Saturday, March 30, 2013

Lima Huruf


Jam dinding berbentuk kepala Hello Kitty dikamar Neyza sudah menunjukkan pukul 8 malam. Hari ini dia berhasil menghindari Aji ketika jam istirahat maupun pulang sekolah. Mengingat kemarin dia nggak datang ke tempat janjian mereka (lagi), membuat dada Neyza sesak. Sudah beberapa kali Aji batal datang ketika mereka janjian.
“Masa dia tidak tahu sudah menyakitiku sampai begini? Harusnya dia mengerti. Kitakan sudah berpacaran hampir empat bulan, tidakkah itu cukup? Dan dia nggak baru mengenalku. Kami teman sejak SMP, lumayan dekat, malah. Masa dia nggak cukup mengenalku. Apa mau... putus?” Neyza menggelengkan kepalanya.
Kenapa lima huruf itu bisa melintas di pikirannya? Karena Neyza capek. Dia capek menjadi pihak yang terus mengalah dan yang harus mengerti. Kapan giliran Aji yang mengalah dan Neyza yang dimengerti?
Apa aku harus memberinya kesempatan lain?” Tapi, ini bukan pertama kalinya dia lupa datang pada hari janjian kami. Sebelumnya lebih parah. Aji malah main PS di rumah Diaz ketika seharusnya mereka merayakan hari jadi tiga bulan. Neyza kesal bukan main dan mendiamkan Aji selama seminggu saat itu. Dan, itu baru terjadi dua minggu yang lalu. Bagaimana dia bisa mengulangi kesalahan yang sama dalam waktu dekat?
Neyza terlalu capek untuk memikirkan segala kemungkinan. Dia punya terlalu banyak pertanyaan untuk Aji. Tidak akan muat 1000 karakter yang disediakan ponselnya untuk SMS. Pulsanya yang tersedia saat ini juga tidak cukup untuk menelpon Aji. Ngomong-ngomong, kemana cowok itu? Kenapa dia tidak SMS atau menelponnya? Neyza kangen, tapi terlalu gengsi untuk menghubungi duluan. Apalagi dia sedang kesal. Neyza menggelengkan kepalanya. Capek berdebat dengan pikirannya sendiri. Dia ngantuk. Satu hal pasti, Neyza tidak mau putus sama Aji.
***
Mereka sekarang berada di teras rumah Neyza. Aji berhasil memaksa Neyza untuk diantarkan pulang olehnya. Dan sekarang, Aji masih memohon maaf darinya, padahal Neyza sudah capek mendengar semua kata-kata Aji.
Neyza menghela napas panjang. “Kenapa, Ney? Kamu capek?” tanyanya menatap khawatir ke arah Neyza. Neyza menggeleng.
Aji menyesal. Dia tahu itu. Dia telah membuat Neyza sakit hati (lagi). Sebelumnya juga pernah begini, bahkan lebih parah. Aji capek, Neyza apa lagi. Tapi Aji tahu, ini semua salahnya. Dia selalu menjadi pihak yang bersalah. Aji sayang sama Neyza, tidak perlu dipertanyakan. Kenapa begitu susah rasanya untuk mengingatkan dirinya setiap mereka ingin jalan.
“Jangan diulang lagi yaa, Ji. Aku capek.” Neyza menghela napas. Terasa sesak didada Aji melihat Neyza begitu tersakiti.
Dia tersenyum lemah, menatap gadis di depannya itu. “Aku nggak akan ngulang lagi, Ney. Janji. Nggak akan…”
“Jangan! Jangan bikin janji kalau kamu gak bisa nepatinnya, Ji. Aku capek dikasih janji terus sama kamu. Kalau udah begitu, aku lagi kan, yang mengalah? Aku lagi kan, yang harus mengerti kamu? Kapan giliran kamu yang mengalah dan aku yang dimengerti, Ji?” Neyza segera menghapus air matanya yang mengalir.
Aji terperangah. Harusnya dia menyadari itu.
“Apa begitu susah untuk kamu, ngertiin aku? Kenapa kamu nggak sadar? Aku sayang, Ji, sama kamu. Aku nggak mau kayak gini ke kamu. Tapi, aku juga harus mikirin perasaan aku, kan? Aku nggak pernah minta banyak, Ji, dari kamu. Aku nggak pernah minta beliin barang mahal. Aku gak pernah minta kamu selalu SMS atau telepon aku. Aku gak pernah maksa kamu untuk dateng ke rumah aku setiap malam minggu. Tapi, semua itu kamu lakuin kan? Kamu beliin aku boneka yang harganya ratusan, padahal aku gak minta itu, Ji. Oke, aku memang seneng kamu baik sama aku. Tapi, giliran aku minta satu hal aja sama kamu, kenapa susah dilakuin, Ji?”
“Kamu minta apa, Ney?” tanya Aji, suaranya serak. Susah payah dia menahan nangis di depan Neyza. Ingin rasanya dia berteriak, atau memukul sesuatu untuk menenangkan hatinya.
“Aku minta kamu nepatin janji kamu.” Aji melengos. Dia tak menatap mata Neyza sekarang. Neyza benar-benar memukul kelemahannya.
Aji tahu benar dia sudah sering mengecewakan Neyza, bahkan sudah pernah sebelum cewek itu menjadi pacarnya. Tapi Aji nggak pernah menyangka ternyata Neyza begitu tersakiti. Kalau Aji melupakan janji dengan teman-temannya… Aji tersentak. Neyza bukan temannya. Dia pacarnya. Harusnya dia lebih memahami Neyza. Neyza nggak bisa disamakan dengan teman-temannya. Aji menatap Neyza. Mungkin dia memang nggak akan bisa memahami Neyza. Kalau memaksakan, Neyza akan lebih tersakiti.
“Mungkin… sebaiknya kita putus aja, Ney. Aku nggak mau bikin kamu tambah sakit hati. Mungkin, aku memang nggak bisa mengerti kamu. Kayaknya, lebih baik kita putus.”
Neyza tersentak. Harusnya nggak kayak gini, Ji… Tapi suaranya tidak bisa keluar. Lelah, Neyza memutuskan mengangguk.
Dengan berat hati Aji bangun. Berjalan ke arah Neyza, yang sedari tadi berdiri di dekat pilar. Dia memeluk Neyza, untuk terakhir kali. Dan mencium kening cewek yang disayanginya itu. Aji berjalan menjauh, nggak mungkin dia nangis di depan Neyza. Mungkin ini memang yang terbaik. Neyza pasti bisa lebih bahagia, pikirnya.
Aji tidak tahu, Neyza menangis dibelakangnya. Hatinya teriak meminta Aji kembali. Tapi, suaranya tidak bisa keluar. Neyza menangis, Aji juga. Sakit hati mendera keduanya. Lima huruf itu akhirnya terucap.

