Sunday, March 3, 2013

Selintas Sejarah Secercah Asmara - Bagian 2

Sebelumnya: Bagian 1

Esoknya, Kak Bayu sampai di rumah pukul 07.02, tepat ketika sarapanku sudah habis. Setelah berbincang sebentar dengan Ayah-Bunda, kami segera pamit pergi.
 “Kamu gak takut tinggi kan, Kar?” Tanya Kak Bayu ketika di mobil. Aku menoleh ke arahnya sambil nyengir. “Serius? Ya sudah, nanti harus berani loh…”
“Kak… jangan kejam begitulah terhadapku…” ucapku dramatis.
“Gak kejam, cuma bantu mengurangi ketakutanmu,” senyumnya manis. Ya Tuhan…
Lagi-lagi, tak banyak percakapan di mobil. Musik di radio yang mendominasi.
Memasuki Ancol, aku mulai merasa takut. Makin dekat Dufan, makin takut. Ketika antri tiket, aku benar-benar diam. Menjawab seperlunya jika Kak Bayu bertanya. Saat masuk arena Dufan, kakiku gemetar. Tak sadar kuraih lengan Kak Bayu, mencengkeramnya erat.
“Kak… jangan naik yang aneh-aneh ya…”
Dia hanya tersenyum. “Ada aku Kar, gak usah takut. Kora-kora, yuk!” Aku melotot, tapi entah kenapa tak bisa menolak. Atau tidak mau. Aku ingin mempercayai kata-katanya.
Akhirnya, aku ikut saja mengantri. Aku yakin, wajahku sudah pucat pasi sekarang. Dan karena masih pagi, antrian tak begitu panjang. Saat sudah duduk dan sabuk pengaman sudah terkunci, aku menatapnya dengan mata berair. Rasanya benar-benar ingin menangis.
Kak Bayu mengelus kepalaku lagi. “Sshh, sudah, jangan nangis. Malu tahu, diliatin orang. Berani kok, berani. Pegang tanganku sini. Kalo udah gak kuat lagi, tutup mata aja, terus teriak yang kencang, ya…! Oke?” aku mengangguk saja. Ketika operator mulai menyalakan mesin, tangan kananku sudah berpegangan kencang pada sabuk pengaman, dan tangan kiriku mencengkeram kuat tangan Kak Bayu. Setelah beberapa menit, aku benar-benar teriak kencang. Tanpa henti, sampai waktunya habis. Ketika turun, aku merasa pusing luar biasa, dan Kak Bayu segera merangkulku ke tempat duduk.
“Pusing banget, Kar? Maaf ya, aku maksa kamu buat naik wahana kayak gitu…” Kak Bayu memberiku sebotol air mineral dari tasnya.
Aku menenggaknya, “Gak apa-apa, Kak. Aku juga sebenernya pengen nyoba, cuma selama ini gak ada teman aja, makanya makin lama makin takut. Harusnya kamu bangga, Kak. Cuma kamu yang bisa membuat aku yakin buat naik wahana kayak gitu.”
Kak Bayu tersenyum. “Ya sudah, sekarang kita ke wahana yang ringan aja, yuk…” dia mengulurkan tangannya. Ragu, tapi kusambut juga akhirnya.
Kak Bayu membawaku ke Rumah Kaca, Rumah Miring, dan Rumah Boneka. Yang seperti ini, mudah ku tangani. Kami memutuskan istirahat ketika jam menunjukkan pukul 12.40. Setelah makan, aku malah mengantuk. Kak Bayu, yang sepertinya bisa merasakan kantukku, mengajukan permintaan yang aneh. “Kar, roller coaster, mau ya?”
“Gak!” tolakku mentah-mentah.
“Ayolah, Kar. Roller coaster disini cuma sebentar kok. Gak berasa deh, pasti. Setelah itu kita naik bianglala, gimana?”
“Bianglala? Kak, itu penyiksaan untuk orang dengan phobia seperti aku, tau…!”
“Kan ada aku, Kartika.”
Kata-kata itu, lagi. Aku ingin mempercayainya. Sungguh. Sebagian kecil dari hatiku tahu Kak Bayu sungguh-sungguh ketika mengatakan itu. Terlihat dari sinar matanya.
“Atau pemanasan di Arung Jeram dulu, gimana?” Seperti tersihir, aku mengangguk.
“Yuk!” Dia segera meraih tanganku.
Aku naik Arung Jeram tanpa rasa apapun, karena kepalaku dipenuhi bayangan tentang roller coaster. Ketika akhirnya kami naik roller coaster, benar-benar seperti mimpi buruk tak berujung. Walau hanya beberapa menit, berada di roller coaster untuk pertama kalinya sungguh pengalaman tak terlupakan. Menyenangkan, memang, namun mendebarkan. Serasa jantung loncat dari tempatnya. Turun dari wahana itu, Kak Bayu malah tertawa senang.
“Tadi benar-benar menyenangkan, Kar! Aku senang kamu berani.”
Benar juga. Tumben aku berani. Pertama kali ke Dufan, aku menjauh dari semua wahana menyeramkan itu. Aku juga tidak mengerti, kenapa sekarang berani mencoba.
“Bianglala!” Belum sempat aku merespon, Kak Bayu sudah menarik tanganku, dan membawaku ke wahana satu itu.
Aku benar-benar takut. Tak terasa, tahu-tahu sudah berada di paling puncak. Meski takut, aku berusaha memberanikan diri melihat ke luar. Indah memang, aku bisa melihat Teluk Jakarta dari sini. Di sisi lain, deretan gedung-gedung tinggi di langit senja Jakarta.
“Ada keindahan yang hanya bisa dilihat dari ketinggian tertentu, Kar. Ini semua sepadan kan, dengan mengatasi ketakutanmu itu?”
Aku menoleh ke arahnya, tersenyum dan mengangguk. “Terima kasih, Kak.”
Turun dari bianglala, kami pergi ke toko cinderamata. Kami sepakat untuk membelikan Diah oleh-oleh, karena dia tak bisa ikut. Di perjalanan pulang, aku tertidur.

Selanjutnya: Bagian 3

No comments:

Post a Comment