gak kepikiran… Tapi karena kamu ingatkan, yah, itu bisa jadi pertimbangan kalau kamu tiba-tiba jadi sombong, Kak… Hahaha…”
Setelah beberapa saat berbincang tentang aneka hal, aku teringat. “Kak, aku belum pernah lihat kamu nyanyi langsung, loh. Kapan-kapan, nyanyi untukku dan Diah, dong…”
Kak Bayu hanya tersenyum dan tiba-tiba berkata, “Sudah nyala lampunya tuh, Kar…”
Aku memandang ke luar tenda, tertegun beberapa saat. “Indah ya, Kak. Aku selalu suka melihatnya…” Tak ada jawaban. Aku menoleh, dan mendapati bangku kosong. Ke mana dia pergi? Masa iya, dia tega meninggalkanku di sini sendirian? Masih kebingungan, tiba-tiba ku dengar dia memanggil namaku.
Kak Bayu menghampiri sambil membawa gitar. “Katanya, kamu minta aku nyanyi, kan? Kebetulan ada gitar, nih…”
Aku tertegun, masih tak percaya dia mengabulkan permintaanku tadi. Kak Bayu mulai memainkan gitarnya, mendendangkan lagu yang membuatnya dikenal banyak orang.

Kau begitu sempurna
Di mataku kau begitu indah
Kau membuat diriku
Akan selalu memujamu

Di setiap langkahku
Ku kan selalu memikirkan dirimu
Tak bisa ku bayangkan 
Hidupku tanpa cintamu
(Sempurna – Andra and The Backbone)