Sunday, March 3, 2013

Selintas Sejarah Secercah Asmara - Bagian 1


Museum Bank Indonesia. Berada di sini lagi mengingatkanku akan kenangan setahun lalu. Terjadi sesaat, namun tetap tinggal sampai sekarang. Sudah satu tahun berlalu, padahal. Sebutlah aku bodoh, karena masih mengenangnya sampai sekarang. Padahal belum tentu dia mengingatnya sekelebat pun. Aku tak pernah tahu namanya, hanya cirinya, dan wanginya yang khas. Yang entah kenapa, tak bisa hilang dari ingatanku.
Tiba-tiba kudengar suara memanggilku, menyadarkan lamunanku.
“Ngelamun terus. Aku panggil berkali-kali, tapi kamu diam aja,” keluh Diah, “Mikirin siapa sih? Cowok itu lagi?”
Aku hanya bisa tertawa kecil. Tak membenarkan, tapi Diah tahu. “Udahlah, buang-buang waktu aja. Tahu namanya juga gak…!”
Memang benar apa yang dikatakannya. Dasar, terlalu lama rupanya aku berteman dengannya. Tak heran Diah tahu perasaan dan pikiranku, walau yang tak terucap sekali pun. Kami telah berteman sejak masih mengenakan seragam putih-merah, sampai sekarang, ketika kami sebentar lagi terlepas dari kewajiban belajar dua-belas tahun. Kami terus berteman, meski beda jurusan. Diah di IPS, sedang aku di IPA.
“Udahlah, yuk, sepertinya Kak Bayu sudah menunggu. Kita janjian di taman, kan?” Kuraih lengannya dan segera berjalan menuju Taman Fatahillah, mencari Kak Bayu, seorang teman sesama pecinta museum.
Menghabiskan sore hari di Kota Tua benar-benar menyenangkan. Tempat yang tepat untuk melepas penat sekolah. Seminggu penuh berkutat dengan hukum-hukum fisika, reaksi-reaksi kimia, pola hereditas, dan integral, dalam menghadapi Ujian Akhir Semester. Begitu mendapat ajakan untuk menghabiskan hari Sabtu di Kota Tua, aku tak berpikir dua kali.
Aku suka Kota Tua. Suka sejarah yang ada di baliknya. Setiap gedung di sini punya cerita tersendiri, yang takkan pernah habis dimakan waktu. Aku menyukai sejarah. Selalu ada peristiwa untuk dikenang, untuk dipelajari agar tak mengulang kesalahan yang sama.
Kucoba mengenyahkan lamunan dari kepalaku. Menyeberang jalan di depan Museum Bank Indonesia perlu konsentrasi. Sepeda motor, bajaj, angkot, bis kota, dan aneka kendaraan yang tak kenal sabar, berebut jalan searah yang cukup lebar. Menyusur jalan di antara gedung-gedung tua, Taman Fatahillah mulai nampak.
Penuh suara dan lalu-lalang orang. Pelajar mengisi liburan, gerombolan punk mencari identitas, anak-anak singkong bersepeda, dan para pedagang yang berupaya mengais keuntungan. Beberapa turis bule melintas di ujung seberang, menuju Café Batavia. Kafe yang cukup menarik, dua lantai dengan dekorasi luar didominasi warna hijau. Ada live music pada jam-jam tertentu. Aku pernah ke sana sekali, bersama Ayah dan teman-temannya. Dekorasi interiornya cukup megah, dengan mebel berkelas. Namun ketika melihat menu yang ditawarkan berikut harga yang tertera, aku langsung berpikir, tak akan mungkin aku kembali ke sini hanya dengan teman-temanku. Tak cocok untuk kantong pelajar.
Memang bukan Café Batavia tempat kesukaanku di Kota Tua. Tapi Taman Fatahillah, lapangan besar di depan Museum Sejarah Jakarta. Riuh-ramai beraroma klasik. Banyak pedagang menjajakan aneka barang, mulai dari pedagang makanan, pakaian, sampai aksesoris. Harga yang ditawarkan pun tak mahal. Kau bisa dapatkan seuntai kalung hanya seharga sepuluh ribu rupiah. Pas untuk kantong pelajar. Banyak juga yang menyewakan sepeda ontel. Ada yang untuk sendiri, bisa juga berdua, bahkan bertiga. Naik sepeda ontel tetap terasa menyenangkan, bahkan bagi yang sudah pernah mencobanya sekali pun.
Banyak juga yang melakukan atraksi di lapangan ini. Selalu ada setiap malam, apalagi ketika hari-hari libur. Banyak orang datang untuk menonton, tapi tak sedikit juga yang datang hanya untuk mencari makanan, melihat-lihat jualan, atau sekadar menghibur diri. Lapangan itu benar-benar seperti magnet, yang bisa menarik orang-orang di sekitarnya. Tanpa ada atraksi sekali pun, kurasa mereka akan tetap datang juga ke Taman Fatahillah.
Lagi-lagi, Diah menyadarkanku. “Bengong lagi? Mikirin apa sekarang?”
Aku tersenyum. “Sore ini, Kota Tua kelihatan indah banget ya, Di…”
Diah mengerutkan kening, lalu menatap Museum Fatahillah di depannya. “Bukankah memang selalu indah? Coba kamu lihat langitnya. Begitu biru, apalagi dipadukan dengan awan putih yang terlihat begitu halus.” Diah tiba-tiba menghela napas panjang. “Coba aku bawa kanvas... Setidaknya, buku sketsa deh…” lanjutnya.
Aku tertawa. Temanku yang satu itu memang seorang pelukis. Dengan mudah dia bisa terinspirasi benda-benda di sekitar. Biasanya, Diah selalu membawa buku sketsanya ke mana pun pergi. Aku juga tak tahu, kenapa dia bisa melupakan benda yang satu itu, yang katanya merupakan separuh jiwanya.
“Simpan dulu aja imajinasimu barusan. Nanti, baru dituangkan di rumah.”
Diah tersenyum seraya mengerling ke jam tangannya, “Sudah jam empat lewat nih, Kak Bayu di mana, ya?”
Belum sempat aku menjawab, sebuah tangan sudah menepuk pundakku. “Hai! Sudah lama nunggu, ya?” Kak Bayu tiba-tiba sudah berada di belakang kami. Mahasiswa arsitektur semester lima, yang suka ke Kota Tua, katanya untuk belajar dari keindahan bangunan-bangunan lama.
“Kak! Ke mana aja? Kami sudah nunggu lama di sini…” Diah, seperti biasa tetap bersemangat.
“Maaf, maaf… Tiba-tiba segerombolan remaja cewek menghampiriku, minta tanda tangan serta foto bareng. Padahal aku sudah pakai kacamata hitam ini, apa masih kurang?” Kak Bayu terlihat lelah, bisa kubayangkan. Kami malah tertawa.
