Museum
Bank Indonesia. Berada di sini lagi mengingatkanku akan kenangan setahun lalu. Terjadi
sesaat, namun tetap tinggal sampai sekarang. Sudah satu tahun berlalu, padahal.
Sebutlah aku bodoh, karena masih mengenangnya sampai sekarang. Padahal belum
tentu dia mengingatnya sekelebat pun. Aku tak pernah tahu namanya, hanya
cirinya, dan wanginya yang khas. Yang entah kenapa, tak bisa hilang dari
ingatanku.
Tiba-tiba
kudengar suara memanggilku, menyadarkan lamunanku.
“Ngelamun
terus. Aku panggil berkali-kali, tapi kamu diam aja,” keluh Diah, “Mikirin
siapa sih? Cowok itu lagi?”
Aku
hanya bisa tertawa kecil. Tak membenarkan, tapi Diah tahu. “Udahlah,
buang-buang waktu aja. Tahu namanya juga gak…!”
Memang
benar apa yang dikatakannya. Dasar, terlalu lama rupanya aku berteman dengannya.
Tak heran Diah tahu perasaan dan pikiranku, walau yang tak terucap sekali pun.
Kami telah berteman sejak masih mengenakan seragam putih-merah, sampai
sekarang, ketika kami sebentar lagi terlepas dari kewajiban belajar dua-belas
tahun. Kami terus berteman, meski beda jurusan. Diah di IPS, sedang aku di IPA.
“Udahlah,
yuk, sepertinya Kak Bayu sudah menunggu. Kita janjian di taman, kan?” Kuraih
lengannya dan segera berjalan menuju Taman Fatahillah, mencari Kak Bayu,
seorang teman sesama pecinta museum.
Menghabiskan
sore hari di Kota Tua benar-benar menyenangkan. Tempat yang tepat untuk melepas
penat sekolah. Seminggu penuh berkutat dengan hukum-hukum fisika, reaksi-reaksi
kimia, pola hereditas, dan integral, dalam menghadapi Ujian Akhir Semester. Begitu
mendapat ajakan untuk menghabiskan hari Sabtu di Kota Tua, aku tak berpikir dua
kali.
Aku suka
Kota Tua. Suka sejarah yang ada di baliknya. Setiap gedung di sini punya cerita
tersendiri, yang takkan pernah habis dimakan waktu. Aku menyukai sejarah.
Selalu ada peristiwa untuk dikenang, untuk dipelajari agar tak mengulang kesalahan
yang sama.
Kucoba
mengenyahkan lamunan dari kepalaku. Menyeberang jalan di depan Museum Bank
Indonesia perlu konsentrasi. Sepeda motor, bajaj, angkot, bis kota, dan aneka
kendaraan yang tak kenal sabar, berebut jalan searah yang cukup lebar. Menyusur
jalan di antara gedung-gedung tua, Taman Fatahillah mulai nampak.
Penuh
suara dan lalu-lalang orang. Pelajar mengisi liburan, gerombolan punk mencari identitas, anak-anak
singkong bersepeda, dan para pedagang yang berupaya mengais keuntungan. Beberapa
turis bule melintas di ujung
seberang, menuju Café Batavia. Kafe yang cukup menarik, dua lantai dengan dekorasi
luar didominasi warna hijau. Ada live
music pada jam-jam tertentu. Aku pernah ke sana sekali, bersama Ayah dan
teman-temannya. Dekorasi interiornya cukup megah, dengan mebel berkelas. Namun
ketika melihat menu yang ditawarkan berikut harga yang tertera, aku langsung
berpikir, tak akan mungkin aku kembali ke sini hanya dengan teman-temanku. Tak
cocok untuk kantong pelajar.
Memang bukan
Café Batavia tempat kesukaanku di Kota Tua. Tapi Taman Fatahillah, lapangan
besar di depan Museum Sejarah Jakarta. Riuh-ramai beraroma klasik. Banyak
pedagang menjajakan aneka barang, mulai dari pedagang makanan, pakaian, sampai
aksesoris. Harga yang ditawarkan pun tak mahal. Kau bisa dapatkan seuntai kalung
hanya seharga sepuluh ribu rupiah. Pas untuk kantong pelajar. Banyak juga yang
menyewakan sepeda ontel. Ada yang untuk sendiri, bisa juga berdua, bahkan
bertiga. Naik sepeda ontel tetap terasa menyenangkan, bahkan bagi yang sudah
pernah mencobanya sekali pun.
