Saturday, March 30, 2013

Lima Huruf


Jam dinding berbentuk kepala Hello Kitty dikamar Neyza sudah menunjukkan pukul 8 malam. Hari ini dia berhasil menghindari Aji ketika jam istirahat maupun pulang sekolah. Mengingat kemarin dia nggak datang ke tempat janjian mereka (lagi), membuat dada Neyza sesak. Sudah beberapa kali Aji batal datang ketika mereka janjian.
“Masa dia tidak tahu sudah menyakitiku sampai begini? Harusnya dia mengerti. Kitakan sudah berpacaran hampir empat bulan, tidakkah itu cukup? Dan dia nggak baru mengenalku. Kami teman sejak SMP, lumayan dekat, malah. Masa dia nggak cukup mengenalku. Apa mau... putus?” Neyza menggelengkan kepalanya.
Kenapa lima huruf itu bisa melintas di pikirannya? Karena Neyza capek. Dia capek menjadi pihak yang terus mengalah dan yang harus mengerti. Kapan giliran Aji yang mengalah dan Neyza yang dimengerti?
Apa aku harus memberinya kesempatan lain?” Tapi, ini bukan pertama kalinya dia lupa datang pada hari janjian kami. Sebelumnya lebih parah. Aji malah main PS di rumah Diaz ketika seharusnya mereka merayakan hari jadi tiga bulan. Neyza kesal bukan main dan mendiamkan Aji selama seminggu saat itu. Dan, itu baru terjadi dua minggu yang lalu. Bagaimana dia bisa mengulangi kesalahan yang sama dalam waktu dekat?
Neyza terlalu capek untuk memikirkan segala kemungkinan. Dia punya terlalu banyak pertanyaan untuk Aji. Tidak akan muat 1000 karakter yang disediakan ponselnya untuk SMS. Pulsanya yang tersedia saat ini juga tidak cukup untuk menelpon Aji. Ngomong-ngomong, kemana cowok itu? Kenapa dia tidak SMS atau menelponnya? Neyza kangen, tapi terlalu gengsi untuk menghubungi duluan. Apalagi dia sedang kesal. Neyza menggelengkan kepalanya. Capek berdebat dengan pikirannya sendiri. Dia ngantuk. Satu hal pasti, Neyza tidak mau putus sama Aji.
***
Mereka sekarang berada di teras rumah Neyza. Aji berhasil memaksa Neyza untuk diantarkan pulang olehnya. Dan sekarang, Aji masih memohon maaf darinya, padahal Neyza sudah capek mendengar semua kata-kata Aji.
Neyza menghela napas panjang. “Kenapa, Ney? Kamu capek?” tanyanya menatap khawatir ke arah Neyza. Neyza menggeleng.
Aji menyesal. Dia tahu itu. Dia telah membuat Neyza sakit hati (lagi). Sebelumnya juga pernah begini, bahkan lebih parah. Aji capek, Neyza apa lagi. Tapi Aji tahu, ini semua salahnya. Dia selalu menjadi pihak yang bersalah. Aji sayang sama Neyza, tidak perlu dipertanyakan. Kenapa begitu susah rasanya untuk mengingatkan dirinya setiap mereka ingin jalan.
“Jangan diulang lagi yaa, Ji. Aku capek.” Neyza menghela napas. Terasa sesak didada Aji melihat Neyza begitu tersakiti.
Dia tersenyum lemah, menatap gadis di depannya itu. “Aku nggak akan ngulang lagi, Ney. Janji. Nggak akan…”
“Jangan! Jangan bikin janji kalau kamu gak bisa nepatinnya, Ji. Aku capek dikasih janji terus sama kamu. Kalau udah begitu, aku lagi kan, yang mengalah? Aku lagi kan, yang harus mengerti kamu? Kapan giliran kamu yang mengalah dan aku yang dimengerti, Ji?” Neyza segera menghapus air matanya yang mengalir.
Aji terperangah. Harusnya dia menyadari itu.
“Apa begitu susah untuk kamu, ngertiin aku? Kenapa kamu nggak sadar? Aku sayang, Ji, sama kamu. Aku nggak mau kayak gini ke kamu. Tapi, aku juga harus mikirin perasaan aku, kan? Aku nggak pernah minta banyak, Ji, dari kamu. Aku nggak pernah minta beliin barang mahal. Aku gak pernah minta kamu selalu SMS atau telepon aku. Aku gak pernah maksa kamu untuk dateng ke rumah aku setiap malam minggu. Tapi, semua itu kamu lakuin kan? Kamu beliin aku boneka yang harganya ratusan, padahal aku gak minta itu, Ji. Oke, aku memang seneng kamu baik sama aku. Tapi, giliran aku minta satu hal aja sama kamu, kenapa susah dilakuin, Ji?”
“Kamu minta apa, Ney?” tanya Aji, suaranya serak. Susah payah dia menahan nangis di depan Neyza. Ingin rasanya dia berteriak, atau memukul sesuatu untuk menenangkan hatinya.
“Aku minta kamu nepatin janji kamu.” Aji melengos. Dia tak menatap mata Neyza sekarang. Neyza benar-benar memukul kelemahannya.
Aji tahu benar dia sudah sering mengecewakan Neyza, bahkan sudah pernah sebelum cewek itu menjadi pacarnya. Tapi Aji nggak pernah menyangka ternyata Neyza begitu tersakiti. Kalau Aji melupakan janji dengan teman-temannya… Aji tersentak. Neyza bukan temannya. Dia pacarnya. Harusnya dia lebih memahami Neyza. Neyza nggak bisa disamakan dengan teman-temannya. Aji menatap Neyza. Mungkin dia memang nggak akan bisa memahami Neyza. Kalau memaksakan, Neyza akan lebih tersakiti.
“Mungkin… sebaiknya kita putus aja, Ney. Aku nggak mau bikin kamu tambah sakit hati. Mungkin, aku memang nggak bisa mengerti kamu. Kayaknya, lebih baik kita putus.”
Neyza tersentak. Harusnya nggak kayak gini, Ji… Tapi suaranya tidak bisa keluar. Lelah, Neyza memutuskan mengangguk.
Dengan berat hati Aji bangun. Berjalan ke arah Neyza, yang sedari tadi berdiri di dekat pilar. Dia memeluk Neyza, untuk terakhir kali. Dan mencium kening cewek yang disayanginya itu. Aji berjalan menjauh, nggak mungkin dia nangis di depan Neyza. Mungkin ini memang yang terbaik. Neyza pasti bisa lebih bahagia, pikirnya.
Aji tidak tahu, Neyza menangis dibelakangnya. Hatinya teriak meminta Aji kembali. Tapi, suaranya tidak bisa keluar. Neyza menangis, Aji juga. Sakit hati mendera keduanya. Lima huruf itu akhirnya terucap.

No comments:

Post a Comment