Sunday, March 3, 2013

Selintas Sejarah Secercah Asmara - Bagian Akhir



Aku terbangun karena dering nyaring ponselku. Susah payah aku bergerak meraihnya, dan melihat nama ‘Diah’ tertera di layar.
“Lari pagi yuk, Kar!!” ujar Diah semangat di seberang.
“Di… ini baru jam lima lewat sedikit loh. Aku masih ngantuk…” aku menguap, dan memejamkan mata lagi.
“Ayolah, Kar! Masa liburan malah malas-malasan gitu. Nanti Kak Bayu keburu diambil orang, loh…”
“Diiii, kenapa Kak Bayu terus sih???” aku langsung terjaga.
“Hahaha, aku kenal kamu, Kartika. Aku tahu kok kalian makin dekat sekarang. Lagipula, kalau kalian pacaran juga gak ada ruginya, kan?”
Aku merutuk. Anak itu … Dia cenayang, sepertinya.
“Sudah, ayo cepat bangun! Sebentar lagi aku dan Kak Bayu menjemputmu. Dandan yang cantik yaa, hahaha. Daah!” sambungan diputus.
Diah benar-benar deh…
Tapi, aku mengakuinya juga. Sepertinya memang cukup terlihat dari gerak-gerik kami. Aku segera saja membasuh muka dan gosok gigi. Kemudian sedikit menyiram badan agar segar. Tidak perlu mandi, toh sebentar lagi juga lari, keringatan.
Aku membuka lemari dan mendapati kaos yang kubeli samaan dengan Kak Bayu di Dufan kemarin. Setelah menimbang cukup lama, aku segera memakainya.
“Cieee, kalian kompakan gitu deh! Jodoh banget!” reaksi histeris dari Diah adalah yang pertama kali kudengar ketika dia dan Kak Bayu memasuki ruang makan.
Aku dan Kak Bayu hanya tertawa. Kami mengenakan kaos yang sama. Masing-masing pasti tidak menduga akan seperti ini. Bagaimana pun aku tetap merasa senang. Ketika melihat ke arah Kak Bayu, dia hanya tersenyum. Dan ketika mata kami bertemu, aku segera mengalihkan pandangan. Namun dari sudut mata aku bisa melihatnya tersenyum kepadaku.
Setelah sarapan dan berpamitan, kami segera berangkat menuju Gelora Bung Karno di Senayan. Jam masih menunjukkan pukul enam pagi ketika kami mulai berlari. Banyak juga orang yang ikut berlari pagi itu. Tidak heran, memang masa liburan anak sekolah.
Kami mulai berlari mengelilingi stadion bola. Baru dua putaran, Diah sudah menyerah. Kekenyangan, katanya. Dia memutuskan istirahat duluan, sambil duduk di pinggir. Aku dan Kak Bayu melanjutkan berlari, menambah dua putaran. Ketika sudah sama-sama lelah, kami beristirahat menemani Diah.
Ketika sedang membeli minuman, kulihat Kak Bayu berjalan ke arah parkiran mobil.
“Dia gak mungkin ninggalin kita, kan?” tanyaku ke Diah.
Diah tertawa. “Ya enggaklah, Kartika. Aneh-aneh aja pikiranmu. Paling dia ngambil barang ketinggalan di mobil.” Aku mengangguk-angguk setuju.
Tak lama kemudian Kak Bayu kembali membawa gitarnya. Diah memekik kesenangan, sedangkan aku hanya syok.
“Kak Bayu mau ngapain, Di…” Diah malah menyuruhku untuk diam, kemudian dia menghampiri Kak Bayu, mereka ngobrol sebentar, dan mereka menghampiriku.
“Kak, kamu mau ngapain bawa gitar gitu?”
“Dengerin dulu aja ya, Kar. Ini lagu buat kamu.”
Kak Bayu kemudian mulai memetik gitarnya. Terdengar nada indah yang mengalun. Sebuah lagu yang sepertinya kukenal.

Berjuta rasa rasa yang tak mampu diungkapkan kata-kata
Dengan beribu cara cara kau slalu membuat ku bahagia
Kau adalah alasan dan jawaban atas semua pertanyaan
Yang benar-benar ku inginkan hanyalah
Kau untuk slalu di sini ada untukku

Maukah kau ‘tuk menjadi pilihanku
Menjadi yang terakhir dalam hidupku
Maukah kau tuk menjadi yang pertama
Yang slalu ada di saat pagi ku membuka mata
Oh, izinkan aku memilikimu, mengasihimu
Menjagamu, menyayangimu
Memberi cinta, memberi semua yang engkau inginkan
Selama aku mampu aku akan berusaha
Mewujudkan semua impian dan harapan
‘tuk menjadi kenyataan
(Pilihanku - Maliq & D’essentials)

Seperti sebelumnya, dia menarik banyak penonton di sekitar. Aku masih terkejut, dan juga bahagia. Untukku, katanya? Ya Tuhan…
“Kartika Aurora, maukah kamu jadi kekasihku?”
Aku bingung. Sungguh. Rasanya selama setahun kemarin aku masih memikirkan Radit, namun tiba-tiba Kak Bayu menyatakan perasaannya. Aku memang mulai bisa merasakannya. Sikapnya kepadaku, selalu berbeda dari yang ditunjukkannya untuk Diah. Selalu lebih manis.
Aku menengok ke arah Diah, dia tersenyum seraya menganggukan kepala. Aku bisa melihat wajah Kak Bayu yang terlihat cemas, menunggu jawabanku. Aku menarik napas dalam-dalam, dan mengangguk yakin. Kak Bayu terlihat lega dan senang. Dia tersenyum, dan meraihku dalam pelukannya. Banyak orang bersorak senang, Diah juga.
“Kamu membuatku cemas, Kar…” bisiknya.
“Salahmu. Kamu yang membuatku malu, Kak,” balasku.
“Tapi senangkan?” Kak Bayu melepas pelukannya. Aku mengangguk. “Oh iya, jangan panggil ‘Kak’ lagi…” aku tertawa.
Diah menghampiriku, memelukku erat. “Maaf ya Di…” bisikku.
“Gak apa, aku kan punya Farid,” bisik Diah di telingaku, suaranya agak bergetar.
Selama ini kami memang selalu bisa saling memahami. Tapi, sering kudengar cerita, kehadiran seorang lelaki yang menghancurkan persahabatan dua orang perempuan. Ah… pikiranku kembali terlalu jauh pergi.
Diah beranjak dan gantian memeluk Kak… mm... Bayu maksudku.
Tiba-tiba hatiku terasa lapang. Ini sungguh membahagiakan.
Tiba-tiba juga, ada aroma wangi tertentu yang menyentuh hidungku, mengalir bersama angin pagi. Entah kenapa, sosok Radit tiba-tiba muncul begitu saja di kepalaku.
 “Sejarah tak pernah berjalan lurus, selalu ada liku-liku. Itu yang membuatnya menarik,” ucapan Radit terngiang di telingaku.
Ah… kenapa bahagia masih juga disertai galau.

2 comments:

  1. KEREN LOK!bikin degdegan bgt,tp penasaran bgt sm si radit.kisah nyata ya?haha

    ReplyDelete
    Replies
    1. terima kasih, nes :) haha insya Allah kalo sempet pengen bikin lanjutannya sih...liat nanti aja ya ;) kisah nyata atau bukan itu rahasia ;)

      Delete