Banyak
juga yang melakukan atraksi di lapangan ini. Selalu ada setiap malam, apalagi
ketika hari-hari libur. Banyak orang datang untuk menonton, tapi tak sedikit
juga yang datang hanya untuk mencari makanan, melihat-lihat jualan, atau sekadar
menghibur diri. Lapangan itu benar-benar seperti magnet, yang bisa menarik
orang-orang di sekitarnya. Tanpa ada atraksi sekali pun, kurasa mereka akan
tetap datang juga ke Taman Fatahillah.
Lagi-lagi,
Diah menyadarkanku. “Bengong lagi? Mikirin apa sekarang?”
Aku
tersenyum. “Sore ini, Kota Tua kelihatan indah banget ya, Di…”
Diah
mengerutkan kening, lalu menatap Museum Fatahillah di depannya. “Bukankah
memang selalu indah? Coba kamu lihat langitnya. Begitu biru, apalagi dipadukan
dengan awan putih yang terlihat begitu halus.” Diah tiba-tiba menghela napas
panjang. “Coba aku bawa kanvas... Setidaknya, buku sketsa deh…” lanjutnya.
Aku
tertawa. Temanku yang satu itu memang seorang pelukis. Dengan mudah dia bisa terinspirasi
benda-benda di sekitar. Biasanya, Diah selalu membawa buku sketsanya ke mana pun
pergi. Aku juga tak tahu, kenapa dia bisa melupakan benda yang satu itu, yang
katanya merupakan separuh jiwanya.
“Simpan
dulu aja imajinasimu barusan. Nanti, baru dituangkan di rumah.”
Diah
tersenyum seraya mengerling ke jam tangannya, “Sudah jam empat lewat nih, Kak
Bayu di mana, ya?”
Belum
sempat aku menjawab, sebuah tangan sudah menepuk pundakku. “Hai! Sudah lama
nunggu, ya?” Kak Bayu tiba-tiba sudah berada di belakang kami. Mahasiswa
arsitektur semester lima, yang suka ke Kota Tua, katanya untuk belajar dari
keindahan bangunan-bangunan lama.
“Kak!
Ke mana aja? Kami sudah nunggu lama di sini…” Diah, seperti biasa tetap
bersemangat.
“Maaf,
maaf… Tiba-tiba segerombolan remaja cewek menghampiriku, minta tanda tangan
serta foto bareng. Padahal aku sudah pakai kacamata hitam ini, apa masih
kurang?” Kak Bayu terlihat lelah, bisa kubayangkan. Kami malah tertawa.
Kak
Bayu adalah seorang penyanyi dan pemusik. Dia mulai terkenal beberapa bulan
lalu, ketika video dia bernyanyi
sambil bermain gitar diunggahnya ke Youtube.
Lagu yang dinyanyikan memang lagu yang dikenal anak muda sekarang, Sempurna oleh Andra and the Backbone. Cewek-cewek
dibuatnya meleleh dengan suara dan gitarnya itu. Tambahan lagi wajahnya pun masuk
kategori “ganteng”. Kak Bayu memang keturunan Belanda-Jawa.
Kami
bertemu di Facebook. Aku, Diah, dan
Kak Bayu tergabung dalam komunitas pecinta museum. Ketika diadakan pertemuan anggota,
Diah baru menyadari, bahwa Kak Bayu yang sering chat dengannya, adalah Bayu yang “itu”. Kak Bayu tak pernah
memasang fotonya sebagai profile picture.
Selalu foto alam Indonesia. Diah langsung melaksanakan sesi tanya-jawab dengan
idolanya itu. Pembawaan Diah yang selalu segar dan bersemangat, membuat Kak
Bayu yang pendiam jadi ikut bergabung denganku dan Diah. Sejak itu kami jadi
dekat. Meski berstatus pacaran dengan Farid, teman sekelasnya, namun Diah
beberapa kali mengungkapkan, dia tertarik juga dengan kak Bayu. Dasar Diah, selalu
kelewat aktif.
“Dari
sini, kalian ada rencana ke mana?” tanya Kak Bayu.
“Aku
sih langsung pergi lagi, Kak. Nanti Ibu jemput. Kamu gimana, Kar?” Diah
bertanya padaku.
