Sunday, March 3, 2013

Aku dan Saman - Bagian 1

“Gendis!” aku menoleh, dan melihat Thea berlari kecil menghampiriku. “Udah tau? Kak Dewi kecelakaan motor, loh…”
Aku tersentak kaget. “Ah, yang bener Kok bisa?” Masih tak percaya.
“Iyaaa. Kemarin, Kak Dewi ditabrak dari belakang sama anak cowok yang lagi kebut-kebutan,” Thea memulai ceritanya, sementara kami bergegas menuju pendopo sekolah.
Selasa sore, pendopo sekolah dipenuhi peserta ekskul Tari Saman SMA 207 Jakarta. Hari ini ada rapat khusus. Peserta ekskul Tari Saman lebih dari 60 orang, dibagi jadi empat tim. Gendis tergabung dalam Tim C, Thea di Tim D.  Thea baru belajar, tapi Gendis sudah mengikuti ekskul Tari Saman sejak SMP. Ia memang penggemar tari. Di luar sekolah ia berlatih di sanggar tari Jawa. Naik ke pendopo, Gendis dan Thea segera bergabung dengan yang lain. Kak Mei, ketua ekskul Tari Saman, baru saja memulai sambutan pengantarnya.
“Teman-teman dan adik-adik sekalian, hari ini kita mendapat kabar buruk. Salah satu teman kita, Dewi, mengalami kecelakaan motor,” Kak Mei berhenti sejenak.
Pendopo hening, sepertinya angin berhenti bertiup. Sesaat Kak Dewi tergambar di ingatanku. Jika tersenyum, lesung pipitnya manis sekali.
Beberapa menit lalu, saya juga dapat SMS dari Azizah,” kak Mei melanjutkan, “Dia sedang dirawat di rumah sakit, usus buntu. Mungkin akan dioperasi.”
Aduuuh, banyak sekali kabar buruk hari ini. Udara pendopo tiba-tiba terasa sesak. Suara dengung terdengar di sekeliling, semua sedang saling berbisik. Thea menyentuh lenganku, tapi belum sempat dia berkata apupun, Kak Mei mulai bicara lagi.
“Mohon perhatian sebentar!” suara Kak Mei meninggi. “Dewi dan Azizah tidak bisa ikut Lomba Tari Saman dari Dinas Kebudayaan di Bulungan, waktunya tinggal tiga minggu lagi. Maka timku, Tim A, kekurangan orang. Bagaimana kalau penggantinya dari tim B?”
Semua diam, sebagian mengangguk setuju.
“Baiklah, pengganti akan ditentukan besok ketika kita latihan dengan Bang Fahri.”
Semua mengangguk lagi.
“Tapi perlu diingat, Tim B rencananya akan ikut Festival Saman di SMA Al Hidayah, dua bulan lagi. Jadi jadwal latihan perlu diatur dengan baik,” Kak Mei melanjutkan.
Pembahasan berlanjut tentang jadwal latihan, pakaian seragam, uang iuran, dan aneka hal lain. Aku suka Tari Saman, tapi tak tertarik dengan masalah organisasi. Lagipula, biasanya kakak-kakak kelas XI yang mengatur itu semua. Thea senang berorganisasi, tapi sekarang dia sedang sibuk berSMS. Udara sore yang hangat memberatkan mata. Perutku pun mulai lapar.
Plok…plok….plok. Tepukan tangan Kak Mei mengheningkan suasana. “Besok kumpul lagi di sini. Jangan lupa, bawa kaos dan legging. Untuk ganjil kaos warna hitam, genap kaos putih,” Kak Mei berhenti sesaat.“Ada yang masih kurang jelas?”
Tak ada yang bertanya. “Baiklah, pertemuan hari ini cukup sampai disini.”
Serempak anak kelas X menjawab, “Terima kasih, Kakaaak.”
Esok harinya. Pendopo sudah mulai dipenuhi anggota ekskul Tari Saman. Kak Ida juga hadir, alumnus yang sekarang kuliah di IKJ. Lima tahun lalu ia ketua ekskul Tari Saman. Saat itu, sekolah mereka jadi juara Tari Saman se Jakarta Selatan. Prestasi yang belum pernah tercapai lagi. Tak lama kemudian, Bang Fahri datang bersama seorang wanita berusia akhir 20an. Terdengar bisik-bisik di sana-sini, kebanyakan menyangkanya sebagai pacar Bang Fahri.
“Bukannya Bang Fahri sudah berkeluarga?” bisik Kak Salmah kepada Thea.
“Kayaknya sih,” jawab Thea, “Tapi gak tau ah… Ndis, kamu tau gak? Perempuan itu siapa sih? Yang di sebelah Bang Fahri.”
“Namanya Kak Meutia,” jawabku. Dia masih kenal aku gak ya?
