Aku tersentak kaget. “Ah, yang bener… Kok bisa?” Masih
tak percaya.
“Iyaaa. Kemarin, Kak Dewi ditabrak dari belakang sama anak cowok yang lagi kebut-kebutan,”
Thea memulai ceritanya, sementara kami bergegas menuju pendopo sekolah.
Selasa sore, pendopo sekolah dipenuhi peserta ekskul Tari
Saman SMA 207 Jakarta. Hari ini ada rapat khusus. Peserta ekskul Tari Saman
lebih dari 60 orang, dibagi jadi empat tim. Gendis tergabung dalam Tim C, Thea
di Tim D. Thea baru belajar, tapi Gendis sudah mengikuti ekskul Tari Saman sejak SMP. Ia memang
penggemar tari. Di luar sekolah ia berlatih di sanggar tari Jawa. Naik ke
pendopo, Gendis dan Thea segera bergabung dengan yang lain. Kak
Mei, ketua ekskul Tari Saman, baru saja memulai
sambutan pengantarnya.
“Teman-teman dan adik-adik sekalian, hari ini kita mendapat kabar buruk. Salah satu teman
kita, Dewi, mengalami
kecelakaan motor,” Kak Mei berhenti sejenak.
Pendopo hening,
sepertinya angin berhenti bertiup. Sesaat Kak Dewi tergambar di ingatanku. Jika tersenyum,
lesung pipitnya manis sekali.
“Beberapa
menit lalu, saya juga dapat SMS dari Azizah,” kak Mei melanjutkan, “Dia sedang
dirawat di rumah sakit, usus buntu. Mungkin akan dioperasi.”
Aduuuh, banyak sekali kabar buruk hari ini. Udara
pendopo tiba-tiba terasa sesak. Suara dengung terdengar di sekeliling, semua
sedang saling berbisik. Thea menyentuh lenganku, tapi belum sempat dia berkata
apupun, Kak Mei mulai bicara lagi.
“Mohon perhatian sebentar…!” suara Kak Mei
meninggi. “Dewi dan Azizah tidak
bisa ikut Lomba Tari Saman dari Dinas Kebudayaan di Bulungan, waktunya tinggal
tiga minggu lagi. Maka timku, Tim A, kekurangan orang. Bagaimana kalau penggantinya dari tim B?”
Semua diam, sebagian mengangguk setuju.
“Baiklah, pengganti akan ditentukan besok ketika kita latihan dengan Bang
Fahri.”
Semua mengangguk lagi.
“Tapi perlu diingat, Tim B rencananya akan ikut Festival Saman di SMA Al
Hidayah, dua bulan lagi. Jadi jadwal latihan perlu diatur dengan baik,” Kak Mei
melanjutkan.
Pembahasan berlanjut tentang jadwal latihan, pakaian seragam, uang iuran,
dan aneka hal lain. Aku suka Tari Saman, tapi tak tertarik dengan masalah
organisasi. Lagipula, biasanya kakak-kakak kelas XI yang mengatur itu semua.
Thea senang berorganisasi, tapi sekarang dia sedang sibuk berSMS. Udara sore
yang hangat memberatkan mata. Perutku pun mulai lapar.
Plok…plok….plok. Tepukan tangan Kak Mei mengheningkan suasana. “Besok
kumpul lagi di sini. Jangan lupa, bawa kaos dan legging. Untuk ganjil kaos warna hitam, genap kaos putih,” Kak Mei
berhenti sesaat.“Ada yang masih kurang jelas?”
Tak ada yang bertanya. “Baiklah,
pertemuan hari ini cukup sampai disini.”
Serempak anak kelas X menjawab, “Terima kasih, Kakaaak.”
Esok
harinya. Pendopo sudah mulai dipenuhi anggota ekskul Tari Saman. Kak Ida juga
hadir, alumnus yang sekarang kuliah di IKJ. Lima tahun lalu ia ketua ekskul Tari
Saman. Saat itu, sekolah mereka jadi juara Tari Saman se Jakarta Selatan.
Prestasi yang belum pernah tercapai lagi. Tak lama kemudian, Bang Fahri datang
bersama seorang wanita berusia akhir 20an. Terdengar bisik-bisik di sana-sini, kebanyakan
menyangkanya sebagai pacar Bang Fahri.
“Bukannya Bang Fahri
sudah berkeluarga?” bisik Kak Salmah kepada Thea.
“Kayaknya sih,” jawab
Thea, “Tapi gak tau ah… Ndis, kamu tau gak? Perempuan itu siapa sih? Yang di
sebelah Bang Fahri.”
“Namanya Kak Meutia,” jawabku. Dia masih kenal aku gak ya?
“Haaah. Kamu kenal?” Hampir berbareng Thea dan Kak Salmah menanyaiku. Belum
sempat kujawab, suara Kak Mei sudah terdengar, keras. Semua langsung diam.