“Gampang
Di, aku bisa pulang naik bus kok.” Diah kadang terlalu khawatir kalau aku pulang
malam, dan sendirian.
“Kamu,
Kak? Nanti ada rencana pergi?” Diah kembali bertanya.
“Enggak
ada, Di. Nanti aku yang anter kamu aja, gimana, Kar?” Kak Bayu bertanya padaku.
Diah langsung senang.
“Iya,
benar! Kamu pulang sama Kak Bayu aja, oke? Biar aman, biar aku tenang juga,
ya?” aku jelas tak bisa berkata tidak, daripada Diah marah-marah.
“Memangnya
kalian memberiku pilihan lain?” Diah dan Kak Bayu malah tertawa.
Satu
jam selanjutnya kami habiskan untuk berkeliling Kota Tua dengan sepeda ontel. Berangkat
dari Museum Wayang, menyeberang ke Museum Seni Rupa dan Keramik, melewati
Stasiun Jakarta Kota, Museum Bank Mandiri, Museum BI, melintas Kali Besar,
Jembatan Kota Intan, Toko Merah, ke utara ke arah Museum Bahari dan Pelabuhan
Sunda Kelapa, balik ke Taman Fatahillah lewat Galangan Kapal VOC. Aku sampai
hapal jalannya. Tapi, aku tetap suka. Andaikan Kali Besar dibersihkan, sungguh,
tempat ini pasti akan semakin ramai. Yah, dengan bau kali yang kurang sedap ini
saja, sudah ramai.
Tak
lama setelah mengembalikan sepeda sewaan, Tante Ira, ibunya Diah, datang. Kami
bercakap sebentar, lantas mereka pergi. Menjenguk kerabat yang sakit, cerita Tante
Ira.
“Kita
mau langsung pulang juga, Kar? Atau kamu mau jalan lagi?”
Kulirik
jam, setengah enam. Lelah, tapi masih ingin di sini. Sebentar lagi lampu-lampu penghias
pohon-pohon akan menyala. Sudah sering ku melihatnya, tapi tetap suka.
“Mau
lihat lampu lagi?” ucap Kak Bayu tiba-tiba. Aku terkejut. “Aku sudah kenal
denganmu cukup lama untuk mengetahui itu, Kar.” Dia tertawa.
“Pikiranku
mudah dibaca, ya Kak?” Sungguh, ternyata bukan Diah saja.
Kak
Bayu hanya tertawa. “Cari tempat duduk yuk. Kamu lapar?” tanyanya.
Aku
menggeleng. “Belum, sepertinya.” Bunda selalu menyiapkan roti lapis dan snack untuk bekal jalan-jalan, sudah
kuhabiskan bersama Diah tadi siang.
“Tapi
dari tadi siang kamu belum makan, kan? Daripada sakit, Kar. Kalau sakit,
liburan di rumah doang, loh…” paksanya.
Liburan
di rumah sama sekali bukan ide bagus, apalagi untukku yang tak betah diam.
“Ya
sudah, yuk!” ajakku. Kak Bayu segera tersenyum.
“Kamu
itu, kalau gak dipaksa pasti gak bakal makan sampai besok deh…” Dia tertawa,
mengusap kepalaku sebentar sambil berjalan mendahului.
Aku
tertegun sebentar. Refleks, tangan kiriku bergerak memegang kepala. Kemudian
tersenyum, dan segera mengejarnya.
“Mau
makan apa? Ketoprak? Atau kwetiau?” tawarnya.
“Lagi
mau kwetiau, nih, kayaknya…”
Kami
masuk ke salah satu tenda makanan yang menjual nasi goreng, mie goreng, dan
semacamnya. Kwetiau untukku, nasi goreng untuknya, dan es jeruk untuk kami
berdua.
Kak
Bayu menceritakan pengalamannya bermusik. Dari ayahnya dia belajar tentang
kunci-kunci gitar, memainkan melodi yang indah. Dari ibunya dia belajar
bernyanyi, cara mengatur napas agar dapat mencapai nada tinggi dengan baik. Dia
bercerita, senangnya ketika berhasil memainkan satu lagu dengan gitar, berhasil
mencapai nada tinggi pertamanya.