Suaranya indah mengalun. Aku terdiam. Setelah dentingan terakhir dipetiknya, terdengar banyak tepuk tangan. Ternyata Kak Bayu sudah menarik banyak penonton. Dia tersenyum ke arahku, lantas menghampiri beberapa pengamen dan mengembalikan gitar itu.
“Bagaimana kamu bisa meminjam gitar itu?” aku benar-benar heran, sungguh. Ini orang apa tidak punya malu?
“Aku sewa dari pengamen-pengamen itu. Kan, kamu bilang mau dengar aku nyanyi langsung. Aku sudah kabulkan, senang kan?”
Aku terkejut. Senang, malu, bahagia. Aku tersenyum. “Kak, terima kasih. Sungguh. Baru kali ini, ada yang menyanyikan lagu khusus buatku. Kamu yang pertama, loh…”
“Iya? Wah, aku tersanjung, kalau begitu…” dia tertawa.
“Kak, kamu…tadi itu, apa gak malu? Dilihat banyak orang gitu…”
“Hey, aku ini pemusik, penyanyi, kalau pemalu, bagaimana bisa dikenal? Lagipula, kan kamu yang memintanya, Kar…”
Lagi-lagi aku dibuatnya terkejut. Aku terdiam, penuh rasa berkecamuk.
“Kar?” Kak Bayu melambaikan tangannya di depan wajahku. Aku tersadar. “Jangan melamun, sudah malam. Kamu udah capek?”
Aku rasanya sudah tak sanggup mengucap apapun. Jadi, aku mengangguk.
“Pulang yuk!” Kak Bayu beranjak dari kursinya. Ketika aku mengeluarkan dompet, dia malah menggeleng, dan segera membayar pesanan kami.
Kak Bayu membiarkanku berjalan duluan. Aku masih terkejut. Bahkan tak sanggup mengucap terima kasih. Kenapa tiba-tiba ada rasa yang berbeda? Seharusnya tidak. Kak Bayu memang ganteng, bersuara indah, trampil bermain gitar. Tapi, selama ini biasa saja.
“Kar, awas!” Kak Bayu menarik lenganku. Hampir aku tertabrak sepeda. Rombongan sepeda ontel itu tak terlalu peduli, lewat di sisiku. Tiba-tiba, aroma wangi yang tertanam di memoriku, semerbak memenuhi udara sore. Walau hanya tampak punggungnya di atas sepeda ontel, tapi serasa ku kenal betul pemilik aroma wangi ini. Museum BI, setahun lalu.
“Mikirin apa sih? Sampai gak sadar jalan gitu. Bahaya tau.” Kak Bayu sedikit marah.
Aku berusaha menyadarkan diri. “Maaf, benar-benar gak tau kenapa … Maaf, Kak…”
Dia menghela napas. “Yang penting kamu baik-baik aja sekarang.”
Kak Bayu berjalan mendahului, membukakan pintu mobil untukku. Aku hanya bisa tersenyum. Selama perjalanan pulang, kami tak banyak bicara. Suara gitar dan nyanyian Kak Bayu, serta aroma wangi pemuda di Museum BI setahun lalu, seakan memenuhi ruang mobil.
Sampai di rumahku, setelah berpamitan dengan kedua orang-tuaku, ia segera kembali ke mobilnya. Kami di teras depan, ketika dia bertanya, “Besok, kamu ada rencana gak, Kar?”
Aku berpikir sebentar, dan segera menggeleng. “Belum, Kak. Ada apa?”
“Main ke Dufan, yuk!”
“Bukannya udah pernah ke sana ya, Kak? Lagian pasti rame deh besok…”
“Iya sih, tapi kan tetap seru. Makanya, kita pergi dari pagi, gimana?”
“Boleh aja sih…” Entah kenapa aku mengiakan, padahal untukku Dufan cukup menakutkan. “Diah boleh ikut?” tiba-tiba teringat temanku yang satu itu, dan aku juga merasa, pasti akan canggung kalau hanya berdua.
Kak Bayu terdiam sebentar, lalu, “Boleh, ajak aja. Kamu telpon aja sekarang.”
Aku segera menekan tombol ponsel. Tak lama, suara Diah terdengar di ujung sana.
“Di? Besok kamu ada rencana pergi gak? …. Ooh, gitu ya? Sampai malam? Oh, ya sudah …. Iya, diajakin Kak Bayu ke Dufan …. Hahaha, ya sudah, …. jangan sedih gitu, lain kali ikut yaa. Oke, daaah.” Aku pun memutus sambungan.
“Diah mau ke mana?” tanya Kak Bayu.
“Ada acara keluarga, di Bogor. Dia kesel banget kayaknya, gak bisa ikut besok. Hahaha,” aku teringat Diah yang tiba-tiba histeris ketika kuberitahu rencana besok.
“Aku bisa membayangkan itu.” Kak Bayu tertawa. “Ya sudah, besok tetap jadi, kan?” Aku mengangguk. “Aku jemput sekitar jam tujuh ya.” Lagi-lagi aku mengangguk.
“Langsung tidur ya, biar besok gak capek. Selamat malam, Kar.” Kak Bayu pamit.
“Iya, Kak. Selamat malam juga.” Aku tersenyum dan membukakan pagar untuknya.
Setelah mandi, tubuhku terasa segar, tapi hatiku masih pepat. Makan malam berlauk cumi goreng tepung kesukaanku, tapi lidah tak bisa menikmatinya. Untung perhatian Ayah-Bunda tersita oleh cerita adikku tentang pertandingan pencak-silatnya tadi siang. Beralasan lelah, aku minta ijin tidur lebih dulu. Ternyata sendiri di kamar tidur pun tak membantu. Dinding-dinding kamar memantulkan suara Kak Bayu bernyanyi sambil bermain gitar, dari kisi-kisi jendela, angin mengalirkan semerbak arowa wangi si pemuda Museum BI, entah siapa namanya? Sementara di langit-langit, wajah Diah yang tersenyum riang membuatku semakin sulit tidur. Namun akhirnya, tubuh lelahku tak kuasa menahan berat mata.

Selanjutnya: Bagian 2

No comments:

Post a Comment