Kak Bayu adalah seorang penyanyi dan pemusik. Dia mulai terkenal beberapa bulan lalu, ketika video dia bernyanyi sambil bermain gitar diunggahnya ke Youtube. Lagu yang dinyanyikan memang lagu yang dikenal anak muda sekarang, Sempurna oleh Andra and the Backbone. Cewek-cewek dibuatnya meleleh dengan suara dan gitarnya itu. Tambahan lagi wajahnya pun masuk kategori “ganteng”. Kak Bayu memang keturunan Belanda-Jawa.
Kami bertemu di Facebook. Aku, Diah, dan Kak Bayu tergabung dalam komunitas pecinta museum. Ketika diadakan pertemuan anggota, Diah baru menyadari, bahwa Kak Bayu yang sering chat dengannya, adalah Bayu yang “itu”. Kak Bayu tak pernah memasang fotonya sebagai profile picture. Selalu foto alam Indonesia. Diah  langsung melaksanakan sesi tanya-jawab dengan idolanya itu. Pembawaan Diah yang selalu segar dan bersemangat, membuat Kak Bayu yang pendiam jadi ikut bergabung denganku dan Diah. Sejak itu kami jadi dekat. Meski berstatus pacaran dengan Farid, teman sekelasnya, namun Diah beberapa kali mengungkapkan, dia tertarik juga dengan kak Bayu. Dasar Diah, selalu kelewat aktif.
“Dari sini, kalian ada rencana ke mana?” tanya Kak Bayu.
“Aku sih langsung pergi lagi, Kak. Nanti Ibu jemput. Kamu gimana, Kar?” Diah bertanya padaku.
“Gampang Di, aku bisa pulang naik bus kok.” Diah kadang terlalu khawatir kalau aku pulang malam, dan sendirian.
“Kamu, Kak? Nanti ada rencana pergi?” Diah kembali bertanya.
“Enggak ada, Di. Nanti aku yang anter kamu aja, gimana, Kar?” Kak Bayu bertanya padaku. Diah langsung senang.
“Iya, benar! Kamu pulang sama Kak Bayu aja, oke? Biar aman, biar aku tenang juga, ya?” aku jelas tak bisa berkata tidak, daripada Diah marah-marah.
“Memangnya kalian memberiku pilihan lain?” Diah dan Kak Bayu malah tertawa.
Satu jam selanjutnya kami habiskan untuk berkeliling Kota Tua dengan sepeda ontel. Berangkat dari Museum Wayang, menyeberang ke Museum Seni Rupa dan Keramik, melewati Stasiun Jakarta Kota, Museum Bank Mandiri, Museum BI, melintas Kali Besar, Jembatan Kota Intan, Toko Merah, ke utara ke arah Museum Bahari dan Pelabuhan Sunda Kelapa, balik ke Taman Fatahillah lewat Galangan Kapal VOC. Aku sampai hapal jalannya. Tapi, aku tetap suka. Andaikan Kali Besar dibersihkan, sungguh, tempat ini pasti akan semakin ramai. Yah, dengan bau kali yang kurang sedap ini saja, sudah ramai.
Tak lama setelah mengembalikan sepeda sewaan, Tante Ira, ibunya Diah, datang. Kami bercakap sebentar, lantas mereka pergi. Menjenguk kerabat yang sakit, cerita Tante Ira.
“Kita mau langsung pulang juga, Kar? Atau kamu mau jalan lagi?”
Kulirik jam, setengah enam. Lelah, tapi masih ingin di sini. Sebentar lagi lampu-lampu penghias pohon-pohon akan menyala. Sudah sering ku melihatnya, tapi tetap suka.
“Mau lihat lampu lagi?” ucap Kak Bayu tiba-tiba. Aku terkejut. “Aku sudah kenal denganmu cukup lama untuk mengetahui itu, Kar.” Dia tertawa.
“Pikiranku mudah dibaca, ya Kak?” Sungguh, ternyata bukan Diah saja.
Kak Bayu hanya tertawa. “Cari tempat duduk yuk. Kamu lapar?” tanyanya.
Aku menggeleng. “Belum, sepertinya.” Bunda selalu menyiapkan roti lapis dan snack untuk bekal jalan-jalan, sudah kuhabiskan bersama Diah tadi siang.
“Tapi dari tadi siang kamu belum makan, kan? Daripada sakit, Kar. Kalau sakit, liburan di rumah doang, loh…” paksanya.
Liburan di rumah sama sekali bukan ide bagus, apalagi untukku yang tak betah diam.
“Ya sudah, yuk!” ajakku. Kak Bayu segera tersenyum.
“Kamu itu, kalau gak dipaksa pasti gak bakal makan sampai besok deh…” Dia tertawa, mengusap kepalaku sebentar sambil berjalan mendahului.
Aku tertegun sebentar. Refleks, tangan kiriku bergerak memegang kepala. Kemudian tersenyum, dan segera mengejarnya.
“Mau makan apa? Ketoprak? Atau kwetiau?” tawarnya.
“Lagi mau kwetiau, nih, kayaknya…”
Kami masuk ke salah satu tenda makanan yang menjual nasi goreng, mie goreng, dan semacamnya. Kwetiau untukku, nasi goreng untuknya, dan es jeruk untuk kami berdua.
Kak Bayu menceritakan pengalamannya bermusik. Dari ayahnya dia belajar tentang kunci-kunci gitar, memainkan melodi yang indah. Dari ibunya dia belajar bernyanyi, cara mengatur napas agar dapat mencapai nada tinggi dengan baik. Dia bercerita, senangnya ketika berhasil memainkan satu lagu dengan gitar, berhasil mencapai nada tinggi pertamanya.
“Lalu, siapa yang punya ide untuk mengunggah video Kakak ke YouTube?” tanyaku.
“Teman-teman di kampus. Mereka yang semangat. Malah ada beberapa teman cewek yang bilang, kan biar punya temen artis gitu, kali aja suatu saat kamu terkenal,” ceritanya sambil menirukan suara perempuan.
Aku tertawa. “Yah, setidaknya kalau nanti kamu sudah benar-benar terkenal, aku punya banyak foto kamu, Kak, jadi gak usah repot-repot kayak cewek-cewek tadi, kan?”
“Wah iya, benar juga. Asal jangan publikasikan foto-fotoku yang jelek ya, bisa hancur citraku nanti…”
“Tadinya sih gak kepikiran… Tapi karena kamu ingatkan, yah, itu bisa jadi pertimbangan kalau kamu tiba-tiba jadi sombong, Kak… Hahaha…”
Setelah beberapa saat berbincang tentang aneka hal, aku teringat. “Kak, aku belum pernah lihat kamu nyanyi langsung, loh. Kapan-kapan, nyanyi untukku dan Diah, dong…”
Kak Bayu hanya tersenyum dan tiba-tiba berkata, “Sudah nyala lampunya tuh, Kar…”
Aku memandang ke luar tenda, tertegun beberapa saat. “Indah ya, Kak. Aku selalu suka melihatnya…” Tak ada jawaban. Aku menoleh, dan mendapati bangku kosong. Ke mana dia pergi? Masa iya, dia tega meninggalkanku di sini sendirian? Masih kebingungan, tiba-tiba ku dengar dia memanggil namaku.
Kak Bayu menghampiri sambil membawa gitar. “Katanya, kamu minta aku nyanyi, kan? Kebetulan ada gitar, nih…”
Aku tertegun, masih tak percaya dia mengabulkan permintaanku tadi. Kak Bayu mulai memainkan gitarnya, mendendangkan lagu yang membuatnya dikenal banyak orang.