“Mohon perhatian sebentar!” seru Kak Mei. “Hari ini ada banyak tamu. Semua
pasti sudah kenal Kak Ida. Selamat sore Kak…” salam Kak Mei sambil mengangguk
ke arah Kak Ida.
“Selamaaat soreee Kaaak Idaaa…” semua turut mengucap salam. Kak Ida hanya
tersenyum sambil melambaikan tangan. Jarinya panjang dan lentik.
“Dan ini Kak Meutia,” lanjut Kak Mei. “Untuk sementara akan melatih di sini.”
Kak Meutia juga
melambaikan tangan.
“Selamaaat soreee Kaaak
Meutiaaa…” semua kembali mengucap salam. Kak Salmah dan Thea melirikku. Dua
wajah yang terheran-heran memaksaku tersenyum.
“Untuk persiapan lomba,
Bang Fahri akan konsentrasi melatih Tim A,” lanjut Kak Mei, “Yang lain
sementara akan dilatih oleh Kak Meutia.”
Dengung jelas tak jelas
memenuhi pendopo, sementara aku sempat berbisik ke Kak Salmah dan Thea, “Kak
Meutia dulu pelatih Samanku di SMP.”
Belum sempat aku cerita
panjang, suara Kak Mei sudah terdengar lagi. “Pengumuman! Semuanya, coba
dengarkan! Ada perubahan rencana.” semua suara langsung lenyap. “Barusan aku
diskusi dengan Bang Fahri, Kak Meutia, dan Kak Ida. Menurut mereka, untuk
pengganti Dewi dan Azizah, sebaiknya dilakukan pemilihan dari tiga tim, B,C,
dan D.”
“Mei!” sela Kak Anin. “Ini nggak adil dong, kalau anak kelas X juga dapet
kesempatan. Harusnya khusus untuk kelas XI!” banyak yang berseru menyetujui perkataan
Kak Anin.
Terjadi keributan sesaat ketika anak kelas XI bersikeras bahwa kelas X
tidak boleh dapat bagian. Hana berbicara, memperjuangkan kepentingan Kelas X. Teman-teman
kelas X hanya diam. Aku juga diam saja, walau dalam hati aku ingin pula bisa
tampil dalam lomba. Kalau terlalu banyak yang bersuara, akan lebih lama lagi
masalahnya selesai.
Suara Bang Fahri menghentikan keributan. “Sebentar, Adik-adik. Kalau yang boleh
ikut hanya kelas XI saja, bukankah itu yang tidak adil?”
Semua diam. Tak lama
dengung terdengar lagi. Ada juga kakak kelas yang membenarkan perkataan Bang
Fahri. Namun, masih banyak juga yang tak setuju. “Kelas X nanti akan dapat
gilirannya, Bang. Kalau mereka sudah kelas XI,” seru Kak Fitri.
“Boleh saya sedikit cerita, Adik-adik,” sela Kak Ida, “Ketika kami dahulu
menjadi juara se-Jakarta Selatan, tim kami terdiri dari berbagai angkatan. Yang
penting, merekalah yang terbaik. Karena kami mewakili sekolah, bukan hanya
mewakili satu angkatan.”
Semua terdiam, mungkin merenung.
“Saya setuju,” kata Kak Meutia, “Yang tampil, adalah yang terbaik di
sekolah ini.”
Tak ada suara apapun.
“Jadi kita bisa sepakat, yaaa…,” seru Kak Mei, “pengganti Dewi dan Azizah
akan dipilih dari Tim B, Tim C, dan Tim D. Pemilihan dilakukan oleh Bang Fahri,
Kak Meutia, dan Kak Ida.”
Kali ini tak ada lagi suara membantah.
“Ayo kita mulai saja,” kata Bang Fahri, “Persiapan sepuluh menit. Pilihan
bebas, boleh menampilkan gerakan yang mana saja.” jelas Bang Fahri.
Aku berdoa khusuk sebelum giliran kami. Pada saat tampil, aku berusaha
konsentrasi penuh, menghayati setiap gerak, merasakan aliran di pembuluh darahku,
menggerakkan otot-otot tubuhku. Kami menampilkan Gerakan Lale.
Lale-lale
geu tanyoe lale
Hanajan
tathe omu ka tuha…
Setelah ketiga tim
tampil, Tim A mulai latihan. Sementara Bang Fahri, Kak Meutia, dan Kak Ida berunding
di sudut. Yang lain menanti dengan cemas. Hampir setengah jam berlalu, ketika
akhirnya Bang Fahri menuju ke tengah pendopo, siap menyampaikan hasil seleksi.
Selanjutnya: Bagian 2
Selanjutnya: Bagian 2
No comments:
Post a Comment