“Lalu,
siapa yang punya ide untuk mengunggah video
Kakak ke YouTube?” tanyaku.
“Teman-teman
di kampus. Mereka yang semangat. Malah ada beberapa teman cewek yang bilang, kan biar punya temen artis gitu, kali aja
suatu saat kamu terkenal,” ceritanya sambil menirukan suara perempuan.
Aku
tertawa. “Yah, setidaknya kalau nanti kamu sudah benar-benar terkenal, aku
punya banyak foto kamu, Kak, jadi gak usah repot-repot kayak cewek-cewek tadi,
kan?”
“Wah
iya, benar juga. Asal jangan publikasikan foto-fotoku yang jelek ya, bisa
hancur citraku nanti…”
“Tadinya
sih gak kepikiran… Tapi karena kamu ingatkan, yah, itu bisa jadi pertimbangan
kalau kamu tiba-tiba jadi sombong, Kak… Hahaha…”
Setelah
beberapa saat berbincang tentang aneka hal, aku teringat. “Kak, aku belum
pernah lihat kamu nyanyi langsung, loh. Kapan-kapan, nyanyi untukku dan Diah,
dong…”
Kak
Bayu hanya tersenyum dan tiba-tiba berkata, “Sudah nyala lampunya tuh, Kar…”
Aku memandang
ke luar tenda, tertegun beberapa saat. “Indah ya, Kak. Aku selalu suka
melihatnya…” Tak ada jawaban. Aku menoleh, dan mendapati bangku kosong. Ke mana
dia pergi? Masa iya, dia tega meninggalkanku di sini sendirian? Masih
kebingungan, tiba-tiba ku dengar dia memanggil namaku.
Kak
Bayu menghampiri sambil membawa gitar. “Katanya, kamu minta aku nyanyi, kan?
Kebetulan ada gitar, nih…”
Aku
tertegun, masih tak percaya dia mengabulkan permintaanku tadi. Kak Bayu mulai
memainkan gitarnya, mendendangkan lagu yang membuatnya dikenal banyak orang.
Kau begitu sempurna
Di mataku kau begitu indah
Kau membuat diriku
Akan selalu memujamu
Di setiap langkahku
Ku kan selalu memikirkan dirimu
Tak bisa ku bayangkan
Hidupku tanpa cintamu
(Sempurna
– Andra and The Backbone)
Suaranya
indah mengalun. Aku terdiam. Setelah dentingan terakhir dipetiknya, terdengar
banyak tepuk tangan. Ternyata Kak Bayu sudah menarik banyak penonton. Dia
tersenyum ke arahku, lantas menghampiri beberapa pengamen dan mengembalikan
gitar itu.
“Bagaimana
kamu bisa meminjam gitar itu?” aku benar-benar heran, sungguh. Ini orang apa
tidak punya malu?
“Aku
sewa dari pengamen-pengamen itu. Kan, kamu bilang mau dengar aku nyanyi
langsung. Aku sudah kabulkan, senang kan?”
Aku
terkejut. Senang, malu, bahagia. Aku tersenyum. “Kak, terima kasih. Sungguh. Baru
kali ini, ada yang menyanyikan lagu khusus buatku. Kamu yang pertama, loh…”
“Iya?
Wah, aku tersanjung, kalau begitu…” dia tertawa.
“Kak,
kamu…tadi itu, apa gak malu? Dilihat banyak orang gitu…”
“Hey,
aku ini pemusik, penyanyi, kalau pemalu, bagaimana bisa dikenal? Lagipula, kan
kamu yang memintanya, Kar…”
Lagi-lagi
aku dibuatnya terkejut. Aku terdiam, penuh rasa berkecamuk.
“Kar?”
Kak Bayu melambaikan tangannya di depan wajahku. Aku tersadar. “Jangan melamun,
sudah malam. Kamu udah capek?”
Aku
rasanya sudah tak sanggup mengucap apapun. Jadi, aku mengangguk.
“Pulang
yuk!” Kak Bayu beranjak dari kursinya. Ketika aku mengeluarkan dompet, dia
malah menggeleng, dan segera membayar pesanan kami.
Kak
Bayu membiarkanku berjalan duluan. Aku masih terkejut. Bahkan tak sanggup
mengucap terima kasih. Kenapa tiba-tiba ada rasa yang berbeda? Seharusnya
tidak. Kak Bayu memang ganteng, bersuara indah, trampil bermain gitar. Tapi, selama
ini biasa saja.