Kau begitu sempurna
Di mataku kau begitu indah
Kau membuat diriku
Akan selalu memujamu

Di setiap langkahku
Ku kan selalu memikirkan dirimu
Tak bisa ku bayangkan 
Hidupku tanpa cintamu
(Sempurna – Andra and The Backbone)

Suaranya indah mengalun. Aku terdiam. Setelah dentingan terakhir dipetiknya, terdengar banyak tepuk tangan. Ternyata Kak Bayu sudah menarik banyak penonton. Dia tersenyum ke arahku, lantas menghampiri beberapa pengamen dan mengembalikan gitar itu.
“Bagaimana kamu bisa meminjam gitar itu?” aku benar-benar heran, sungguh. Ini orang apa tidak punya malu?
“Aku sewa dari pengamen-pengamen itu. Kan, kamu bilang mau dengar aku nyanyi langsung. Aku sudah kabulkan, senang kan?”
Aku terkejut. Senang, malu, bahagia. Aku tersenyum. “Kak, terima kasih. Sungguh. Baru kali ini, ada yang menyanyikan lagu khusus buatku. Kamu yang pertama, loh…”
“Iya? Wah, aku tersanjung, kalau begitu…” dia tertawa.
“Kak, kamu…tadi itu, apa gak malu? Dilihat banyak orang gitu…”
“Hey, aku ini pemusik, penyanyi, kalau pemalu, bagaimana bisa dikenal? Lagipula, kan kamu yang memintanya, Kar…”
Lagi-lagi aku dibuatnya terkejut. Aku terdiam, penuh rasa berkecamuk.
“Kar?” Kak Bayu melambaikan tangannya di depan wajahku. Aku tersadar. “Jangan melamun, sudah malam. Kamu udah capek?”
Aku rasanya sudah tak sanggup mengucap apapun. Jadi, aku mengangguk.
“Pulang yuk!” Kak Bayu beranjak dari kursinya. Ketika aku mengeluarkan dompet, dia malah menggeleng, dan segera membayar pesanan kami.
Kak Bayu membiarkanku berjalan duluan. Aku masih terkejut. Bahkan tak sanggup mengucap terima kasih. Kenapa tiba-tiba ada rasa yang berbeda? Seharusnya tidak. Kak Bayu memang ganteng, bersuara indah, trampil bermain gitar. Tapi, selama ini biasa saja.
“Kar, awas!” Kak Bayu menarik lenganku. Hampir aku tertabrak sepeda. Rombongan sepeda ontel itu tak terlalu peduli, lewat di sisiku. Tiba-tiba, aroma wangi yang tertanam di memoriku, semerbak memenuhi udara sore. Walau hanya tampak punggungnya di atas sepeda ontel, tapi serasa ku kenal betul pemilik aroma wangi ini. Museum BI, setahun lalu.
“Mikirin apa sih? Sampai gak sadar jalan gitu. Bahaya tau.” Kak Bayu sedikit marah.
Aku berusaha menyadarkan diri. “Maaf, benar-benar gak tau kenapa … Maaf, Kak…”
Dia menghela napas. “Yang penting kamu baik-baik aja sekarang.”
Kak Bayu berjalan mendahului, membukakan pintu mobil untukku. Aku hanya bisa tersenyum. Selama perjalanan pulang, kami tak banyak bicara. Suara gitar dan nyanyian Kak Bayu, serta aroma wangi pemuda di Museum BI setahun lalu, seakan memenuhi ruang mobil.
Sampai di rumahku, setelah berpamitan dengan kedua orang-tuaku, ia segera kembali ke mobilnya. Kami di teras depan, ketika dia bertanya, “Besok, kamu ada rencana gak, Kar?”
Aku berpikir sebentar, dan segera menggeleng. “Belum, Kak. Ada apa?”
“Main ke Dufan, yuk!”
“Bukannya udah pernah ke sana ya, Kak? Lagian pasti rame deh besok…”
“Iya sih, tapi kan tetap seru. Makanya, kita pergi dari pagi, gimana?”
“Boleh aja sih…” Entah kenapa aku mengiakan, padahal untukku Dufan cukup menakutkan. “Diah boleh ikut?” tiba-tiba teringat temanku yang satu itu, dan aku juga merasa, pasti akan canggung kalau hanya berdua.
Kak Bayu terdiam sebentar, lalu, “Boleh, ajak aja. Kamu telpon aja sekarang.”
Aku segera menekan tombol ponsel. Tak lama, suara Diah terdengar di ujung sana.
“Di? Besok kamu ada rencana pergi gak? …. Ooh, gitu ya? Sampai malam? Oh, ya sudah …. Iya, diajakin Kak Bayu ke Dufan …. Hahaha, ya sudah, …. jangan sedih gitu, lain kali ikut yaa. Oke, daaah.” Aku pun memutus sambungan.
“Diah mau ke mana?” tanya Kak Bayu.
“Ada acara keluarga, di Bogor. Dia kesel banget kayaknya, gak bisa ikut besok. Hahaha,” aku teringat Diah yang tiba-tiba histeris ketika kuberitahu rencana besok.
“Aku bisa membayangkan itu.” Kak Bayu tertawa. “Ya sudah, besok tetap jadi, kan?” Aku mengangguk. “Aku jemput sekitar jam tujuh ya.” Lagi-lagi aku mengangguk.
“Langsung tidur ya, biar besok gak capek. Selamat malam, Kar.” Kak Bayu pamit.
“Iya, Kak. Selamat malam juga.” Aku tersenyum dan membukakan pagar untuknya.
Setelah mandi, tubuhku terasa segar, tapi hatiku masih pepat. Makan malam berlauk cumi goreng tepung kesukaanku, tapi lidah tak bisa menikmatinya. Untung perhatian Ayah-Bunda tersita oleh cerita adikku tentang pertandingan pencak-silatnya tadi siang. Beralasan lelah, aku minta ijin tidur lebih dulu. Ternyata sendiri di kamar tidur pun tak membantu. Dinding-dinding kamar memantulkan suara Kak Bayu bernyanyi sambil bermain gitar, dari kisi-kisi jendela, angin mengalirkan semerbak arowa wangi si pemuda Museum BI, entah siapa namanya? Sementara di langit-langit, wajah Diah yang tersenyum riang membuatku semakin sulit tidur. Namun akhirnya, tubuh lelahku tak kuasa menahan berat mata.

