“Adik-adik, kami telah memilih lima orang, yang nanti akan dinilai lagi sepanjang masa latihan, untuk dipilih dua orang yang akan tampil,” kata Bang Fahri. “ Mereka adalah Anin, Ita, Fitri, dan Salmah, dari Tim B; serta Gendis dari tim C.”
Aku terpana. Seluruh anak kelas X bersorak gembira.
“Selamat ya, Gendis,” sapa Kak Meutia, mengejutkan Gendis. “Gerakan kamu
sudah makin bagus, makin kuat.”
*
Empat hari berlalu sejak terpilihnya lima nominasi peserta
lomba. Mereka harus berlatih tiap hari, kadang di sekolah, kadang di rumah Kak
Mei. Namun Kak Ita yang menjadi petugas penghubung, tak pernah mengabari
Gendis. Ia pontang-panting mencari informasi waktu dan tempat latihan, dan
selalu hadir terlambat. Bahkan kemarin ia tak dapat ikut latihan. Saat bertemu
Kak Salmah di perpustakaan, ia jelaskan situasinya. Menurut Kak Salmah, mungkin
kakak-kakak kelas itu sengaja menghalangi kehadiran Gendis. Kak Salmah akhirnya
yang selalu mengabari Gendis. Sejak saat itu Gendis selalu hadir tepat waktu.
Kak Salmah pun makin akrab dengannya, namun yang lain tampaknya justru semakin
sinis dan tak senang terhadap Gendis. Seminggu menjelang lomba, Bang Fahri dan
Kak Meutia mengumumkan hasil seleksi.
“Setelah kami menilai penampilan para calon pengganti dua minggu ini,” Bang
Fahri berhenti sesaat, “Saya dan Kak Meutia memutuskan, yang akan tampil adalah
Anin dan Gendis.”
Aku sungguh bahagia. Ingin
teriak, tapi tak ada suara yang keluar. Kak Salmah menyalamiku, semua teman
memberi selamat. Juga Kak Ita dan Kak Fitri, meski aku merasakan gelombang iri
hati mereka. Rasa bahagiaku tiba-tiba menurun.
*
Hari
Lomba, Sabtu. Seluruh anggota Tim berkumpul di sekolah sejak pukul enam pagi,
untuk rias wajah dan busana. Pukul sembilan
mereka berangkat bersama dengan bus sekolah. SMA 207 akan tampil di urutan
kedua. Ternyata tim yang seharusnya tampil pertama, tak hadir. Gendis dan
kawan-kawan harus tampil. Demam panggung menyerang. Seluruh tubuh Gendis
gemetar. Kak Mei mengajak anggota tim berdoa bersama, sebelum melangkah ke
panggung.
Ketika kaki menapak panggung, seiring doa di hati, kekuatanku kembali. Aku
sudah berlatih keras, jalani semua usaha. Ini saatnya lakukan yang terbaik.
Suara Bang Fahri mengalun.
Hai… dengalon kisah dengalon
kisah has bo hai baran
bayan tereubang bayan tereubang
kajiden cet jeumpa
di langit bintang di langit
bintang, kajide mo pageu
bulen ate gle bulen ate gle
melele asa…
Aku bergerak mengikuti alun suara Bang Fahri, berpadu, menyatu dengan
irama. Sorotan lampu panggung, membuatku tak melihat jelas situasi sekitar. Aku
terus bergerak. Hanya gerak.
Gemuruh tepuk tangan mengembalikanku ke panggung. Ucapan selamat menyambut
saat kami turun panggung. Ada Kak Ida, juga Kak Dewi yang masih bertongkat. Aku
lelah.
“Gendis, selamat yaa… Kamu bagus banget,” suara ceria menyapaku dari
samping.
“Eeh…Jinan! Apa kabar…? Kamu ikutan juga?” Jinan sahabat SMPku.
“Iyaaa nih… Grogi deh. Aku tampil
urutan tiga nanti.”
“Tenang aja… nanti juga hilang groginya.” Jawabku meyakinkan.
Sepanjang siang sampai sore, Gendis bercengkerama dengan
Jinan dan Thea. Waktu lewat tak terasa. Tiba saatnya pengumuman lomba. Sekolah
Jinan memperoleh Juara Harapan I, mereka semua turut bersorak-gembira. Jura
tahun lalu SMA 99, kali ini hanya ada diurutan III. Dan ketika Juara I
diumumkan, ternyata SMA 207. Sorak dan selamat seakan tak habis-habisnya.
Kak Mei memelukku sambil berlinang air mata. Kami semua sangat bahagia.
“Selamat Gendis, pertahankan terus ya…” kata Kak Ida seraya menyalamiku. “Tahun
depan, kamu yang memimpin.” Aku kaget di tengah suasana gembira. Wah…
Tapi biarlah, itu urusan nanti. Sekarang saatnya berbahagia bersama. Bahkan Kak Anin pun memelukku hangat.
No comments:
Post a Comment