Sunday, March 3, 2013

Selintas Sejarah Secercah Asmara - Bagian 3



“Selamat pagi, Kartika! Ayo bangun!”
Aku mengerjap, berusaha membuka mata. Diah duduk di ujung tempat tidurku.
“Ayo bangun! Hari ini kita mau ke Museum Nasional! Jadi, ayo bangun!”
“Hah? Aku capek, Di…!”
“Gak boleh gitu. Sekarang sudah hampir jam sembilan, Kar! Kak Bayu aja udah ada di bawah tuh.” Mendengar nama itu, aku tersadar sepenuhnya.
“Kak Bayu….ada di bawah? Di bawah? Di rumahku?”
Diah hanya tersenyum dan beranjak ke luar kamar. “Buruan mandi…” serunya.
Dua puluh menit kemudian aku sudah di meja makan, bersama Diah dan Kak Bayu.
“Tumben cepet, Kar. Biasanya mandi sejam,” Diah menyindir. Aku hanya tersenyum.
Seperti biasa ketika liburan, sarapan pagi itu gorengan dan teh manis hangat. Aku paling suka tahu isi. Diah dan Kak Bayu lahap juga menghabiskan singkong dan tempe goreng yang tersisa. Gorengan habis, kami berangkat.
Melintas gerbang Museum Nasional, aku menengok ke taman depan, memandang ke patung gajah kecil di atas menara batu. Kebiasaanku. Mengecek, masih adakah patung gajah di tempatnya. Museum ini biasa disebut juga Museum Gajah, karena adanya patung gajah kecil itu, hadiah dari Raja Thailand tahun 1871. Ini memang museum pertama, dan yang terbesar, di Asia Tenggara. Koleksinya termasuk lengkap. Dari jaman prasejarah sampai jaman kolonial. Banyak barang etnografi, benda-benda bukti budaya dari Sabang sampai Merauke. Lebih dari sepadan dibanding harga tiketnya yang cuma lima ribu rupiah.
Masuk ke museum, aku segera ke bagian etnografi, berpisah dari Diah dan Kak Bayu yang lebih suka ke gedung baru. Menurut mereka, penataan pameran di sana lebih bercerita. Di gedung baru itu, aku paling suka lantai dasarnya. Bercerita tentang manusia di Indonesia, dari yang purba sampai yang sekarang. Ada panel-panel kaca besar-besar yang menceritakan sejarah manusia, dengan ilustrasi gambar yang menarik. Diah juga sangat suka gambar-gambar itu, sedangkan Kak Bayu lebih senang membahas cara penataannya. Aku tak terlalu peduli, gimana cara menatanya, asalkan ceritanya menarik. Atau bendanya memang unik.
Di museum ini, kesukaanku adalah peta etnografi besar. Di sebelahnya, ada juga peta Bahasa-bahasa Daerah di Indonesia, yang tak kalah besar. Aku selalu kagum, mengetahui ada begitu banyak bahasa daerah di Indonesia, dan aku bisa melihat seluruhnya dalam sebuah peta besar. Oh, betapa mudahnya mendapatkan informasi sejarah di sini, di museum. Ada puluhan museum di Jakarta, belum semuanya bisa kukunjungi. Museum adalah salah satu alasanku cinta kota Jakarta. Dan aku sangat bangga karena bisa tinggal di Ibu Kota Negara.
“Besar sekali, ya?” sebuah suara mengagetkanku. Aku menoleh, dan terkejut.
Seorang pemuda sebaya berdiri di sebelahku, ikut melihat peta-peta di hadapan kami. Aku mengenalnya. Suaranya, yang aku ingat dengan baik, dan wanginya yang khas, yang tidak pernah kulupakan. Museum BI, setahun lalu.
Dia menoleh, menatapku, dan terlihat berpikir. “Apakah kita pernah bertemu?”
Aku terkejut. Tak sanggup berkata-kata. Apakah dia mengingatku? Mungkinkah?
Tanpa menunggu jawabanku, dia menjentikkan jari sambil tertawa. “Ah! Benar juga! Kita pernah bertemu, kan? Tahun lalu? Acara di Museum Bank Indonesia. Kau ingat?”
Bagaimana mungkin aku lupa. Aku hanya tak bisa berkata. Berusaha mengendalikan diri, akhirnya aku tersenyum, dan mengangguk.
“Iya, benar. Kamu masih ingat ternyata.” Aku benar-benar tak dapat menyembunyikan rasa senangku. Mukaku pasti sudah merah saat ini.
“Tentu saja! Kita berbincang cukup lama saat itu, dan kamu jelas memiliki banyak pengetahuan yang menarik. Pecinta sejarah, kah?”
“Tentu, sejarah selalu menarik.” Dia tersenyum dan mengangguk setuju.
“Ah, sebelum kelupaan lagi…” dia mengulurkan tangannya. “Radit.”
Aku menatap uluran tangannya sebentar, sebelum menyambutnya, “Kartika.”
Setelah itu, kami berbincang cukup lama. Radit ternyata menyenangkan. Dan kami menyukai banyak bidang yang sama. Radit mahasiswa Antropologi semester ketiga. Lebih muda dari kak Bayu, pikiranku tiba-tiba saja membandingkan keduanya.
Perbincangan itu menarik, tapi aku banyak tergagap karena sibuk mengamati lawan bicaraku. Kulit sawo matang, rambut agak panjang, alis hitam tebal. Matanya agak sipit, tapi tatapannya jernih. Hidung tidak terlalu mancung, tapi dagunya tampak kokoh. Bibir tipisnya berhias kumis yang tak terlalu tebal, dengan janggut yang tampak samar. Agaknya beberapa senti lebih tinggi dari Kak Bayu, tapi lebih langsing. Wanginya, ….weh, weh weh….