Selanjutnya: Bagian 2

Selintas Sejarah Secercah Asmara - Bagian Akhir



Aku terbangun karena dering nyaring ponselku. Susah payah aku bergerak meraihnya, dan melihat nama ‘Diah’ tertera di layar.
“Lari pagi yuk, Kar!!” ujar Diah semangat di seberang.
“Di… ini baru jam lima lewat sedikit loh. Aku masih ngantuk…” aku menguap, dan memejamkan mata lagi.
“Ayolah, Kar! Masa liburan malah malas-malasan gitu. Nanti Kak Bayu keburu diambil orang, loh…”
“Diiii, kenapa Kak Bayu terus sih???” aku langsung terjaga.
“Hahaha, aku kenal kamu, Kartika. Aku tahu kok kalian makin dekat sekarang. Lagipula, kalau kalian pacaran juga gak ada ruginya, kan?”
Aku merutuk. Anak itu … Dia cenayang, sepertinya.
“Sudah, ayo cepat bangun! Sebentar lagi aku dan Kak Bayu menjemputmu. Dandan yang cantik yaa, hahaha. Daah!” sambungan diputus.
Diah benar-benar deh…
Tapi, aku mengakuinya juga. Sepertinya memang cukup terlihat dari gerak-gerik kami. Aku segera saja membasuh muka dan gosok gigi. Kemudian sedikit menyiram badan agar segar. Tidak perlu mandi, toh sebentar lagi juga lari, keringatan.
Aku membuka lemari dan mendapati kaos yang kubeli samaan dengan Kak Bayu di Dufan kemarin. Setelah menimbang cukup lama, aku segera memakainya.
“Cieee, kalian kompakan gitu deh! Jodoh banget!” reaksi histeris dari Diah adalah yang pertama kali kudengar ketika dia dan Kak Bayu memasuki ruang makan.
Aku dan Kak Bayu hanya tertawa. Kami mengenakan kaos yang sama. Masing-masing pasti tidak menduga akan seperti ini. Bagaimana pun aku tetap merasa senang. Ketika melihat ke arah Kak Bayu, dia hanya tersenyum. Dan ketika mata kami bertemu, aku segera mengalihkan pandangan. Namun dari sudut mata aku bisa melihatnya tersenyum kepadaku.
Setelah sarapan dan berpamitan, kami segera berangkat menuju Gelora Bung Karno di Senayan. Jam masih menunjukkan pukul enam pagi ketika kami mulai berlari. Banyak juga orang yang ikut berlari pagi itu. Tidak heran, memang masa liburan anak sekolah.
Kami mulai berlari mengelilingi stadion bola. Baru dua putaran, Diah sudah menyerah. Kekenyangan, katanya. Dia memutuskan istirahat duluan, sambil duduk di pinggir. Aku dan Kak Bayu melanjutkan berlari, menambah dua putaran. Ketika sudah sama-sama lelah, kami beristirahat menemani Diah.
Ketika sedang membeli minuman, kulihat Kak Bayu berjalan ke arah parkiran mobil.
“Dia gak mungkin ninggalin kita, kan?” tanyaku ke Diah.
Diah tertawa. “Ya enggaklah, Kartika. Aneh-aneh aja pikiranmu. Paling dia ngambil barang ketinggalan di mobil.” Aku mengangguk-angguk setuju.
Tak lama kemudian Kak Bayu kembali membawa gitarnya. Diah memekik kesenangan, sedangkan aku hanya syok.
“Kak Bayu mau ngapain, Di…” Diah malah menyuruhku untuk diam, kemudian dia menghampiri Kak Bayu, mereka ngobrol sebentar, dan mereka menghampiriku.
“Kak, kamu mau ngapain bawa gitar gitu?”
“Dengerin dulu aja ya, Kar. Ini lagu buat kamu.”
Kak Bayu kemudian mulai memetik gitarnya. Terdengar nada indah yang mengalun. Sebuah lagu yang sepertinya kukenal.

Berjuta rasa rasa yang tak mampu diungkapkan kata-kata
Dengan beribu cara cara kau slalu membuat ku bahagia
Kau adalah alasan dan jawaban atas semua pertanyaan
Yang benar-benar ku inginkan hanyalah
Kau untuk slalu di sini ada untukku

Maukah kau ‘tuk menjadi pilihanku
Menjadi yang terakhir dalam hidupku
Maukah kau tuk menjadi yang pertama
Yang slalu ada di saat pagi ku membuka mata
Oh, izinkan aku memilikimu, mengasihimu
Menjagamu, menyayangimu
Memberi cinta, memberi semua yang engkau inginkan
Selama aku mampu aku akan berusaha
Mewujudkan semua impian dan harapan
‘tuk menjadi kenyataan
(Pilihanku - Maliq & D’essentials)

Seperti sebelumnya, dia menarik banyak penonton di sekitar. Aku masih terkejut, dan juga bahagia. Untukku, katanya? Ya Tuhan…
“Kartika Aurora, maukah kamu jadi kekasihku?”
Aku bingung. Sungguh. Rasanya selama setahun kemarin aku masih memikirkan Radit, namun tiba-tiba Kak Bayu menyatakan perasaannya. Aku memang mulai bisa merasakannya. Sikapnya kepadaku, selalu berbeda dari yang ditunjukkannya untuk Diah. Selalu lebih manis.
Aku menengok ke arah Diah, dia tersenyum seraya menganggukan kepala. Aku bisa melihat wajah Kak Bayu yang terlihat cemas, menunggu jawabanku. Aku menarik napas dalam-dalam, dan mengangguk yakin. Kak Bayu terlihat lega dan senang. Dia tersenyum, dan meraihku dalam pelukannya. Banyak orang bersorak senang, Diah juga.
“Kamu membuatku cemas, Kar…” bisiknya.
“Salahmu. Kamu yang membuatku malu, Kak,” balasku.
“Tapi senangkan?” Kak Bayu melepas pelukannya. Aku mengangguk. “Oh iya, jangan panggil ‘Kak’ lagi…” aku tertawa.
Diah menghampiriku, memelukku erat. “Maaf ya Di…” bisikku.
“Gak apa, aku kan punya Farid,” bisik Diah di telingaku, suaranya agak bergetar.
Selama ini kami memang selalu bisa saling memahami. Tapi, sering kudengar cerita, kehadiran seorang lelaki yang menghancurkan persahabatan dua orang perempuan. Ah… pikiranku kembali terlalu jauh pergi.
Diah beranjak dan gantian memeluk Kak… mm... Bayu maksudku.
Tiba-tiba hatiku terasa lapang. Ini sungguh membahagiakan.
Tiba-tiba juga, ada aroma wangi tertentu yang menyentuh hidungku, mengalir bersama angin pagi. Entah kenapa, sosok Radit tiba-tiba muncul begitu saja di kepalaku.
 “Sejarah tak pernah berjalan lurus, selalu ada liku-liku. Itu yang membuatnya menarik,” ucapan Radit terngiang di telingaku.
Ah… kenapa bahagia masih juga disertai galau.