“Kar,
awas!” Kak Bayu menarik lenganku. Hampir aku tertabrak sepeda. Rombongan sepeda
ontel itu tak terlalu peduli, lewat di sisiku. Tiba-tiba, aroma wangi yang
tertanam di memoriku, semerbak memenuhi udara sore. Walau hanya tampak
punggungnya di atas sepeda ontel, tapi serasa ku kenal betul pemilik aroma
wangi ini. Museum BI, setahun lalu.
“Mikirin
apa sih? Sampai gak sadar jalan gitu. Bahaya tau.” Kak Bayu sedikit marah.
Aku
berusaha menyadarkan diri. “Maaf, benar-benar gak tau kenapa … Maaf, Kak…”
Dia
menghela napas. “Yang penting kamu baik-baik aja sekarang.”
Kak
Bayu berjalan mendahului, membukakan pintu mobil untukku. Aku hanya bisa
tersenyum. Selama perjalanan pulang, kami tak banyak bicara. Suara gitar dan
nyanyian Kak Bayu, serta aroma wangi pemuda di Museum BI setahun lalu, seakan
memenuhi ruang mobil.
Sampai
di rumahku, setelah berpamitan dengan kedua orang-tuaku, ia segera kembali ke
mobilnya. Kami di teras depan, ketika dia bertanya, “Besok, kamu ada rencana
gak, Kar?”
Aku
berpikir sebentar, dan segera menggeleng. “Belum, Kak. Ada apa?”
“Main
ke Dufan, yuk!”
“Bukannya
udah pernah ke sana ya, Kak? Lagian pasti rame deh besok…”
“Iya
sih, tapi kan tetap seru. Makanya, kita pergi dari pagi, gimana?”
“Boleh
aja sih…” Entah kenapa aku mengiakan, padahal untukku Dufan cukup menakutkan. “Diah
boleh ikut?” tiba-tiba teringat temanku yang satu itu, dan aku juga merasa,
pasti akan canggung kalau hanya berdua.
Kak
Bayu terdiam sebentar, lalu, “Boleh, ajak aja. Kamu telpon aja sekarang.”
Aku
segera menekan tombol ponsel. Tak lama, suara Diah terdengar di ujung sana.
“Di?
Besok kamu ada rencana pergi gak? …. Ooh, gitu ya? Sampai malam? Oh, ya sudah
…. Iya, diajakin Kak Bayu ke Dufan …. Hahaha, ya sudah, …. jangan sedih gitu,
lain kali ikut yaa. Oke, daaah.” Aku pun memutus sambungan.
“Diah
mau ke mana?” tanya Kak Bayu.
“Ada
acara keluarga, di Bogor. Dia kesel banget kayaknya, gak bisa ikut besok.
Hahaha,” aku teringat Diah yang tiba-tiba histeris ketika kuberitahu rencana
besok.
“Aku
bisa membayangkan itu.” Kak Bayu tertawa. “Ya sudah, besok tetap jadi, kan?”
Aku mengangguk. “Aku jemput sekitar jam tujuh ya.” Lagi-lagi aku mengangguk.
“Langsung
tidur ya, biar besok gak capek. Selamat malam, Kar.” Kak Bayu pamit.
“Iya,
Kak. Selamat malam juga.” Aku tersenyum dan membukakan pagar untuknya.
Setelah mandi, tubuhku terasa segar, tapi hatiku masih pepat. Makan
malam berlauk cumi goreng tepung kesukaanku, tapi lidah tak bisa menikmatinya.
Untung perhatian Ayah-Bunda tersita oleh cerita adikku tentang pertandingan
pencak-silatnya tadi siang. Beralasan lelah, aku minta ijin tidur lebih dulu.
Ternyata sendiri di kamar tidur pun tak membantu. Dinding-dinding kamar
memantulkan suara Kak Bayu bernyanyi sambil bermain gitar, dari kisi-kisi jendela,
angin mengalirkan semerbak arowa wangi si pemuda Museum BI, entah siapa
namanya? Sementara di langit-langit, wajah Diah yang tersenyum riang membuatku
semakin sulit tidur. Namun akhirnya, tubuh lelahku tak kuasa menahan berat
mata.
Selanjutnya: Bagian 2