“Haaah. Kamu kenal?” Hampir berbareng Thea dan Kak Salmah menanyaiku. Belum sempat kujawab, suara Kak Mei sudah terdengar, keras. Semua langsung diam.
“Mohon perhatian sebentar!” seru Kak Mei. “Hari ini ada banyak tamu. Semua pasti sudah kenal Kak Ida. Selamat sore Kak…” salam Kak Mei sambil mengangguk ke arah Kak Ida.
“Selamaaat soreee Kaaak Idaaa…” semua turut mengucap salam. Kak Ida hanya tersenyum sambil melambaikan tangan. Jarinya panjang dan lentik.
“Dan ini Kak Meutia,” lanjut Kak Mei. “Untuk sementara akan melatih di sini.”
Kak Meutia juga melambaikan tangan.
“Selamaaat soreee Kaaak Meutiaaa…” semua kembali mengucap salam. Kak Salmah dan Thea melirikku. Dua wajah yang terheran-heran memaksaku tersenyum.
“Untuk persiapan lomba, Bang Fahri akan konsentrasi melatih Tim A,” lanjut Kak Mei, “Yang lain sementara akan dilatih oleh Kak Meutia.”
Dengung jelas tak jelas memenuhi pendopo, sementara aku sempat berbisik ke Kak Salmah dan Thea, “Kak Meutia dulu pelatih Samanku di SMP.” 
Belum sempat aku cerita panjang, suara Kak Mei sudah terdengar lagi. “Pengumuman! Semuanya, coba dengarkan! Ada perubahan rencana.” semua suara langsung lenyap. “Barusan aku diskusi dengan Bang Fahri, Kak Meutia, dan Kak Ida. Menurut mereka, untuk pengganti Dewi dan Azizah, sebaiknya dilakukan pemilihan dari tiga tim, B,C, dan D.”
“Mei!” sela Kak Anin. “Ini nggak adil dong, kalau anak kelas X juga dapet kesempatan. Harusnya khusus untuk kelas XI!” banyak yang berseru menyetujui perkataan Kak Anin.
Terjadi keributan sesaat ketika anak kelas XI bersikeras bahwa kelas X tidak boleh dapat bagian. Hana berbicara, memperjuangkan kepentingan Kelas X. Teman-teman kelas X hanya diam. Aku juga diam saja, walau dalam hati aku ingin pula bisa tampil dalam lomba. Kalau terlalu banyak yang bersuara, akan lebih lama lagi masalahnya selesai.
Suara Bang Fahri menghentikan keributan. “Sebentar, Adik-adik. Kalau yang boleh ikut hanya kelas XI saja, bukankah itu yang tidak adil?”
Semua diam. Tak lama dengung terdengar lagi. Ada juga kakak kelas yang membenarkan perkataan Bang Fahri. Namun, masih banyak juga yang tak setuju. “Kelas X nanti akan dapat gilirannya, Bang. Kalau mereka sudah kelas XI,” seru Kak Fitri.
“Boleh saya sedikit cerita, Adik-adik,” sela Kak Ida, “Ketika kami dahulu menjadi juara se-Jakarta Selatan, tim kami terdiri dari berbagai angkatan. Yang penting, merekalah yang terbaik. Karena kami mewakili sekolah, bukan hanya mewakili satu angkatan.”
Semua terdiam, mungkin merenung.
“Saya setuju,” kata Kak Meutia, “Yang tampil, adalah yang terbaik di sekolah ini.”
Tak ada suara apapun.
“Jadi kita bisa sepakat, yaaa…,” seru Kak Mei, “pengganti Dewi dan Azizah akan dipilih dari Tim B, Tim C, dan Tim D. Pemilihan dilakukan oleh Bang Fahri, Kak Meutia, dan Kak Ida.”
Kali ini tak ada lagi suara membantah.
“Ayo kita mulai saja,” kata Bang Fahri, “Persiapan sepuluh menit. Pilihan bebas, boleh menampilkan gerakan yang mana saja.” jelas Bang Fahri.
Aku berdoa khusuk sebelum giliran kami. Pada saat tampil, aku berusaha konsentrasi penuh, menghayati setiap gerak, merasakan aliran di pembuluh darahku, menggerakkan otot-otot tubuhku. Kami menampilkan Gerakan Lale.
Lale-lale geu tanyoe lale
Hanajan tathe omu ka tuha…
Setelah ketiga tim tampil, Tim A mulai latihan. Sementara Bang Fahri, Kak Meutia, dan Kak Ida berunding di sudut. Yang lain menanti dengan cemas. Hampir setengah jam berlalu, ketika akhirnya Bang Fahri menuju ke tengah pendopo, siap menyampaikan hasil seleksi.

Selanjutnya: Bagian 2

No comments:

Post a Comment