Selintas Sejarah Secercah Asmara - Bagian 3



“Selamat pagi, Kartika! Ayo bangun!”
Aku mengerjap, berusaha membuka mata. Diah duduk di ujung tempat tidurku.
“Ayo bangun! Hari ini kita mau ke Museum Nasional! Jadi, ayo bangun!”
“Hah? Aku capek, Di…!”
“Gak boleh gitu. Sekarang sudah hampir jam sembilan, Kar! Kak Bayu aja udah ada di bawah tuh.” Mendengar nama itu, aku tersadar sepenuhnya.
“Kak Bayu….ada di bawah? Di bawah? Di rumahku?”
Diah hanya tersenyum dan beranjak ke luar kamar. “Buruan mandi…” serunya.
Dua puluh menit kemudian aku sudah di meja makan, bersama Diah dan Kak Bayu.
“Tumben cepet, Kar. Biasanya mandi sejam,” Diah menyindir. Aku hanya tersenyum.
Seperti biasa ketika liburan, sarapan pagi itu gorengan dan teh manis hangat. Aku paling suka tahu isi. Diah dan Kak Bayu lahap juga menghabiskan singkong dan tempe goreng yang tersisa. Gorengan habis, kami berangkat.
Melintas gerbang Museum Nasional, aku menengok ke taman depan, memandang ke patung gajah kecil di atas menara batu. Kebiasaanku. Mengecek, masih adakah patung gajah di tempatnya. Museum ini biasa disebut juga Museum Gajah, karena adanya patung gajah kecil itu, hadiah dari Raja Thailand tahun 1871. Ini memang museum pertama, dan yang terbesar, di Asia Tenggara. Koleksinya termasuk lengkap. Dari jaman prasejarah sampai jaman kolonial. Banyak barang etnografi, benda-benda bukti budaya dari Sabang sampai Merauke. Lebih dari sepadan dibanding harga tiketnya yang cuma lima ribu rupiah.
Masuk ke museum, aku segera ke bagian etnografi, berpisah dari Diah dan Kak Bayu yang lebih suka ke gedung baru. Menurut mereka, penataan pameran di sana lebih bercerita. Di gedung baru itu, aku paling suka lantai dasarnya. Bercerita tentang manusia di Indonesia, dari yang purba sampai yang sekarang. Ada panel-panel kaca besar-besar yang menceritakan sejarah manusia, dengan ilustrasi gambar yang menarik. Diah juga sangat suka gambar-gambar itu, sedangkan Kak Bayu lebih senang membahas cara penataannya. Aku tak terlalu peduli, gimana cara menatanya, asalkan ceritanya menarik. Atau bendanya memang unik.
Di museum ini, kesukaanku adalah peta etnografi besar. Di sebelahnya, ada juga peta Bahasa-bahasa Daerah di Indonesia, yang tak kalah besar. Aku selalu kagum, mengetahui ada begitu banyak bahasa daerah di Indonesia, dan aku bisa melihat seluruhnya dalam sebuah peta besar. Oh, betapa mudahnya mendapatkan informasi sejarah di sini, di museum. Ada puluhan museum di Jakarta, belum semuanya bisa kukunjungi. Museum adalah salah satu alasanku cinta kota Jakarta. Dan aku sangat bangga karena bisa tinggal di Ibu Kota Negara.
“Besar sekali, ya?” sebuah suara mengagetkanku. Aku menoleh, dan terkejut.
Seorang pemuda sebaya berdiri di sebelahku, ikut melihat peta-peta di hadapan kami. Aku mengenalnya. Suaranya, yang aku ingat dengan baik, dan wanginya yang khas, yang tidak pernah kulupakan. Museum BI, setahun lalu.
Dia menoleh, menatapku, dan terlihat berpikir. “Apakah kita pernah bertemu?”
Aku terkejut. Tak sanggup berkata-kata. Apakah dia mengingatku? Mungkinkah?
Tanpa menunggu jawabanku, dia menjentikkan jari sambil tertawa. “Ah! Benar juga! Kita pernah bertemu, kan? Tahun lalu? Acara di Museum Bank Indonesia. Kau ingat?”
Bagaimana mungkin aku lupa. Aku hanya tak bisa berkata. Berusaha mengendalikan diri, akhirnya aku tersenyum, dan mengangguk.
“Iya, benar. Kamu masih ingat ternyata.” Aku benar-benar tak dapat menyembunyikan rasa senangku. Mukaku pasti sudah merah saat ini.
“Tentu saja! Kita berbincang cukup lama saat itu, dan kamu jelas memiliki banyak pengetahuan yang menarik. Pecinta sejarah, kah?”
“Tentu, sejarah selalu menarik.” Dia tersenyum dan mengangguk setuju.
“Ah, sebelum kelupaan lagi…” dia mengulurkan tangannya. “Radit.”
Aku menatap uluran tangannya sebentar, sebelum menyambutnya, “Kartika.”
Setelah itu, kami berbincang cukup lama. Radit ternyata menyenangkan. Dan kami menyukai banyak bidang yang sama. Radit mahasiswa Antropologi semester ketiga. Lebih muda dari kak Bayu, pikiranku tiba-tiba saja membandingkan keduanya.
Perbincangan itu menarik, tapi aku banyak tergagap karena sibuk mengamati lawan bicaraku. Kulit sawo matang, rambut agak panjang, alis hitam tebal. Matanya agak sipit, tapi tatapannya jernih. Hidung tidak terlalu mancung, tapi dagunya tampak kokoh. Bibir tipisnya berhias kumis yang tak terlalu tebal, dengan janggut yang tampak samar. Agaknya beberapa senti lebih tinggi dari Kak Bayu, tapi lebih langsing. Wanginya, ….weh, weh weh….
Aku berusaha konsentrasi pada pembicaraan. Di Museum Bank Indonesia tahun lalu, rupanya Radit jadi salah satu panitia Museum Day, bersama teman-teman sekampusnya. Inetrnational Museum Day, diperingati setiap tanggal 18 Mei. Saat itu seluruh museum di seluruh dunia, serentak menggelar berbagai acara, dengan mengusung tema yang sama. Aku datang ke acara itu bersama teman-teman komunitas pecinta museum.
Saat ini Radit dan teman-temannya sedang membantu Museum Nasional, mendata ulang koleksi mereka. Wah senangnya, bisa kerja di museum. Tiap hari bergumul dengan sejarah dan budaya. Bertemu sejarah panjang bukti-bukti kehidupan manusia di bumi. Mengungkap cerita di balik setiap benda.
Aku tidak tahu sudah berapa lama kami berbincang, namun tiba-tiba segerombolan anak lelaki memanggil Radit. Tak hanya lelaki, ada juga yang perempuan.
“Maaf, aku harus tinggalkan kamu nih,” ujar Radit sambil tersenyum. “Jam istirahatku sudah habis. Kamu sangat menyenangkan, Kartika, semoga kita bisa ngobrol lebih banyak lagi nanti. Sampai jumpa lagi,” masih tersenyum, dan melambai sambil berjalan menuju teman-temannya. Adakah di antara cewek-cewek itu, pacar Radit? Ah, apa urusanku, kalaupun Radit berpacaran dengan salah satu teman kuliahnya. Mereka menjauh, sementara wangi tubuh Radit masih semerbak di udara ruang etnografi.
“Sampai jumpa lagi” apa itu artinya kami akan berjumpa lagi? Semoga. Ya Tuhan, aku benar-benar senang, akhirnya bisa bertemu dengan orang itu lagi.
“Ngapain kamu senyum-senyum sendiri, gitu?” Diah tiba-tiba sudah berada di sebelahku, diikuti Kak Bayu.
“DIIIII!!” aku segera memeluknya. “Aku ketemu sama dia lagi.” Aku memekik kesenangan.
“Dia? Dia siapa?” Diah tidak mengerti. Namun, ketika tak kunjung mendapat jawaban dariku, dia menyimpulkan sendiri. “Serius kamu, Kar? Serius?!” Diah malah ikut-ikutan tertawa senang.
“Namanya Radit,” kataku ketika kami berdua sudah mulai tenang. “Emang kamu gak bisa membaui wanginya?” tanyaku, “masih terasa koq…”
Diah membulatkan mulutnya, “Cuma kamu yang bisa membaui wangi itu. Jangan-jangan dia… “ Diah tak melanjutkan bicara, memilih menungguku melanjutkan cerita.
“Kalian ngomongin siapa, sih?” Kami melupakan kehadiran Kak Bayu. Dia jelas tidak tahu-menahu soal ini sama sekali.
“Sstt!” Diah meletakkan telunjuknya di bibir, menyuruh Kak Bayu diam agar aku tetap melanjutkan ceritaku. Kuceritakan kejadian yang baru kualami, ditambahi sedikit cerita mengenai kejadian setahun yang lalu, agar Kak Bayu bisa mengerti.
Sore itu, setelah merasa cukup di Museum Gajah, kami mengunjungi Monas. Sekadar duduk-duduk di tamannya, karena untuk masuk dan naik ke puncak, antrian panjang sekali.
Hampir pukul empat, kami mulai kelaparan, sementara bekal makanan sudah habis. Kak Bayu mengajak makan di dekat Sarinah, di sana banyak warung tenda yang tak terlalu mahal, meski sore begini pilihan semakin sedikit. Kami memasuki warung soto ayam, dan mulai menikmati hangatnya kuah soto di tenggorokan. Sambil makan aku dan Kak Bayu membahas gedung Sarinah yang cukup bersejarah. Sementara Diah berusaha mengalihkan pembicaraan ke masalah kuliner. Tentang aneka soto di Nusantara.
Menjelang magrib kami sudah di jalan pulang. Pertama kali mengantar Diah, karena rumahnya berada di bagian depan kompleks perumahan kami. Kemudian ke rumahku, yang berada agak di bagian belakang. Rumah Kak Bayu tak jauh dari kompleks perumahan ini.
Saat di rumahku, Kak Bayu tiba-tiba bertanya, “Cowok tadi, Radit itu, kamu sudah lama suka sama dia?”
Aku tertawa. “Kayaknya bukan suka sih, Kak. Mungkin awalnya iya, tapi setelah ketemu lagi tadi, aku malah merasa lega. Mungkin selama ini cuma penasaran kali, ya…”
Kak Bayu mengangguk-angguk. “Ada apa sih, Kak?” Namun dia hanya menggeleng.
“Berarti sekarang kamu lagi gak suka sama siapa-siapa dong?” tanyanya lagi.
“Kayaknya sih begitu, deh. Ada apa sih, Kak? Bener deh.” Dia menggeleng lagi.
“Sudah ya, Kar. Aku pulang dulu, kamu istirahat yang cukup ya. Selamat malam, Kartika.” Kak Bayu mengelus kepalaku lagi, sebelum berjalan menuju mobilnya, dan menghilang di remang senja.

