Aku
terbangun karena dering nyaring ponselku. Susah payah aku bergerak meraihnya,
dan melihat nama ‘Diah’ tertera di layar.
“Lari
pagi yuk, Kar!!” ujar Diah semangat di seberang.
“Di…
ini baru jam lima lewat sedikit loh. Aku masih ngantuk…” aku menguap, dan
memejamkan mata lagi.
“Ayolah,
Kar! Masa liburan malah malas-malasan gitu. Nanti Kak Bayu keburu diambil
orang, loh…”
“Diiii,
kenapa Kak Bayu terus sih???” aku langsung terjaga.
“Hahaha,
aku kenal kamu, Kartika. Aku tahu kok kalian makin dekat sekarang. Lagipula,
kalau kalian pacaran juga gak ada ruginya, kan?”
Aku
merutuk. Anak itu … Dia cenayang, sepertinya.
“Sudah,
ayo cepat bangun! Sebentar lagi aku dan Kak Bayu menjemputmu. Dandan yang
cantik yaa, hahaha. Daah!” sambungan diputus.
Diah
benar-benar deh…
Tapi,
aku mengakuinya juga. Sepertinya memang cukup terlihat dari gerak-gerik kami.
Aku segera saja membasuh muka dan gosok gigi. Kemudian sedikit menyiram badan
agar segar. Tidak perlu mandi, toh sebentar lagi juga lari, keringatan.
Aku
membuka lemari dan mendapati kaos yang kubeli samaan dengan Kak Bayu di Dufan
kemarin. Setelah menimbang cukup lama, aku segera memakainya.
“Cieee,
kalian kompakan gitu deh! Jodoh banget!” reaksi histeris dari Diah adalah yang
pertama kali kudengar ketika dia dan Kak Bayu memasuki ruang makan.
Aku
dan Kak Bayu hanya tertawa. Kami mengenakan kaos yang sama. Masing-masing pasti
tidak menduga akan seperti ini. Bagaimana pun aku tetap merasa senang. Ketika
melihat ke arah Kak Bayu, dia hanya tersenyum. Dan ketika mata kami bertemu,
aku segera mengalihkan pandangan. Namun dari sudut mata aku bisa melihatnya
tersenyum kepadaku.
Setelah
sarapan dan berpamitan, kami segera berangkat menuju Gelora Bung Karno di
Senayan. Jam masih menunjukkan pukul enam pagi ketika kami mulai berlari.
Banyak juga orang yang ikut berlari pagi itu. Tidak heran, memang masa liburan
anak sekolah.
Kami
mulai berlari mengelilingi stadion bola. Baru dua putaran, Diah sudah menyerah.
Kekenyangan, katanya. Dia memutuskan istirahat duluan, sambil duduk di pinggir.
Aku dan Kak Bayu melanjutkan berlari, menambah dua putaran. Ketika sudah
sama-sama lelah, kami beristirahat menemani Diah.
Ketika
sedang membeli minuman, kulihat Kak Bayu berjalan ke arah parkiran mobil.
“Dia
gak mungkin ninggalin kita, kan?” tanyaku ke Diah.
Diah
tertawa. “Ya enggaklah, Kartika. Aneh-aneh aja pikiranmu. Paling dia ngambil
barang ketinggalan di mobil.” Aku mengangguk-angguk setuju.
Tak
lama kemudian Kak Bayu kembali membawa gitarnya. Diah memekik kesenangan,
sedangkan aku hanya syok.
“Kak
Bayu mau ngapain, Di…” Diah malah menyuruhku untuk diam, kemudian dia
menghampiri Kak Bayu, mereka ngobrol sebentar, dan mereka menghampiriku.
“Kak,
kamu mau ngapain bawa gitar gitu?”
“Dengerin
dulu aja ya, Kar. Ini lagu buat kamu.”
Kak
Bayu kemudian mulai memetik gitarnya. Terdengar nada indah yang mengalun.
Sebuah lagu yang sepertinya kukenal.
Berjuta rasa
rasa yang tak mampu diungkapkan kata-kata
Dengan beribu
cara cara kau slalu membuat ku bahagia
Kau adalah
alasan dan jawaban atas semua pertanyaan
Yang
benar-benar ku inginkan hanyalah
Kau untuk
slalu di sini ada untukku
Maukah kau
‘tuk menjadi pilihanku
Menjadi yang
terakhir dalam hidupku
Maukah kau tuk
menjadi yang pertama
Yang slalu ada
di saat pagi ku membuka mata
Oh, izinkan
aku memilikimu, mengasihimu
Menjagamu, menyayangimu
Memberi cinta,
memberi semua yang engkau inginkan
Selama aku
mampu aku akan berusaha
Mewujudkan
semua impian dan harapan
‘tuk menjadi
kenyataan
(Pilihanku
- Maliq & D’essentials)
Seperti
sebelumnya, dia menarik banyak penonton di sekitar. Aku masih terkejut, dan
juga bahagia. Untukku, katanya? Ya Tuhan…
“Kartika
Aurora, maukah kamu jadi kekasihku?”
Aku
bingung. Sungguh. Rasanya selama setahun kemarin aku masih memikirkan Radit,
namun tiba-tiba Kak Bayu menyatakan perasaannya. Aku memang mulai bisa
merasakannya. Sikapnya kepadaku, selalu berbeda dari yang ditunjukkannya untuk
Diah. Selalu lebih manis.
Aku
menengok ke arah Diah, dia tersenyum seraya menganggukan kepala. Aku bisa
melihat wajah Kak Bayu yang terlihat cemas, menunggu jawabanku. Aku menarik
napas dalam-dalam, dan mengangguk yakin. Kak Bayu terlihat lega dan senang. Dia
tersenyum, dan meraihku dalam pelukannya. Banyak orang bersorak senang, Diah
juga.
“Kamu
membuatku cemas, Kar…” bisiknya.
“Salahmu.
Kamu yang membuatku malu, Kak,” balasku.
“Tapi
senangkan?” Kak Bayu melepas pelukannya. Aku mengangguk. “Oh iya, jangan
panggil ‘Kak’ lagi…” aku tertawa.
Diah
menghampiriku, memelukku erat. “Maaf ya Di…” bisikku.
“Gak
apa, aku kan punya Farid,” bisik Diah di telingaku, suaranya agak bergetar.
Selama
ini kami memang selalu bisa saling memahami. Tapi, sering kudengar cerita,
kehadiran seorang lelaki yang menghancurkan persahabatan dua orang perempuan.
Ah… pikiranku kembali terlalu jauh pergi.
Diah
beranjak dan gantian memeluk Kak… mm... Bayu maksudku.
Tiba-tiba
hatiku terasa lapang. Ini sungguh membahagiakan.
Tiba-tiba
juga, ada aroma wangi tertentu yang menyentuh hidungku, mengalir bersama angin
pagi. Entah kenapa, sosok Radit tiba-tiba muncul begitu saja di kepalaku.
“Sejarah tak pernah berjalan lurus, selalu ada
liku-liku. Itu yang membuatnya menarik,” ucapan Radit terngiang di telingaku.
Ah…
kenapa bahagia masih juga disertai galau.
KEREN LOK!bikin degdegan bgt,tp penasaran bgt sm si radit.kisah nyata ya?haha
ReplyDeleteterima kasih, nes :) haha insya Allah kalo sempet pengen bikin lanjutannya sih...liat nanti aja ya ;) kisah nyata atau bukan itu rahasia ;)
Delete