“Selamat
pagi, Kartika! Ayo bangun!”
Aku
mengerjap, berusaha membuka mata. Diah duduk di ujung tempat tidurku.
“Ayo
bangun! Hari ini kita mau ke Museum Nasional! Jadi, ayo bangun!”
“Hah?
Aku capek, Di…!”
“Gak
boleh gitu. Sekarang sudah hampir jam sembilan, Kar! Kak Bayu aja udah ada di
bawah tuh.” Mendengar nama itu, aku tersadar sepenuhnya.
“Kak
Bayu….ada di bawah? Di bawah? Di rumahku?”
Diah
hanya tersenyum dan beranjak ke luar kamar. “Buruan mandi…” serunya.
Dua
puluh menit kemudian aku sudah di meja makan, bersama Diah dan Kak Bayu.
“Tumben
cepet, Kar. Biasanya mandi sejam,” Diah menyindir. Aku hanya tersenyum.
Seperti
biasa ketika liburan, sarapan pagi itu gorengan dan teh manis hangat. Aku
paling suka tahu isi. Diah dan Kak Bayu lahap juga menghabiskan singkong dan tempe
goreng yang tersisa. Gorengan habis, kami berangkat.
Melintas
gerbang Museum Nasional, aku menengok ke taman depan, memandang ke patung gajah
kecil di atas menara batu. Kebiasaanku. Mengecek, masih adakah patung gajah di
tempatnya. Museum ini biasa disebut juga Museum Gajah, karena adanya patung
gajah kecil itu, hadiah dari Raja Thailand tahun 1871. Ini memang museum
pertama, dan yang terbesar, di Asia Tenggara. Koleksinya termasuk lengkap. Dari
jaman prasejarah sampai jaman kolonial. Banyak barang etnografi, benda-benda bukti
budaya dari Sabang sampai Merauke. Lebih dari sepadan dibanding harga tiketnya
yang cuma lima ribu rupiah.
Masuk
ke museum, aku segera ke bagian etnografi, berpisah dari Diah dan Kak Bayu yang
lebih suka ke gedung baru. Menurut mereka, penataan pameran di sana lebih
bercerita. Di gedung baru itu, aku paling suka lantai dasarnya. Bercerita
tentang manusia di Indonesia, dari yang purba sampai yang sekarang. Ada
panel-panel kaca besar-besar yang menceritakan sejarah manusia, dengan
ilustrasi gambar yang menarik. Diah juga sangat suka gambar-gambar itu,
sedangkan Kak Bayu lebih senang membahas cara penataannya. Aku tak terlalu
peduli, gimana cara menatanya, asalkan ceritanya menarik. Atau bendanya memang
unik.
Di
museum ini, kesukaanku adalah peta etnografi besar. Di sebelahnya, ada juga
peta Bahasa-bahasa Daerah di Indonesia, yang tak kalah besar. Aku selalu kagum,
mengetahui ada begitu banyak bahasa daerah di Indonesia, dan aku bisa melihat
seluruhnya dalam sebuah peta besar. Oh, betapa mudahnya mendapatkan informasi
sejarah di sini, di museum. Ada puluhan museum di Jakarta, belum semuanya bisa
kukunjungi. Museum adalah salah satu alasanku cinta kota Jakarta. Dan aku
sangat bangga karena bisa tinggal di Ibu Kota Negara.
“Besar
sekali, ya?” sebuah suara mengagetkanku. Aku menoleh, dan terkejut.
Seorang
pemuda sebaya berdiri di sebelahku, ikut melihat peta-peta di hadapan kami. Aku
mengenalnya. Suaranya, yang aku ingat dengan baik, dan wanginya yang khas, yang
tidak pernah kulupakan. Museum BI, setahun lalu.
Dia
menoleh, menatapku, dan terlihat berpikir. “Apakah kita pernah bertemu?”
Aku
terkejut. Tak sanggup berkata-kata. Apakah dia mengingatku? Mungkinkah?
Tanpa
menunggu jawabanku, dia menjentikkan jari sambil tertawa. “Ah! Benar juga! Kita
pernah bertemu, kan? Tahun lalu? Acara di Museum Bank Indonesia. Kau ingat?”
Bagaimana
mungkin aku lupa. Aku hanya tak bisa berkata. Berusaha mengendalikan diri,
akhirnya aku tersenyum, dan mengangguk.
“Iya,
benar. Kamu masih ingat ternyata.” Aku benar-benar tak dapat menyembunyikan
rasa senangku. Mukaku pasti sudah merah saat ini.
“Tentu
saja! Kita berbincang cukup lama saat itu, dan kamu jelas memiliki banyak
pengetahuan yang menarik. Pecinta sejarah, kah?”
“Tentu,
sejarah selalu menarik.” Dia tersenyum dan mengangguk setuju.
“Ah,
sebelum kelupaan lagi…” dia mengulurkan tangannya. “Radit.”
Aku
menatap uluran tangannya sebentar, sebelum menyambutnya, “Kartika.”
Setelah
itu, kami berbincang cukup lama. Radit ternyata menyenangkan. Dan kami menyukai
banyak bidang yang sama. Radit mahasiswa Antropologi semester ketiga. Lebih
muda dari kak Bayu, pikiranku tiba-tiba saja membandingkan keduanya.
Perbincangan
itu menarik, tapi aku banyak tergagap karena sibuk mengamati lawan bicaraku.
Kulit sawo matang, rambut agak panjang, alis hitam tebal. Matanya agak sipit,
tapi tatapannya jernih. Hidung tidak terlalu mancung, tapi dagunya tampak
kokoh. Bibir tipisnya berhias kumis yang tak terlalu tebal, dengan janggut yang
tampak samar. Agaknya beberapa senti lebih tinggi dari Kak Bayu, tapi lebih
langsing. Wanginya, ….weh, weh weh….
