Esoknya,
Kak Bayu sampai di rumah pukul 07.02, tepat ketika sarapanku sudah habis. Setelah
berbincang sebentar dengan Ayah-Bunda, kami segera pamit pergi.
“Kamu gak takut tinggi kan, Kar?” Tanya Kak
Bayu ketika di mobil. Aku menoleh ke arahnya sambil nyengir. “Serius? Ya sudah,
nanti harus berani loh…”
“Kak…
jangan kejam begitulah terhadapku…” ucapku dramatis.
“Gak
kejam, cuma bantu mengurangi ketakutanmu,” senyumnya manis. Ya Tuhan…
Lagi-lagi,
tak banyak percakapan di mobil. Musik di radio yang mendominasi.
Memasuki
Ancol, aku mulai merasa takut. Makin dekat Dufan, makin takut. Ketika antri
tiket, aku benar-benar diam. Menjawab seperlunya jika Kak Bayu bertanya. Saat
masuk arena Dufan, kakiku gemetar. Tak sadar kuraih lengan Kak Bayu, mencengkeramnya
erat.
“Kak…
jangan naik yang aneh-aneh ya…”
Dia
hanya tersenyum. “Ada aku Kar, gak usah takut. Kora-kora, yuk!” Aku melotot,
tapi entah kenapa tak bisa menolak. Atau tidak mau. Aku ingin mempercayai
kata-katanya.
Akhirnya,
aku ikut saja mengantri. Aku yakin, wajahku sudah pucat pasi sekarang. Dan
karena masih pagi, antrian tak begitu panjang. Saat sudah duduk dan sabuk
pengaman sudah terkunci, aku menatapnya dengan mata berair. Rasanya benar-benar
ingin menangis.
Kak
Bayu mengelus kepalaku lagi. “Sshh, sudah, jangan nangis. Malu tahu, diliatin
orang. Berani kok, berani. Pegang tanganku sini. Kalo udah gak kuat lagi, tutup
mata aja, terus teriak yang kencang, ya…! Oke?” aku mengangguk saja. Ketika operator
mulai menyalakan mesin, tangan kananku sudah berpegangan kencang pada sabuk pengaman,
dan tangan kiriku mencengkeram kuat tangan Kak Bayu. Setelah beberapa menit,
aku benar-benar teriak kencang. Tanpa henti, sampai waktunya habis. Ketika
turun, aku merasa pusing luar biasa, dan Kak Bayu segera merangkulku ke tempat
duduk.
“Pusing
banget, Kar? Maaf ya, aku maksa kamu buat naik wahana kayak gitu…” Kak Bayu
memberiku sebotol air mineral dari tasnya.
Aku
menenggaknya, “Gak apa-apa, Kak. Aku juga sebenernya pengen nyoba, cuma selama
ini gak ada teman aja, makanya makin lama makin takut. Harusnya kamu bangga,
Kak. Cuma kamu yang bisa membuat aku yakin buat naik wahana kayak gitu.”
Kak
Bayu tersenyum. “Ya sudah, sekarang kita ke wahana yang ringan aja, yuk…” dia
mengulurkan tangannya. Ragu, tapi kusambut juga akhirnya.
Kak
Bayu membawaku ke Rumah Kaca, Rumah Miring, dan Rumah Boneka. Yang seperti ini,
mudah ku tangani. Kami memutuskan istirahat ketika jam menunjukkan pukul 12.40.
Setelah makan, aku malah mengantuk. Kak Bayu, yang sepertinya bisa merasakan
kantukku, mengajukan permintaan yang aneh. “Kar, roller coaster, mau ya?”
“Gak!”
tolakku mentah-mentah.
“Ayolah,
Kar. Roller coaster disini cuma
sebentar kok. Gak berasa deh, pasti. Setelah itu kita naik bianglala, gimana?”
“Bianglala?
Kak, itu penyiksaan untuk orang dengan phobia
seperti aku, tau…!”
“Kan
ada aku, Kartika.”
Kata-kata
itu, lagi. Aku ingin mempercayainya. Sungguh. Sebagian kecil dari hatiku tahu
Kak Bayu sungguh-sungguh ketika mengatakan itu. Terlihat dari sinar matanya.
“Atau
pemanasan di Arung Jeram dulu, gimana?” Seperti tersihir, aku mengangguk.
“Yuk!”
Dia segera meraih tanganku.
Aku
naik Arung Jeram tanpa rasa apapun, karena kepalaku dipenuhi bayangan tentang roller coaster. Ketika akhirnya kami
naik roller coaster, benar-benar seperti
mimpi buruk tak berujung. Walau hanya beberapa menit, berada di roller coaster untuk pertama kalinya sungguh
pengalaman tak terlupakan. Menyenangkan, memang, namun mendebarkan. Serasa
jantung loncat dari tempatnya. Turun dari wahana itu, Kak Bayu malah tertawa
senang.
“Tadi
benar-benar menyenangkan, Kar! Aku senang kamu berani.”
Benar
juga. Tumben aku berani. Pertama kali ke Dufan, aku menjauh dari semua wahana
menyeramkan itu. Aku juga tidak mengerti, kenapa sekarang berani mencoba.
“Bianglala!”
Belum sempat aku merespon, Kak Bayu sudah menarik tanganku, dan membawaku ke
wahana satu itu.
Aku
benar-benar takut. Tak terasa, tahu-tahu sudah berada di paling puncak. Meski
takut, aku berusaha memberanikan diri melihat ke luar. Indah memang, aku bisa
melihat Teluk Jakarta dari sini. Di sisi lain, deretan gedung-gedung tinggi di
langit senja Jakarta.
“Ada
keindahan yang hanya bisa dilihat dari ketinggian tertentu, Kar. Ini semua
sepadan kan, dengan mengatasi ketakutanmu itu?”
Aku
menoleh ke arahnya, tersenyum dan mengangguk. “Terima kasih, Kak.”
Turun dari bianglala, kami pergi ke toko cinderamata. Kami sepakat untuk
membelikan Diah oleh-oleh, karena dia tak bisa ikut. Di perjalanan pulang, aku
tertidur.Selanjutnya: Bagian 3
No comments:
Post a Comment