Sunday, March 3, 2013

Aku dan Saman - Bagian 2

Sebelumnya: Bagian 1

“Adik-adik, kami telah memilih lima orang, yang nanti akan dinilai lagi sepanjang masa latihan, untuk dipilih dua orang yang akan tampil,” kata Bang Fahri. “ Mereka adalah Anin, Ita, Fitri, dan Salmah, dari Tim B; serta Gendis  dari tim C.”
Aku terpana. Seluruh anak kelas X bersorak gembira.
“Selamat ya, Gendis,” sapa Kak Meutia, mengejutkan Gendis. “Gerakan kamu sudah makin bagus, makin kuat.”
*
Empat hari berlalu sejak terpilihnya lima nominasi peserta lomba. Mereka harus berlatih tiap hari, kadang di sekolah, kadang di rumah Kak Mei. Namun Kak Ita yang menjadi petugas penghubung, tak pernah mengabari Gendis. Ia pontang-panting mencari informasi waktu dan tempat latihan, dan selalu hadir terlambat. Bahkan kemarin ia tak dapat ikut latihan. Saat bertemu Kak Salmah di perpustakaan, ia jelaskan situasinya. Menurut Kak Salmah, mungkin kakak-kakak kelas itu sengaja menghalangi kehadiran Gendis. Kak Salmah akhirnya yang selalu mengabari Gendis. Sejak saat itu Gendis selalu hadir tepat waktu. Kak Salmah pun makin akrab dengannya, namun yang lain tampaknya justru semakin sinis dan tak senang terhadap Gendis. Seminggu menjelang lomba, Bang Fahri dan Kak Meutia mengumumkan hasil seleksi.
“Setelah kami menilai penampilan para calon pengganti dua minggu ini,” Bang Fahri berhenti sesaat, “Saya dan Kak Meutia memutuskan, yang akan tampil adalah Anin dan Gendis.”
Aku sungguh bahagia. Ingin teriak, tapi tak ada suara yang keluar. Kak Salmah menyalamiku, semua teman memberi selamat. Juga Kak Ita dan Kak Fitri, meski aku merasakan gelombang iri hati mereka. Rasa bahagiaku tiba-tiba menurun.
*
Hari Lomba, Sabtu. Seluruh anggota Tim berkumpul di sekolah sejak pukul enam pagi, untuk rias wajah dan busana. Pukul sembilan mereka berangkat bersama dengan bus sekolah. SMA 207 akan tampil di urutan kedua. Ternyata tim yang seharusnya tampil pertama, tak hadir. Gendis dan kawan-kawan harus tampil. Demam panggung menyerang. Seluruh tubuh Gendis gemetar. Kak Mei mengajak anggota tim berdoa bersama, sebelum melangkah ke panggung.
Ketika kaki menapak panggung, seiring doa di hati, kekuatanku kembali. Aku sudah berlatih keras, jalani semua usaha. Ini saatnya lakukan yang terbaik. Suara Bang Fahri mengalun.
Hai… dengalon kisah dengalon kisah has bo hai baran
bayan tereubang bayan tereubang kajiden cet jeumpa
di langit bintang di langit bintang, kajide mo pageu
bulen ate gle bulen ate gle melele asa…
Aku bergerak mengikuti alun suara Bang Fahri, berpadu, menyatu dengan irama. Sorotan lampu panggung, membuatku tak melihat jelas situasi sekitar. Aku terus bergerak. Hanya gerak.
Gemuruh tepuk tangan mengembalikanku ke panggung. Ucapan selamat menyambut saat kami turun panggung. Ada Kak Ida, juga Kak Dewi yang masih bertongkat. Aku lelah.
“Gendis, selamat yaa… Kamu bagus banget,” suara ceria menyapaku dari samping.
“Eeh…Jinan! Apa kabar…? Kamu ikutan juga?” Jinan sahabat SMPku.
“Iyaaa nih… Grogi deh. Aku tampil urutan tiga nanti.”
“Tenang aja… nanti juga hilang groginya.” Jawabku meyakinkan.
Sepanjang siang sampai sore, Gendis bercengkerama dengan Jinan dan Thea. Waktu lewat tak terasa. Tiba saatnya pengumuman lomba. Sekolah Jinan memperoleh Juara Harapan I, mereka semua turut bersorak-gembira. Jura tahun lalu SMA 99, kali ini hanya ada diurutan III. Dan ketika Juara I diumumkan, ternyata SMA 207. Sorak dan selamat seakan tak habis-habisnya.
Kak Mei memelukku sambil berlinang air mata. Kami semua sangat bahagia. “Selamat Gendis, pertahankan terus ya…” kata Kak Ida seraya menyalamiku. “Tahun depan, kamu yang memimpin.” Aku kaget di tengah suasana gembira. Wah…
Tapi biarlah, itu urusan nanti. Sekarang saatnya berbahagia bersama. Bahkan Kak Anin pun memelukku hangat.

No comments:

Post a Comment