Selanjutnya: Bagian Akhir

Selintas Sejarah Secercah Asmara - Bagian 2

Sebelumnya: Bagian 1

Esoknya, Kak Bayu sampai di rumah pukul 07.02, tepat ketika sarapanku sudah habis. Setelah berbincang sebentar dengan Ayah-Bunda, kami segera pamit pergi.
 “Kamu gak takut tinggi kan, Kar?” Tanya Kak Bayu ketika di mobil. Aku menoleh ke arahnya sambil nyengir. “Serius? Ya sudah, nanti harus berani loh…”
“Kak… jangan kejam begitulah terhadapku…” ucapku dramatis.
“Gak kejam, cuma bantu mengurangi ketakutanmu,” senyumnya manis. Ya Tuhan…
Lagi-lagi, tak banyak percakapan di mobil. Musik di radio yang mendominasi.
Memasuki Ancol, aku mulai merasa takut. Makin dekat Dufan, makin takut. Ketika antri tiket, aku benar-benar diam. Menjawab seperlunya jika Kak Bayu bertanya. Saat masuk arena Dufan, kakiku gemetar. Tak sadar kuraih lengan Kak Bayu, mencengkeramnya erat.
“Kak… jangan naik yang aneh-aneh ya…”
Dia hanya tersenyum. “Ada aku Kar, gak usah takut. Kora-kora, yuk!” Aku melotot, tapi entah kenapa tak bisa menolak. Atau tidak mau. Aku ingin mempercayai kata-katanya.
Akhirnya, aku ikut saja mengantri. Aku yakin, wajahku sudah pucat pasi sekarang. Dan karena masih pagi, antrian tak begitu panjang. Saat sudah duduk dan sabuk pengaman sudah terkunci, aku menatapnya dengan mata berair. Rasanya benar-benar ingin menangis.
Kak Bayu mengelus kepalaku lagi. “Sshh, sudah, jangan nangis. Malu tahu, diliatin orang. Berani kok, berani. Pegang tanganku sini. Kalo udah gak kuat lagi, tutup mata aja, terus teriak yang kencang, ya…! Oke?” aku mengangguk saja. Ketika operator mulai menyalakan mesin, tangan kananku sudah berpegangan kencang pada sabuk pengaman, dan tangan kiriku mencengkeram kuat tangan Kak Bayu. Setelah beberapa menit, aku benar-benar teriak kencang. Tanpa henti, sampai waktunya habis. Ketika turun, aku merasa pusing luar biasa, dan Kak Bayu segera merangkulku ke tempat duduk.
“Pusing banget, Kar? Maaf ya, aku maksa kamu buat naik wahana kayak gitu…” Kak Bayu memberiku sebotol air mineral dari tasnya.
Aku menenggaknya, “Gak apa-apa, Kak. Aku juga sebenernya pengen nyoba, cuma selama ini gak ada teman aja, makanya makin lama makin takut. Harusnya kamu bangga, Kak. Cuma kamu yang bisa membuat aku yakin buat naik wahana kayak gitu.”
Kak Bayu tersenyum. “Ya sudah, sekarang kita ke wahana yang ringan aja, yuk…” dia mengulurkan tangannya. Ragu, tapi kusambut juga akhirnya.
Kak Bayu membawaku ke Rumah Kaca, Rumah Miring, dan Rumah Boneka. Yang seperti ini, mudah ku tangani. Kami memutuskan istirahat ketika jam menunjukkan pukul 12.40. Setelah makan, aku malah mengantuk. Kak Bayu, yang sepertinya bisa merasakan kantukku, mengajukan permintaan yang aneh. “Kar, roller coaster, mau ya?”
“Gak!” tolakku mentah-mentah.
“Ayolah, Kar. Roller coaster disini cuma sebentar kok. Gak berasa deh, pasti. Setelah itu kita naik bianglala, gimana?”
“Bianglala? Kak, itu penyiksaan untuk orang dengan phobia seperti aku, tau…!”
“Kan ada aku, Kartika.”
Kata-kata itu, lagi. Aku ingin mempercayainya. Sungguh. Sebagian kecil dari hatiku tahu Kak Bayu sungguh-sungguh ketika mengatakan itu. Terlihat dari sinar matanya.
“Atau pemanasan di Arung Jeram dulu, gimana?” Seperti tersihir, aku mengangguk.
“Yuk!” Dia segera meraih tanganku.
Aku naik Arung Jeram tanpa rasa apapun, karena kepalaku dipenuhi bayangan tentang roller coaster. Ketika akhirnya kami naik roller coaster, benar-benar seperti mimpi buruk tak berujung. Walau hanya beberapa menit, berada di roller coaster untuk pertama kalinya sungguh pengalaman tak terlupakan. Menyenangkan, memang, namun mendebarkan. Serasa jantung loncat dari tempatnya. Turun dari wahana itu, Kak Bayu malah tertawa senang.
“Tadi benar-benar menyenangkan, Kar! Aku senang kamu berani.”
Benar juga. Tumben aku berani. Pertama kali ke Dufan, aku menjauh dari semua wahana menyeramkan itu. Aku juga tidak mengerti, kenapa sekarang berani mencoba.
“Bianglala!” Belum sempat aku merespon, Kak Bayu sudah menarik tanganku, dan membawaku ke wahana satu itu.
Aku benar-benar takut. Tak terasa, tahu-tahu sudah berada di paling puncak. Meski takut, aku berusaha memberanikan diri melihat ke luar. Indah memang, aku bisa melihat Teluk Jakarta dari sini. Di sisi lain, deretan gedung-gedung tinggi di langit senja Jakarta.
“Ada keindahan yang hanya bisa dilihat dari ketinggian tertentu, Kar. Ini semua sepadan kan, dengan mengatasi ketakutanmu itu?”
Aku menoleh ke arahnya, tersenyum dan mengangguk. “Terima kasih, Kak.”
Turun dari bianglala, kami pergi ke toko cinderamata. Kami sepakat untuk membelikan Diah oleh-oleh, karena dia tak bisa ikut. Di perjalanan pulang, aku tertidur.