Aku
berusaha konsentrasi pada pembicaraan. Di Museum Bank Indonesia tahun lalu,
rupanya Radit jadi salah satu panitia Museum
Day, bersama teman-teman sekampusnya. Inetrnational
Museum Day, diperingati setiap tanggal 18 Mei. Saat itu seluruh museum di
seluruh dunia, serentak menggelar berbagai acara, dengan mengusung tema yang
sama. Aku datang ke acara itu bersama teman-teman komunitas pecinta museum.
Saat
ini Radit dan teman-temannya sedang membantu Museum Nasional, mendata ulang
koleksi mereka. Wah senangnya, bisa kerja di museum. Tiap hari bergumul dengan
sejarah dan budaya. Bertemu sejarah panjang bukti-bukti kehidupan manusia di
bumi. Mengungkap cerita di balik setiap benda.
Aku
tidak tahu sudah berapa lama kami berbincang, namun tiba-tiba segerombolan anak
lelaki memanggil Radit. Tak hanya lelaki, ada juga yang perempuan.
“Maaf,
aku harus tinggalkan kamu nih,” ujar Radit sambil tersenyum. “Jam istirahatku
sudah habis. Kamu sangat menyenangkan, Kartika, semoga kita bisa ngobrol lebih
banyak lagi nanti. Sampai jumpa lagi,” masih tersenyum, dan melambai sambil berjalan
menuju teman-temannya. Adakah di antara cewek-cewek itu, pacar Radit? Ah, apa
urusanku, kalaupun Radit berpacaran dengan salah satu teman kuliahnya. Mereka
menjauh, sementara wangi tubuh Radit masih semerbak di udara ruang etnografi.
“Sampai jumpa
lagi” apa itu artinya kami akan berjumpa
lagi? Semoga. Ya Tuhan, aku benar-benar senang, akhirnya bisa bertemu dengan
orang itu lagi.
“Ngapain
kamu senyum-senyum sendiri, gitu?” Diah tiba-tiba sudah berada di sebelahku, diikuti
Kak Bayu.
“DIIIII!!”
aku segera memeluknya. “Aku ketemu sama dia lagi.” Aku memekik kesenangan.
“Dia?
Dia siapa?” Diah tidak mengerti. Namun, ketika tak kunjung mendapat jawaban
dariku, dia menyimpulkan sendiri. “Serius kamu, Kar? Serius?!” Diah malah ikut-ikutan
tertawa senang.
“Namanya
Radit,” kataku ketika kami berdua sudah mulai tenang. “Emang kamu gak bisa
membaui wanginya?” tanyaku, “masih terasa koq…”
Diah
membulatkan mulutnya, “Cuma kamu yang bisa membaui wangi itu. Jangan-jangan
dia… “ Diah tak melanjutkan bicara, memilih menungguku melanjutkan cerita.
“Kalian
ngomongin siapa, sih?” Kami melupakan kehadiran Kak Bayu. Dia jelas tidak
tahu-menahu soal ini sama sekali.
“Sstt!”
Diah meletakkan telunjuknya di bibir, menyuruh Kak Bayu diam agar aku tetap
melanjutkan ceritaku. Kuceritakan kejadian yang baru kualami, ditambahi sedikit
cerita mengenai kejadian setahun yang lalu, agar Kak Bayu bisa mengerti.
Sore
itu, setelah merasa cukup di Museum Gajah, kami mengunjungi Monas. Sekadar
duduk-duduk di tamannya, karena untuk masuk dan naik ke puncak, antrian panjang
sekali.
Hampir
pukul empat, kami mulai kelaparan, sementara bekal makanan sudah habis. Kak
Bayu mengajak makan di dekat Sarinah, di sana banyak warung tenda yang tak
terlalu mahal, meski sore begini pilihan semakin sedikit. Kami memasuki warung
soto ayam, dan mulai menikmati hangatnya kuah soto di tenggorokan. Sambil makan
aku dan Kak Bayu membahas gedung Sarinah yang cukup bersejarah. Sementara Diah
berusaha mengalihkan pembicaraan ke masalah kuliner. Tentang aneka soto di
Nusantara.
Menjelang
magrib kami sudah di jalan pulang. Pertama kali mengantar Diah, karena rumahnya
berada di bagian depan kompleks perumahan kami. Kemudian ke rumahku, yang
berada agak di bagian belakang. Rumah Kak Bayu tak jauh dari kompleks perumahan
ini.
Saat
di rumahku, Kak Bayu tiba-tiba bertanya, “Cowok tadi, Radit itu, kamu sudah
lama suka sama dia?”
Aku
tertawa. “Kayaknya bukan suka sih, Kak. Mungkin awalnya iya, tapi setelah
ketemu lagi tadi, aku malah merasa lega. Mungkin selama ini cuma penasaran
kali, ya…”
Kak
Bayu mengangguk-angguk. “Ada apa sih, Kak?” Namun dia hanya menggeleng.
“Berarti
sekarang kamu lagi gak suka sama siapa-siapa dong?” tanyanya lagi.
“Kayaknya
sih begitu, deh. Ada apa sih, Kak? Bener deh.” Dia menggeleng lagi.
“Sudah
ya, Kar. Aku pulang dulu, kamu istirahat yang cukup ya. Selamat malam, Kartika.”
Kak Bayu mengelus kepalaku lagi, sebelum berjalan menuju mobilnya, dan
menghilang di remang senja.
Selanjutnya: Bagian Akhir
Selanjutnya: Bagian Akhir
No comments:
Post a Comment