Aku berusaha konsentrasi pada pembicaraan. Di Museum Bank Indonesia tahun lalu, rupanya Radit jadi salah satu panitia Museum Day, bersama teman-teman sekampusnya. Inetrnational Museum Day, diperingati setiap tanggal 18 Mei. Saat itu seluruh museum di seluruh dunia, serentak menggelar berbagai acara, dengan mengusung tema yang sama. Aku datang ke acara itu bersama teman-teman komunitas pecinta museum.
Saat ini Radit dan teman-temannya sedang membantu Museum Nasional, mendata ulang koleksi mereka. Wah senangnya, bisa kerja di museum. Tiap hari bergumul dengan sejarah dan budaya. Bertemu sejarah panjang bukti-bukti kehidupan manusia di bumi. Mengungkap cerita di balik setiap benda.
Aku tidak tahu sudah berapa lama kami berbincang, namun tiba-tiba segerombolan anak lelaki memanggil Radit. Tak hanya lelaki, ada juga yang perempuan.
“Maaf, aku harus tinggalkan kamu nih,” ujar Radit sambil tersenyum. “Jam istirahatku sudah habis. Kamu sangat menyenangkan, Kartika, semoga kita bisa ngobrol lebih banyak lagi nanti. Sampai jumpa lagi,” masih tersenyum, dan melambai sambil berjalan menuju teman-temannya. Adakah di antara cewek-cewek itu, pacar Radit? Ah, apa urusanku, kalaupun Radit berpacaran dengan salah satu teman kuliahnya. Mereka menjauh, sementara wangi tubuh Radit masih semerbak di udara ruang etnografi.
“Sampai jumpa lagi” apa itu artinya kami akan berjumpa lagi? Semoga. Ya Tuhan, aku benar-benar senang, akhirnya bisa bertemu dengan orang itu lagi.
“Ngapain kamu senyum-senyum sendiri, gitu?” Diah tiba-tiba sudah berada di sebelahku, diikuti Kak Bayu.
“DIIIII!!” aku segera memeluknya. “Aku ketemu sama dia lagi.” Aku memekik kesenangan.
“Dia? Dia siapa?” Diah tidak mengerti. Namun, ketika tak kunjung mendapat jawaban dariku, dia menyimpulkan sendiri. “Serius kamu, Kar? Serius?!” Diah malah ikut-ikutan tertawa senang.
“Namanya Radit,” kataku ketika kami berdua sudah mulai tenang. “Emang kamu gak bisa membaui wanginya?” tanyaku, “masih terasa koq…”
Diah membulatkan mulutnya, “Cuma kamu yang bisa membaui wangi itu. Jangan-jangan dia… “ Diah tak melanjutkan bicara, memilih menungguku melanjutkan cerita.
“Kalian ngomongin siapa, sih?” Kami melupakan kehadiran Kak Bayu. Dia jelas tidak tahu-menahu soal ini sama sekali.
“Sstt!” Diah meletakkan telunjuknya di bibir, menyuruh Kak Bayu diam agar aku tetap melanjutkan ceritaku. Kuceritakan kejadian yang baru kualami, ditambahi sedikit cerita mengenai kejadian setahun yang lalu, agar Kak Bayu bisa mengerti.
Sore itu, setelah merasa cukup di Museum Gajah, kami mengunjungi Monas. Sekadar duduk-duduk di tamannya, karena untuk masuk dan naik ke puncak, antrian panjang sekali.
Hampir pukul empat, kami mulai kelaparan, sementara bekal makanan sudah habis. Kak Bayu mengajak makan di dekat Sarinah, di sana banyak warung tenda yang tak terlalu mahal, meski sore begini pilihan semakin sedikit. Kami memasuki warung soto ayam, dan mulai menikmati hangatnya kuah soto di tenggorokan. Sambil makan aku dan Kak Bayu membahas gedung Sarinah yang cukup bersejarah. Sementara Diah berusaha mengalihkan pembicaraan ke masalah kuliner. Tentang aneka soto di Nusantara.
Menjelang magrib kami sudah di jalan pulang. Pertama kali mengantar Diah, karena rumahnya berada di bagian depan kompleks perumahan kami. Kemudian ke rumahku, yang berada agak di bagian belakang. Rumah Kak Bayu tak jauh dari kompleks perumahan ini.
Saat di rumahku, Kak Bayu tiba-tiba bertanya, “Cowok tadi, Radit itu, kamu sudah lama suka sama dia?”
Aku tertawa. “Kayaknya bukan suka sih, Kak. Mungkin awalnya iya, tapi setelah ketemu lagi tadi, aku malah merasa lega. Mungkin selama ini cuma penasaran kali, ya…”
Kak Bayu mengangguk-angguk. “Ada apa sih, Kak?” Namun dia hanya menggeleng.
“Berarti sekarang kamu lagi gak suka sama siapa-siapa dong?” tanyanya lagi.
“Kayaknya sih begitu, deh. Ada apa sih, Kak? Bener deh.” Dia menggeleng lagi.
“Sudah ya, Kar. Aku pulang dulu, kamu istirahat yang cukup ya. Selamat malam, Kartika.” Kak Bayu mengelus kepalaku lagi, sebelum berjalan menuju mobilnya, dan menghilang di remang senja.

Selanjutnya: Bagian Akhir

No comments:

Post a Comment