Selanjutnya: Bagian 3

Aku dan Saman - Bagian 2

Sebelumnya: Bagian 1

“Adik-adik, kami telah memilih lima orang, yang nanti akan dinilai lagi sepanjang masa latihan, untuk dipilih dua orang yang akan tampil,” kata Bang Fahri. “ Mereka adalah Anin, Ita, Fitri, dan Salmah, dari Tim B; serta Gendis  dari tim C.”
Aku terpana. Seluruh anak kelas X bersorak gembira.
“Selamat ya, Gendis,” sapa Kak Meutia, mengejutkan Gendis. “Gerakan kamu sudah makin bagus, makin kuat.”
*
Empat hari berlalu sejak terpilihnya lima nominasi peserta lomba. Mereka harus berlatih tiap hari, kadang di sekolah, kadang di rumah Kak Mei. Namun Kak Ita yang menjadi petugas penghubung, tak pernah mengabari Gendis. Ia pontang-panting mencari informasi waktu dan tempat latihan, dan selalu hadir terlambat. Bahkan kemarin ia tak dapat ikut latihan. Saat bertemu Kak Salmah di perpustakaan, ia jelaskan situasinya. Menurut Kak Salmah, mungkin kakak-kakak kelas itu sengaja menghalangi kehadiran Gendis. Kak Salmah akhirnya yang selalu mengabari Gendis. Sejak saat itu Gendis selalu hadir tepat waktu. Kak Salmah pun makin akrab dengannya, namun yang lain tampaknya justru semakin sinis dan tak senang terhadap Gendis. Seminggu menjelang lomba, Bang Fahri dan Kak Meutia mengumumkan hasil seleksi.
“Setelah kami menilai penampilan para calon pengganti dua minggu ini,” Bang Fahri berhenti sesaat, “Saya dan Kak Meutia memutuskan, yang akan tampil adalah Anin dan Gendis.”
Aku sungguh bahagia. Ingin teriak, tapi tak ada suara yang keluar. Kak Salmah menyalamiku, semua teman memberi selamat. Juga Kak Ita dan Kak Fitri, meski aku merasakan gelombang iri hati mereka. Rasa bahagiaku tiba-tiba menurun.
*
Hari Lomba, Sabtu. Seluruh anggota Tim berkumpul di sekolah sejak pukul enam pagi, untuk rias wajah dan busana. Pukul sembilan mereka berangkat bersama dengan bus sekolah. SMA 207 akan tampil di urutan kedua. Ternyata tim yang seharusnya tampil pertama, tak hadir. Gendis dan kawan-kawan harus tampil. Demam panggung menyerang. Seluruh tubuh Gendis gemetar. Kak Mei mengajak anggota tim berdoa bersama, sebelum melangkah ke panggung.
Ketika kaki menapak panggung, seiring doa di hati, kekuatanku kembali. Aku sudah berlatih keras, jalani semua usaha. Ini saatnya lakukan yang terbaik. Suara Bang Fahri mengalun.
Hai… dengalon kisah dengalon kisah has bo hai baran
bayan tereubang bayan tereubang kajiden cet jeumpa
di langit bintang di langit bintang, kajide mo pageu
bulen ate gle bulen ate gle melele asa…
Aku bergerak mengikuti alun suara Bang Fahri, berpadu, menyatu dengan irama. Sorotan lampu panggung, membuatku tak melihat jelas situasi sekitar. Aku terus bergerak. Hanya gerak.
Gemuruh tepuk tangan mengembalikanku ke panggung. Ucapan selamat menyambut saat kami turun panggung. Ada Kak Ida, juga Kak Dewi yang masih bertongkat. Aku lelah.
“Gendis, selamat yaa… Kamu bagus banget,” suara ceria menyapaku dari samping.
“Eeh…Jinan! Apa kabar…? Kamu ikutan juga?” Jinan sahabat SMPku.
“Iyaaa nih… Grogi deh. Aku tampil urutan tiga nanti.”
“Tenang aja… nanti juga hilang groginya.” Jawabku meyakinkan.
Sepanjang siang sampai sore, Gendis bercengkerama dengan Jinan dan Thea. Waktu lewat tak terasa. Tiba saatnya pengumuman lomba. Sekolah Jinan memperoleh Juara Harapan I, mereka semua turut bersorak-gembira. Jura tahun lalu SMA 99, kali ini hanya ada diurutan III. Dan ketika Juara I diumumkan, ternyata SMA 207. Sorak dan selamat seakan tak habis-habisnya.
Kak Mei memelukku sambil berlinang air mata. Kami semua sangat bahagia. “Selamat Gendis, pertahankan terus ya…” kata Kak Ida seraya menyalamiku. “Tahun depan, kamu yang memimpin.” Aku kaget di tengah suasana gembira. Wah…
Tapi biarlah, itu urusan nanti. Sekarang saatnya berbahagia bersama. Bahkan Kak Anin pun memelukku hangat.